Rabu, 30 Agustus 2017

Kuliah di Hongaria dengan Beasiswa Stipendium Hungaricum



Hongaria, sebuah negara yang ketika aku menyebutnya, mayoritas akan bertanya-tanya dimana itu. Setiap kali aku menyebut akan kuliah di Hongaria, setiap itu pula lah aku harus menjelaskan lokasinya yang berada di jantung eropa. Hongaria memang tidaklah sepopuler Jerman, Inggris, Australia, ataupun Jepang dalam hal destinasi studi di kalangan orang asia tenggara, terlebih Indonesia. Tapi bukan berarti kita tidak bisa studi disana. Sejak 2013 Pemerintah Hongaria melalui Tempus Public Foundation memberikan beasiswa studi bagi mahasiswa  internasional baik untuk jenjang S1, S2, ataupun S3. Sekitar 47 negara partner yang bekerjasama dalam program ini (disebut sending partner), termasuk Indonesia. Kuota untuk Indonesia juga bertambah setiap tahunnya, hingga para tahun 2017, Indonesia mendapatkan kuota 50 awardee.

Sebelum apply beasiswa, maka wajib untuk membaca detail beasiswanya, baik itu tentang cakupan beasiswa, syarat dan kriteria beasiswa, dokumen persyaratan, dan prosedur apply yang biasanya ada pada buku panduan atau website dari pemberi beasiswa. Untuk informasi tentang beasiswa Stipendium Hungaricum ini bisa diliat pada http://www.tka.hu/international-programmes/2966/stipendium-hungaricum/ . Khusus untuk Indonesia program yang tersedia adalah jenjang master dan postdoctoral. List program studi yang tersedia tahun 2017 bisa didownload disini.

Rincian Beasiswa Stipendium Hungaricum yaitu :
  • 1.       Biaya kuliah penuh
  • 2.       Tunjangan bulanan (Master HUF 40.460 per bulan dan Doctoral HUF 100.000 per bulan)
  • 3.       Asrama atau tunjangan akomodasi senilai HUF 40.000.
  • 4.       Biaya terkait kesehatan penerima beasiswa.


Timeline Proses/Tahapan Aplikasi:
Proses dari awal apply hingga keberangkatan biasanya berlangsung selama 6 bulan. Di tahun 2017, pendaftaran dan submit dokumen dibuka pada bulan Maret, semuanya dilakukan secara online. Tahapan seleksi ada 2, yaitu

1. NOMINASI. Aplikasi yang dikirimkan akan diseleksi oleh sending partner (untuk Indonesia, sending partnernya adalah Dirjen Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Aplikasi terpilih akan dinominasikan untuk mengikuti tahapan selanjutnya.

2. PENDAFTARAN DAN SELEKSI KAMPUS. Pihak kampus akan menginformasikan kepada applicant tentang prosedur seleksi dan step-step apa yang harus kita lakukan. Tiap kampus, tiap fakultas, dan tiap jurusan memiliki prosedur yang berbeda-beda, ada yang harus melalui tes tertulis atau tes lisan, atau keduanya, atau bahkan review aplikasi saja (Sebagai informasi, tentang tes masuknya tercantum di  list host institution yang bisa didownload di website http://www.tka.hu/international-programmes/7131/call-for-applications ). Proses ini berlangsung dari bulan April hingga Juni.

(Baca : Pengalaman Tes Masuk untuk Beasiswa Stipendium Hungaricum (ELTE, BME, UNIDEB))

Hasil seleksi biasanya akan diumumkan sejak akhir juni hingga agustus (bagi yang masuk reserved list). Setelah dinyatakan lulus, selanjutnya adalah aplikasi visa untuk keberangkatan. Umumnya perkuliahan akan dimulai di bulan September, tapi bisa jadi juga dimulai sebelum atau setelahnya.


