Kamis, 19 Juni 2014

PEMILU IS NOTHING


Pilih Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta ? Pilihan ini tak ubahnya seperti memilih mati gantung diri atau terjun dari atap gedung, keduanya sama-sama bunuh diri. Memilih salah satu dari keduanya tak akan membuat keadaan lebih baik. Pada masa kampanye terutama pada debat capres pekan ini, masyarakat disuguhkan debat antara kedua pasangan capres dan cawapres. Keduanya menampilkan retorika, gaya artikulasi, maupun kemampuan mengekspresikan fikiran yang berbeda. Tetapi keduanya tetap menjajakan barang lama (red. Demokrasi) yang sudah terbukti keharamannya dan kerusakannya. Jika barang dagangannya busuk, maka siapapun yang menjajakannya tetaplah barang dagangan tersebut busuk.
Berbagai problematika yang ada di Indonesia hari ini, bukanlah soal siapa pemimpinnya, tapi soal aturan apa yang diterapkan di negeri ini. Bahkan sekalipun malaikat turun memimpin negeri ini, jika negeri ini tetap dipimpin dengan aturan buatan manusia, yakin saja rahmat itu tidak akan turun untuk negeri ini. Mengapa demikian?
Pertama, karena demokrasi yang diterapkan di negeri ini adalah sistem kufur. Demokrasi menyingkirkan Tuhan sebagai pembuat aturan dan menyerahkan urusan pembuatan hukum di tangan manusia. Manusia lah yang menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Padahal, satu-satunya yang berhak untuk menetapkan hukum hanyalah Allah. Allah SWT berfirman :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputuan yang paling baik.” (TQS al An’am [6] : 57 )
Allah pun menyebut manusia-manusia pembangkang yang tidak mau diatur dengan hukum Allah tersebut sebagai orang-orang yang kafir, zalim, dan fasik.
“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (TQS al-Maa’idah [5] : 44)
“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (TQS al-Maa’idah [5] : 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (TQS al-Maa’idah [5] : 47)
Kedua, karena demokrasi yang diterapkan di negeri ini menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Jika seseorang mengubah hukum puasa yang telah ditetapkan Allah dari pagi hingga sore menjadi sore hingga pagi, tentu orang itu disebut sesat kan?. Jika seseorang mengubah hukum sholat magrib yang telah Allah tetapkan 3 rakaat menjadi 2 rakaat, tentu orang itu disebut sesat juga kan?. Jika mengubah satu hukum Islam saja sudah disebut sesat, bagaimana jika mengubah lebih dari itu, tidak hanya satu atau dua bahkan lebih, tentu jauh lebih sesat.
Ketika hak membuat hukum berada ditangan manusia yang merupakan prinsip utama demokrasi, maka hukum-hukum Allah akan terlindas oleh hukum-hukum yang berdasarkan hawa nafsu manusia. Misalnya,
1.      Salat wajib hukumnya menjadi sunnah di negeri ini.
2.      Khamr yang hukumnya haram, tp malah dilegalkan di negeri ini.
3.      Kewajiban berjilbab berubah hukumnya menjadi mubah di negeri ini bahkan haram di beberapa profesi, seperti polwan dan pramugari.
4.      Riba hukumnya haram, namun saat ini hukumnya mubah bahkan bisa jadi wajib saat ngutang di bank-bank termasuk bank milik negara.
5.      Zina haram, namun malah tempat-tempat perzinaan dilokalisasi.
6.      Menjual sumber daya alam kepada asing (privatisasi) dalam negara saat ini di bolehkan bahkan dilegalisasi padahal hukumnya haram.
7.      Pindah agama lain (murtad) harusnya dihukum mati jika tidak bertobat tapi atas nama HAM dan toleransi beragama, murtad tidak lagi menjadi tindakan kriminal.
8.      Puasa ramadhan wajib tapi masih sekedar dibolehkan.
9.      Mendekati zina (pacaran) itu haram tapi sekarang malah jadi mubah. Pezina yang belum menikah wajib dijilid 100x tapi sekarang tidak dapat dihukum atas alasan kebebasan bertingkah laku.
10.  Ramalan-ramalan, ritual klenik, maupun perdukunan itu haram, tapi sekarang hukumnya mubah.
11.  Nikah dini dan poligami jadi kontroversi, padahal syariat membolehkan.
12.  Dan lain-lain.
Oleh karena itu, jelas bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan besar yang mampu mengeluarkan  pelakunya dari millah. Jika barang yang akan didagangkan jelas haram, maka pedagangnyapun tidak boleh mendagangkannya, dan seseorang tidak boleh memilih orang untuk mendagangkan barang haram tersebut. Jika manusia tetap membangkang dengan melanggar larangan Allah, maka mana mungkin rahmat berupa kesejahteraan yang diimpi-impikan akan turun di negeri ini. Yang ada hanyalah siksa karena membuat Allah murka.
Ketiga, karena demokrasi yang diterapkan di negeri ini melahirkan sistem ekonomi kapitalisme/liberalisme yang dzolim, rakus dan eksploitatif. Sejarah mencatat negeri ini telah menggelar pemilu sebanyak sebelas kali, namun tak kunjung ada perubahan kesejahteraan, justru semakin hari tingkat kemiskinan dan kriminalitas semakin tinggi. Hal itu jelas, karena sistem ekonomi liberal menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada mekanisme pasar, hal ini terlihat dari usaha pemerintah mencabut subsidi secara bertahap. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi berperan sebagai abdi rakyat, tapi hanya sebagai penyedia barang dan jasa yang posisinya seperti pedagang. Pencabutan subsidi secara bertahap ini akan membuat rakyat semakin menderita apalagi jika subsidi telah ditiadakan sepenuhnya.  
Itu hanya segelintir saja, belum lagi usaha pemerintah dalam menyuburkan privatisasi asing, diawali UU Privatisasi Asing lalu mulai dari menjual Indosat dan BUMN-BUMN lainnya, menjual murah bank-bank dengan ratusan trilyun uang rakyat dan lainnya. Tidak hanya itu bahkan pemerintah memberikan kontrak kepada Freeport, Newmont, dan swasta asing lainnya untuk mengeruk kekayaan tambang milik rakyat. Pemerintah pula yang menyerahkan blok kaya minyak kepada Exxon Mobil, blok kaya migas kepada Total, serta menyerahkan dan memperpanjang kontrak BP untuk mengeruk gas Tangguh. Dari sistem demokrasi inilah lahir berbagai UU yang merugikan rakyat, mulai dari UU Penanaman Modal Asing, UU Perbankan, UU Minerba, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU lainnya.
Jika sudah begini, apalagi yang dapat diharapkan dari demokrasi. Jangan tertipu dengan silau palsunya. Demokrasi telihat indah tapi sesungguhnya busuk. Demokrasi terlihat mensejahterakan, tetapi justru sebenarnya menjadikan rakyat sengsara. Umat harus cerdas dalam menilai dan bersikap dalam pemilu 2014 ini. Masihkah Anda berharap akan ada perubahan pada pemilu dalam sistem demokrasi ini? Pemilu is NOTHING.