(Baca : Proses Aplikasi Stipendium Hungaricum)

Kamis, 17 Agustus 2017

Motivation Letter of Stipendium Hungaricum


“Mathematics is the language with which God has written the universe” said Galileo Galilei. I am interested in continuing my master’s degree in the field of mathematics in Hungarian University, quite relevant to my previous educational background. I accomplished my bachelor degree in Mathematics Education with honors at State University of Makassar in 2014.
Based on my strong academic background in mathematics, I plan to learn deeply mathematics in master degree program. Continuing my master degree is important for me to reach my goal to be a mathematics lecturer and researcher in the university. Mathematics is an important subject human should learn since their existence on earth until the last as well as it is important knowledge for improving human’s life. I am interested in mathematics since I was child and it leads me to choose mathematics to study in university. Learning different branches of mathematics gives me a deeper insight into mathematics, especially Algebra, Number Theory, and Geometry. I am fascinated by how mathematics can link between things and how mathematics and real world can relate, as well as how mathematics can give benefits for either personal or public life.
During my undergraduate study, I have been teaching mathematics in tutoring agency. I help students to understand how beautiful mathematics is and how interesting it is. My involvement in agency helps me to improve my responsibility, creativity, and team work skills.
Pursuing master of science in mathematics is for enhancing not only my knowledge of mathematics, but also for my ability to solve problems, to think abstractly and to see the big picture, and to articulate ideas with clarity and precision. Studying mathematics also will help me to develop analytical skills and the ability to work in a problem solving environment.
When coming to Stipendium Hungaricum Program, it gives me a great opportunity to continue my study and actualize my goal. I am interested in studying in Hungary because it is an area with historic urban centers, a picturesque landscape, and a flourishing culture. It is also a relatively safe country with a low rate of violent crime. Moreover, the Hungarian higher education has a considerable history and strong traditions with institutions operating for hundreds of years.
Furthermore, the foremost reason why I really covet to study in Hungary because this Magyar country is the land of inventors in various fields such as telephone exchange (Tivadar Puskas, 1878), refrigerator (Leo Szilard, 1929), the soft-contact lense (Istvan Gyorffy, 1959), VW-Beetle Design (Bela Barenyi, 1925), gramophone records (Karoly Peter Goldmark, 1948), Microsoft Excel (Karoly Simonyi, 1974), plasma TV (Kalman Tihanyi, 1926 & 1936), color television (Karoly Peter Goldmark, 1948), holography (Dennis Gabor), Vitamin C (Albert-Szent Gyorgyi), and Rubik (Erno Rubik), even a pen (Laszlo Biro). Hungary is a country which has most widely Nobel laureates in the world. In Mathematics field, there are a lot of famous mathematicians such as Dénes Kőnig and Jenő Egerváry which their earlier work of algorithm was later developed by Harold Kuhn and now it is known as Hungarian Method, a combinatorial optimization algorithm that solves the assignment problem in polynomial time.
 After completing my master degree in Hungary, I will pursue my study in the field of algebra or geometry. My ultimate goal is to return to my previous university, in State University of Makassar as a researcher and lecturer so that I would be able to utilize the experiences I gained overseas in an international environment, particularly for succouring students and raising mathematical research level in State University of Makassar, and generally for assisting mathematics development in the world.
In regard to my programme choices, I have observed and finally chosen to learn mathematics for more comprehensive knowledge in pure mathematics and introduction into doing research. Because of it, Master of Science in Eötvös Lorand University is my first option. It is followed by my other options, those are MSc in Applied Mathematics in Budapest University of Technology and Economics as the second choice and also in University of Debrecen as the third choice for profound knowledge of applied mathematics which is competitive both in the academic and non-academic sectors.
I will be grateful if I can become an awardee of Stipendium Hungaricum because it is a big help for me to achieve my goal in the future.
Thank you for your consideration.

Sincerely

Aswarini Puspa Arnas





Menapaki Rengasdengklok

Rumah Penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok

Menjelang hari kemerdekaan biasanya situs-situs sejarah kemerdekaan ramai dikunjungi. Kali ini aku berkesempatan mengunjungi teman ibuku di Cikampek, Jawa Barat, untuk menginap selama 2 hari. Saat melihat-lihat maps kebetulan aku melihat nama daerah yang tidak asing diingatanku. Rengasdengklok, nama yang sering muncul di buku-buku pelajaran sejarah jaman sekolah dulu. Ya inilah nama kota yang menjadi saksi perjalanan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan diabadikan dalam catatan sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok. Secara rilnya, disinilah pertama kali kemerdekaan itu diproklamasikan.

Aku segera berselancar di internet untuk mencari apa saja yang mungkin bisa aku temui disana. Esoknya dengan mengendarai sepeda motor aku bersama anak dari teman ibuku itu menuju ke Rengasdengklok, di daerah Karawang. Tujuanku ada 3 tempat yang ingin ku kunjungi, yaitu pengasingan/rumah penculikan Soekarno Hatta, Tugu Perjuangan dan  Monumen Kebulatan Tekad.

Di rumah pengasingan, kami disambut oleh cucu Djiauw Kie Siong, yaitu Djiauw Kim Moy. Rumah ini adalah milik Djiauw Kie Siong, seorang pasukan pembela tanah air atau yang dikenal dengan PETA. Kami pun melihat-lihat isi rumah ini, ada dua kamar yang pada peristiwa Rengasdengklok masing-masing dipakai menginap oleh Soekarno dan M. Hatta. Ruang tengah menampilkan banyak foto-foto sejarah dan berbagai penghargaan ditujukan kepada situs sejarah ini. Setelah bertandang ke rumah pengasingan, kami pun menuju Lokasi Tugu Perjuangan dan Monumen Kebulatan Tekad yang tidak jauh dari rumah pengasingan. Lokasi Tugu Perjuangan dulunya merupakan markas PETA. Saat aku baru saja masuk ke lokasi tugu, seseorang menghampiriku dan berbicara kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti karena cara bicaranya yang cepat sekali. Hingga temanku menjelaskan apa yang dikatakan orang itu bahwa kami harus membayar jika ingin mengambil foto di lokasi. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, 50 ribu. Oh well, aku mengurungkan niatku untuk mengambil foto. Selanjutnya kami menuju monumen yang hanya beberapa meter dari lokasi tugu.

Tempat tidur yang digunakan Soekarno

Ruang tengah

Kamar Moh. Hatta


Perjalananku kali ini menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah proklamasi kemerdekaan bukan hanya sekedar traveling mengisi waktu luang, bukan. Aku ingin tau, ingin merasakan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Sekelebat bayangan imajinasi bagaimana semua peristiwa itu terangkai mengisi ruang pikiranku. Kita mempelajari sejarah kemerdekaan sejak duduk di bangku SD, tapi apakah kemerdekaan itu sesungguhnya masih belumlah terjawab. Apakah kemerdekaan itu hanya berupa proklamasi, mengusir penjajah dari negeri kita, dan menempatkan orang-orang kita sendiri seolah mengatur dan menjalankan pemerintahan ? Jujur saja, agaknya ada yang ganjil saat membaca kisah-kisah kemerdekaan di berbagai negara.