Sepotong percakapan, disuatu hari ...

Fulan                     : Apakah khamr itu haram?
Anda                      : iya
Jika saya bertanya pada peminum khamr,
Fulan                     : Kenapa Anda minum khamr padahal khamr itu haram ?
Peminum Khamr : Daeng, Saya tidak akan minum kalau tidak ada yang jual. Penjualnya yang bertanggung jawab.
Lalu saya melanjutkan dengan bertanya pada penjual khamr,
Fulan                     : Kenapa Anda menjual khamr padahal khamr itu haram ?
Penjual Khamr      : Daeng, saya tidak akan jual khamr kalau tidak ada yang produksi. Perusahaannya yang bertanggung jawab.
Kemudian, saya lanjut bertanya pada perusahaan produksi khamr,
Fulan                     : kenapa Anda memproduksi khamr padahal khamr itu haram ?
Perusahaan Khamr  : Daeng, saya tidak akan memproduksi khamr, jika tidak ada izin dari pemerintah. Penguasa yang bertanggung jawab.
Jadi, saya pun lanjut bertanya pada pemerintah,
Fulan                     : Kenapa Anda mengizinkan mereka memproduksi khamr padahal khamr itu haram.
Pemerintah            : Daeng, saya tidak akan memberikan izin, jika rakyat tidak memilih saya untuk membuat hukum. Minta pertanggung jawaban saja sama rakyat !