Dunia sungguh berubah dengan cepat. Yang dulunya dikuasai oleh imperium-imperium besar, lambat laun sejarah berubah, hingga membagi dunia menjadi dua domain utama, yaitu Kekhilafahan Islam yang membentang sejauh 2/3 bagian dunia dan sisanya yaitu kekuasaan non-Islam. Setelah melewati 14 abad, Kekhilafahan runtuh, dunia pun kemudian dikuasai kolonialisme, negeri-negeri yang kuat menjajah negeri-negeri yang lebih lemah, dunia berjalan bak di hutan rimba. Selanjutnya dunia berubah lagi, satu demi satu negeri yang tadinya mengalami penjajahan mulai berondong-bondong memproklamirkan kemerdekaan. Hingga saat ini, masing-masing negara menggenggam kemerdekaannya sendiri-sendiri dan mengklaim sebagai negara yang berdaulat. Begitupun Indonesia, 17 Agustus menjadi simbol kemerdekaan, tetapi pertanyaannya benarkah Indonesia telah merdeka ? Apakah bisa disebut merdeka jika negeri ini menanggung utang yang banyak ? Apakah bisa disebut merdeka jika kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk kepentingan asing ? Apakah bisa disebut merdeka jika hampir 80% kekayaan alam Indonesia dikuasai asing ? Ah, masih terlalu banyak pertanyaan apakah layak disebut merdeka. Tiap 17 Agustus semua bersorak sorai gembira, tapi aku sendiri tidak yakin tentang apa yang harus digembirakan saat semua justru mengindikasikan hal yang sebaliknya. Kita harus membuka mata dan pikiran dalam memaknai penjajahan, bukan hanya soalan penjajahan fisik tapi non-fisik pula. [Ashwa Rin]

Monumen Kebulatan Tekad




Rabu, 16 Agustus 2017

Jatuh Bangun Mengejar Beasiswa Luar Negeri : Gagal 9 kali

Belajar itu tak pernah lekang oleh waktu. Manusia haruslah senantiasa belajar hingga akhir hayatnya. Bahkan ayat Al-Quran yang pertama turun justru berbicara tentang menuntut ilmu. “Iqra” artinya bacalah. Membaca adalah proses menginput ilmu dan pengetahuan. Saking belajar itu penting, Allah berfirman dalam banyak ayat al-Quran tentang keutamaan orang yang berakal dan mengetahui.

Belajar memang bisa dimana saja dan kapan saja, bahkan jika perlu sampai ke ujung dunia. Rasulullah bersabda : “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina”. Kala itu Cina lah yang dianggap negeri yang paling jauh dari Makkah.

Melihat dunia luar, belajar di tempat yang jauh, dan bertemu dengan orang-orang baru merupakan bagian yang unik dari sebuah proses pembelajaran. Karena itulah, sejak kecil aku selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh.

Pendidikan Dasar dan Menengahku kujalani di kota kelahiranku, Sungguminasa. Namun, sejak kecil aku selalu ingin belajar selain di kota ini. Menjelang SMA, aku mendaftarkan diri di salah satu SMA unggulan se-provinsi (bayangkan saja, se-provinsi loh). Aku berpikir dengan masuk ke sekolah unggulan tersebut, aku bisa mendapatkan teman yang berasal dari berbagai daerah, tidak hanya Gowa. Namun, sepertinya aku tidak berjodoh dengan sekolah itu. Aku pun akhirnya masuk ke SMA dekat rumahku. Hari-hari di sekolah kujalani dengan semangat walau gagal masuk di sekolah impianku dan berbagai kegiatan ekskul pun kuikuti.

Di tahun pertamaku berada di bangku SMA, aku mengikuti seleksi Program Student Exchange oleh AFS (Baca : Pengalaman Mengikuti Seleksi AFS : Student Exchange Program). Namun, aku gagal di tes terakhir. Walaupun kecewa dengan hasilnya, tapi aku cukup puas dengan prosesnya. Bagaimana pun aku telah mengerahkan kemampuan maksimalku. Bagiku kegagalan bukanlah hal yang tercela. Kau boleh gagal tapi tak boleh menyerah. Kegagalan sesungguhnya yaitu saat kau mulai berkata aku tidak bisa. Saat itulah kau benar-benar gagal.

Setamat SMA, aku mulai menyiapkan diri masuk ke universitas. Saat itu, pandanganku mengarah pada Jepang, mungkin karena saat itu aku lagi senang-senangnya dengan Anime ditambah lagi aku sering main ke konsulat, entah itu untuk membaca buku atau membawa pulang majalah gratis. Hehe maklum sukanya yang gratisan :D. Melalui Konjen Jepang di Makassar, aku pun mendaftar beasiswa Monbukagakusho. Tapi, usahaku ini belum lah membuahkan hasil, alias aku gagal.

Bagiku segala hal diluar kuasa kita mestilah disikapi positif. Kita tidak perlu terlalu bersedih hati apalagi sampai bunuh diri. Pikirku Allah pasti punya rencana yang lebih baik. Kuliah jenjang S1 kujalani selama 3,5 tahun di kota daeng. Aku lulus bebas tes jalur PMDK di salah satu kampus negeri dan belajar di jurusan yang aku minati, Matematika. Selama kuliah, bisa dibilang aku sebenarnya bukan tipe orang yang study oriented banget. Aku mengimbangi kuliah dengan berorganisasi dan bekerja.

Lulus dari kampus orange, aku masih memiliki minat yang besar untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang jauh. Setidaknya bukan di kota ini lagi. Aku menghabiskan hampir 22 tahun hidupku di kota ini saja. Bukankah Imam Syafi’I pun menyuruh kita menuntut ilmu dan pergi ke tempat yang asing. “Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)”, begitu kata Imam Syafi’i. Tapi biaya menjadi kendala utama menggapai mimpi kecilku itu.

Jika dalam usaha meraih tujuan, kau fokus pada hambatannya, kau mungkin takkan pernah meraih tujuanmu. Fokuslah pada tujuannya bukan hambatannya.

Setelah lulus kuliah, aku bekerja sambil mengambil kursus bahasa Inggris di salah satu lembaga di Makassar. Beasiswa menjadi hal yang harus aku dapatkan jika ingin melanjutkan kuliah. Dan tentunya untuk memperoleh beasiswa, aku harus memantaskan diri. Dua kali mengikuti kelas TOEFL di dua lembaga berbeda di Makassar namun hasilnya belum begitu memuaskan. Aku harus bekerja dan menyisakan waktu untuk belajar, dan bagiku itu cukup sulit mencapai target skor yang kuinginkan.

Aku mulai rajin mengikuti pameran pendidikan untuk mencari informasi. Hingga akhirnya aku mengenal IELTS sebagai syarat pendaftaran kampus dan beasiswa. IELTS tidak begitu familiar bagiku, walau beberapa kali mendapatkan info tentang kelas IELTS atau bahkan pelatihan IELTS, tapi biasanya aku hanya mengabaikannya.

Aku pikir untuk mendapat hasil maksimal aku juga harus belajar maksimal, hingga kuputuskan untuk mengambil kelas IELTS di Kampung Inggris. Selama empat bulan aku belajar, 2 bulan mengambil kelas, dan 2 bulan lainnya belajar otodidak, aku pun memberanikan diri mengikuti real tes IELTS pada bulan April 2016. Dengan berbekal skor IELTS, aku pun mulai bersiap pada pertarungan sesungguhnya mendapatkan beasiswa. Di tahun 2016, aku mendaftar beasiswa AAS dan Turkey Burslari. Aku lolos tahap pertama beasiswa AAS namun harus bersabar ketika aku dinyatakan tidak lolos pada tahap kedua (interview). Sedang untuk Turkey Burslari pun bahkan gagal di putaran pertama.

Sedih? iya sih. Sempat down juga ? Iya benar, berkali-kali malah. Tapi aku bersyukur karena mama selalu menyemangatiku untuk mengejar mimpiku, hingga ketika aku down, dan mendengar nasehat mama untuk menjadi Rin yang pantang menyerah, aku bangkit lagi.

Akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017, banyak sekali pendaftaran beasiswa yang terbuka. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Aku membuat daftar beasiswa yang menjadi targetku, mungkin sekitar belasan list, beserta deadline nya pada sticky note dekstopku, membaca buku petunjuknya atau informasinya di website, dan melengkapi dokumen persyaratan. Tiap aplikasi beasiswa memiliki prosedur dan ketentuan yang berbeda-beda, jadi mempelajarinya satu per satu sangat penting. Ketekunan menjadi poin penting disini. Jangan malas atau kau tidak akan tau apa-apa. Informasi tentang beasiswa bisa dengan mudah diakses melalui internet. Biasakan membaca seluruh informasi beasiswa dalam guidebook atau website yang tersedia, ketimbang langsung bertanya kesana kemari padahal pertanyaannya sudah terjawab di dalam guidebook/website.

Di tahun 2017, aku mendaftar beberapa beasiswa, yaitu AAS, Fulbright, Turkey Burslari, SISS, NZD, Chevening, dan Stipendium Hungaricum. Sayangnya aku terlewat beberapa deadline beasiswa, seperti BDGS. Sedang untuk KGSP dan Monbukagasho, aku kesulitan menyiapkan aplikasinya. Beberapa beasiswa lain tidak masuk ke dalam daftarku baik karena aku tidak memenuhi syarat atau aku tidak tertarik dengan beasiswa itu.

Mulai pertengahan tahun, satu demi satu pengumuman beasiswa masuk ke emailku. Enam aplikasiku gagal memasuki tahap berikutnya,kecuali satu yaitu Stipendium Hungaricum. Aku pun harap-harap cemas, karena prosedurnya yang masih panjang sedangkan hanya satu aplikasiku yang masuk tahap kedua. (Baca : Pengalaman mendaftar beasiswa hongaria, Stipendium Hungaricum)

Setelah serangkai tes yang melelahkan dan penantian pengumuman yang membuat diri ini sulit tidur (lebay ah). Akhirnya fix, aku memenangkan beasiswa Stipendium Hungaricum dengan masa studi 2 tahun pada jurusan Matematika di kampus yang boleh dikata kampus no 1 di Hongaria, Eotvos Lorand University. Alhamdulillah, setelah perjuangan cukup lama untuk studi di tempat yang jauh, setelah aplikasi beasiswa terus-terusan ditolak hingga 9 kali, akhirnya, Allah memberikan jawabannya, di tempat mana aku harus berada dan belajar. Terima kasih ya Allah, ya Rahman, ya Rahim. Terima kasih Papa Mama atas semua dukungan dan kasih sayangmu. (AR)

Pengalaman Mengikuti Seleksi AFS : Student Exchange Program


Masa remaja umumnya adalah masa yang paling aktif dan bersemangat melakukan ini itu juga dengan rasa penasaran yang cukup tinggi. Di usia yang bisa dikata masih sangat muda, 15 tahun, aku mengikuti berbagai ekskul, mulai dari OSIS, ROHIS, Sains Club, English Club, Karate, dan juga tidak lupa les di lembaga pendidikan informal. Ini semua adalah bagian dari aktualisasi diri yang kulakukan. Selalu ingin aktif dan eksis ya.

Suatu ketika sekolahku kedatangan volunteer dari AFS dan menjelaskan tentang program ini kepada kami para siswa unyu-unyu. Aku tentu saja sangat sangat tertarik. Bukan soal keluar negerinya, tapi prosesnya lah yang asyik. Tapi sebenarnya keluar negeri juga asyik sih. Hhe.

Kuceritakan pada Papa keinginanku untuk mengikuti seleksi dan tentu saja papa ku pasti mendukungku selama itu bukan hal yang buruk. Ini masih jaman dulu banget ya, sekitar 10 tahun lalu, tepatnya tahun 2007, dimana aplikasi masih harus diambil sendiri di sekretariat AFS di Makassar, diisi dan dilengkapi berkasnya, lalu dikumpulkan kembali. Sudah tentu berbeda sekali dengan era sekarang, dimana semuanya serba online. Sisa masuk website, download deh aplikasinya atau mengisi aplikasi secara online. Bahkan untuk daftar sekolah saja sudah pada online.