Kamis, 27 Maret 2014

Korupsi dan Kekuasaan

Rasanya melegakan ternyata partainya bukanlah merupakan partai yang terkorup. Itulah yang nampak dari komentar Dewan Pembina Partai Demokrat dan juga peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo, terkait rilis indeks korupsi partai politik 2002-2014 yang dikeluarkan oleh Indonesia Coruption Watch (ICW) “partai demokrat bukanlah partai terkorup”. Menurut indeks korupsi yang dirilis oleh ICW perode 2002-2014 (www.antikorupsi.org) sebagai berikut : 1. PDIP (7.7), 2. PAN (5.5), 3. Golkar (4.9), 4. PKB (3.3), 5. PPP (2.7), 6. PKPI (2.1), 7 Gerindra (1.9), 8. Demokrat (1.7), 9. PBB (1.6), 10. Hanura (1.5), 11. PKS (0.3). Pada kesempatan lain, Ruhut Sitompul mengatakan, meski kader Demorat banyak yang terjerat korupsi namun ternyata bukan partai yang terkorup.
            “Aku ada news, terima kasih ICW menyatakan partai terkorup itu Golkar, kedua PDI-P. Yang lain-lain termasuk kami (Demokrat) memang ada korupnya tapi dikit rupanya. Kami partai yang tak main-main dengan korupsi.” ujar Ruhut di KPK (www.merdeka.com, 12/3).
            Itulah rasa syukur dari partai ini. Sederet nama kader partai ini tersandung kasus korupsi. Bahkan belakangan ini kasus korupsi ketua umum demokrat cukup menghebohkan, slogan ‘anti korupsi’ yang didengungkan pun hanya menjadi sekedar slogan. Khawatir citra partainya akan menurun, tapi merasa terselamatkan dengan survey ICW. Namun survey tersebut tidaklah menunjukkan peluang korupsi partai. Apakah partai yang tingkat korupnya tinggi berpeluang korupsi yang lebih besar ? Partai yang tingkat korupnya rendah pun berpeluang korupsi yang besar. Atau apakah parpol yang tingkat korupnya rendah berpeluang korupsinya bertambah sedikit ? Parpol yang tingkat korupnya tinggi pun berpeluang korupsinya bertambah sedikit. Hal tersebut tidaklah pasti. Yang pasti adalah bahwa setiap parpol berpeluang korupsi.
            Persoalan korupsi tak bisa dipungkiri telah berakar dan menjalar di negara ini. Jika diibaratkan akar, maka akarnya tidaklah berakar serabut, namun berakar tunggang. Kader partai politik yang menguasai hampir semua jabatan publik justru telah membangun organisasi untuk saling mendukung tindak korupsi mereka. Bahkan lebih jauh lagi, penguasa bekerja sama dengan pengusaha pada penentuan proyek yang menggunakan dana APBN/APBD. Inilah politik transaksional.
            Tiga pilar utama yang disebut trias politika yang seharusnya menjadi lembaga yang saling mengawasi berubah menjadi trias corruptica, lembaga yang berkomplot melakukan tindak korupsi. Banyaknya kader-kader partai yang terjerat kasus korupsi berimbas pada ketidakpercayaan rakyat kepada partai. Hal ini ditunjukkan pada semakin besarnya angka golput dari pemilu ke pemilu dan dari pilpres ke pilpres. Bahkan kerap kali golput menjadi pemenang pemilu dan pilpres.
            Saat ini, korupsi tak sekedar virus. Karena jika ia virus, maka masih ada kemungkinan mengobatinya. Namun ini merupakan cacat bawaan lahir dari demookrasi. Demokrasi beranggapan bahwa terpusatnya kekuasaan adalah penyebab korupsi. Oleh karena itu, dirumuskanlah trias politica sebagai konsep pemerintahan. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Pemisahan kekuasaan tersebut kepada 3 lembaga yang berbeda yaitu : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, eksekutif yang melaksanakan undang-undang, dan yudikatif yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan. Menurut demokrasi, dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintah oleh suatu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).
Hanya saja pemisahan kekuasaan ini tidak serta merta menghilangkan korupsi. Sebab masalahnya bukan dari terpusatnya kekuasaan, melainkan dari asal muasal kekuasaan. Apakah kekuasaan itu terpusat atau terbagi, kalau kekuasaan masih berasal dari rakyat/ kelompok yang penuh dengan kepentingan, maka penyalahgunaan akan selalu terjadi dan korupsi akan semakin marak. Berbeda halnya jika kekuasaan itu berasal dari amanah sang pencipta maka pengawasan tidak hanya bersifat duniawi tapi juga ukhrawi.
Kekuasaan dewasa ini, lebih terlihat sebagai sebuah tempat untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan. Gaji para penguasa terbilang cukup besar ditambah lagi dengan fasilitas-fasilitas mewah yang diberikan negara. Sehingga wajar, kekuasaan hanyalah sebagai tempat memperkaya diri. Kekuasaan dipandang pekerjaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa dengan memberikan penguasa tersebut sejumlah gaji yang besar.
Terlihat sekali perbedaannya dengan kekuasaan dalam Islam, yang memandang bahwa kekuasaan adalah amanah Sang Pencipta. Pencipta mengamanahkan kekuasaan kepada penguasa dengan menjadi pelayan umat tanpa mendapat gaji hanya tunjangan sandang, pangan, dan papan saja.  Sebab, kekuasaan adalah amanah pencipta maka yang akan membalas semuanya adalah pencipta pula.
Dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai beri­kut:
Pertama, kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Hanya Allah Swt sajalah Yang menjadi Musyarri‘ (Pembuat Hukum); Yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua­malah, uqubat (peradilan), dan sebagainya. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun hanya satu hukum. Firman Allah Swt:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-A‘râf [7]: 54)
Yang dimiliki oleh rakyat adalah kekuasaan atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa. Namun demikian, syariat telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengatu­ran urusan rakyat dan pemerintahan adalah Khalifah saja, bukan yang lain. Ijma sahabat Nabi saw menetapkan bahwa hanya Khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syariat sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya. Dalam hal ini, Khalifah tidak berarti memegang kekuasaan legislatif. Khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.
Kedua, kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat. Kekuasaan adalah milik umat/rakyat yang dijalankan secara real oleh Khalifah—dan para aparatnya—sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa untuk menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat. Artinya, bai’at adalah berasal dari kaum Muslim untuk Khalifah, bukan dari Khalifah untuk kaum Muslim. Nabi saw bersabda: 
«بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ B عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ المَنْشَطِ وَ الْمَكْرِهِ»
Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai. (HR. al-Bukhârî, hadits no. 7199)
Ketiga, kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh khalifah atau orang yang mewa­kilinya untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Khalifahlah yang berhak dan berwenang untuk mengangkat para qâdhî (hakim). Tidak ada seorang pun dari rakyat—baik secara individu­al maupun secara kolektif—yang berhak mengangkat para qâdhî. Hak ini hanya dimiliki oleh Khalifah, bukan yang lain. Nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Rasulullah saw, misalnya, telah mengangkat ‘Alî bin Abî Thâlib r.a. sebagai hakim (qâdhî) di Yaman dan mengangkat ‘Abdullâh ibn Nawfal r.a. sebagai qâdhî di Madinah. Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan Khalifah dan mereka yang mewakilinya dalam urusan ini.
Keempat, apabila penguasa kaum Muslim berlaku zalim, merampas hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syariat telah memberikan pemecahannya; yaitu dengan mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan koreksi (muhâsabah) dan amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias Politica. Di dalam sebuah riwayat disebutkan demikian:
«سَتَكُوْنُ أُمَرَاءٌ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنَّ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوْا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ، مَا صَلُّوْا»
Akan ada para amir (penguasa), lalu di antara kalian ada yang mengakui perbuatan mereka, dan ada pula yang mengingkari mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syariat), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya. Siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syariat), maka dia selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syariat) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para sahabat bertanya, ‘Apakah kita tidak memerangi mereka? Jawab Nabi saw, ‘Tidak, selama mereka mendirikan shalat’. (HR. Muslim, hadits no. 1854)
Rasulullah saw telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan penyimpangan dengan berbagai sarana yang memungkinkan; baik dengan tangan, lisan, maupun hati—bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw menetapkan bahwa, siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu. 
Dengan demikian, Islam tidak mengaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syariat tertentu, sedang masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syariat yang lain. 
Kaum Muslim wajib mengambil pemecahan dari syariat apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, kaum Muslim diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syariat, seperti konsep Trias Politica. Sebab, Allah Swt berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian terimalah dia dan apa saja yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nûr [24]: 63)
Demikianlah kekuasaan dalam Islam. Karena Islam berasal dari pencipta tentunya Allah lebih tahu yang manusia butuhkan. Sedangkan kekuasaan dalam demokrasi adalah buatan manusia, sehingga wajar kerap kali menimbulkan masalah lain yang lebih serius seperti korupsi. Karena manusia lemah, terbatas, dan bergantung, sehingga aturan apapun yang dibuatnya akan penuh dengan kelemahan dan keterbatasan. Sehingga, tidak bisa tidak, umat manusia khususnya umat Islam, harus kembali menerapkan kekuasaan Islam yaitu Daulah Khilafah Rasyidah. Tidak saja untuk mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, namun karena kita adalah seorang muslim yang berakidah Islam dan wajib berhukum pada hukum Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.