Tahap pertama berupa tahap tertulis yang terdiri dari 3 sub tes, yaitu tes pilihan ganda dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggris, dan tes menulis essay on the spot. Tesnya berlangsung seharian di STIEM Bongaya di jalan Mappaodang, Makassar. Beberapa minggu kemudian, hari dimana pengumuman kelulusan tahap pertama, aku dan papa segera menuju secretariat AFS untuk melihat pengumuman (see masih jadul ya kan). Dan Alhamdulillah, dari hampir 1000 orang yang mengikuti tes tahap pertama, aku berada dalam list 72 orang yang masuk ke tahap kedua.

Tes kedua yaitu interview/wawancara, yang ini terdiri 2 sub tes, yaitu wawancara dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Wawancara dalam bahasa Indonesia bersama ketiga interviewer dari Indonesia berlangsung agak emosional, aku bahkan hampir menangis dibuatnya. Sedangkan wawancara dalam bahasa Inggris bersama dua bule jerman dan prancis dan satu indo berlangsung lebih santai. Banyak hal yang aku bicarakan bersama interviewer, termasuk karena negara tujuanku AS, aku banyak menyoroti masalah bangkrutnya Lehman Brothers (waktu itu lagi hangat-hangatnya) dan juga tentu saja masalah hegemoni ekonomi AS terhadap negera-negara dunia ketiga (well, aku ngomong apa sih waktu itu, berasa jadi pengamat hebat ya, hihi).

Aku pikir aku tidak lolos di tahap kedua, soalnya yang aku lakukan selama wawancara hanya kritik, kritik, dan kritik terhadap AS (padahal negera tujuannya AS, harusnya disanjung-sanjung gitu ya). But, yup aku lolos dan berhasil masuk ke tahap ketiga.

Tes ketiga, yaitu Dinamika Kelompok terdiri dari 3 subtes, aku lupa yang pertama, yang kedua kompetisi membuat sebuah karya bersama tim dadakan yang dibentuk oleh panitia, kalo tidak salah tim nya terdiri dari 5 orang. Kita harus berdiskusi tentang karya apa yang akan dibuat, menyatukan pikiran, dan bergerak bahu membahu menyelesaikan misi ini. Dan taraaa, kami membuat pigura dengan desain dari 5 pikiran. Yang ketiga, sebenarnya desas desus yang kudengar dari panitia, subtes ketiga dibatalkan. Tapi tak taulah kenapa sampai jadi diadakan. Tesnya adalah menujukkan bakat/kemampuan di depan umum, semacam mini pertunjukan gitu deh. Ada yang nyanyi, bermain musik tradisional, menari, pertunjukan silat, membaca puisi, sampai mengaji. Karena aku gak well-prepared banget dites ketiga ini alias gak menyiapkan apa-apa, jadilah aku selama menunggu giliran, grasa grusu membuat puisi dadakan untuk ditampilkan. Hampir semua yang gak punya persiapan, menampilkan pembacaan puisi, jadinya hal itu tidak menarik lagi.

(Baca : Jatuh Bangun Mengejar Beasiswa Luar Negeri : Gagal 9 kali)


Saat itu high expected banget bisa lulus, tapi sepertinya itu masih belum rezeki ku atau itu bukan hal yang terbaik untukku. Aku membaca pengumuman dan aku tahu bahwa aku tidak lulus. Aku memang tidak jadi mengikuti program pertukaran pelajar, tapi serangkaian tesnya yang menarik dan menyenangkan tidaklah sia-sia. Banyak pelajaran yang bisa kupetik, banyak teman yang bisa kukenal. Allah selalu punya rencana yang lebih baik untuk diriku, aku yakin itu. [AR]