Selasa, 27 Februari 2018

Part 12 Bingung Judulnya Apa, Intinya Skefo aja sih


Hi, jumpa lagi di lapak Rin. Kali ini Rin mau share informasi terkait emm, apa ya? Hayo hayo tebak. Yup, tentang sebuah pernikahan (wow tapi sayangnya ini bukan laman undangan nikah hehe). Nah, ini terkait tradisi pernikahan di Palestina lagi ya, jangan baper oy. Awalnya Rin selalu bingung ketika lagi bahas tentang pernikahan di Palestina dengan temanku ini. Dia bilang begini, “Ketika mereka telah bertunangan, nah mereka bisa keluar bersama dan jalan bareng”. Rin mikir kok ada istilah tunangan ya, dan kenapa pula baru tunangan tapi sudah bisa jalan berdua. Rasanya ada yang janggal. Mau langsung menjudge itu salah, tapi nggak ma’ruf juga kan, toh sebenarnya Rin belum bener-bener paham istilah tunangan yang mereka maksud. Daripada jatuh pada kesimpulan yang salah, mending berhati-hati mengeluarkan statement.

Satu bulan dua bulan berlalu, bukan satu orang palestina saja yang ngomong soal tunangan, ternyata salah satu teman di MME juga bicara soal pertunangannya. Wah, setahu Rin sih di dalam Islam, tidak ada prosesi tunangan dan semisalnya, tapi kok ya mereka semua bicara soal pertunangan, apa budaya barat sudah sebegitu menggerogoti kaum muslimin ya. Ini Palestina loh, pikirku, kalau negeri-negeri muslim lainnya sih, aku sedikit paham bagaimana derasnya arus westernisasi disana. Tapi ini Palestina, sedihnya. Diam-diam aku merasa ill feel sendiri sebenarnya.

Well, suatu ketika, entah kenapa pembicaraan itu mencuat lagi, daripada rasa ill feel itu belum tertuntaskan, nah aku minta deh dia menjelaskan detailnya seperti apa tahapan pernikahan di Palestina. Di Palestina mereka tidak mengenal budaya pacaran ya guys, jadi gak ada istilahnya mereka pacaran sebelum nikah. Semuanya dimulai dari ibu pria yang mendatangi gadis yang akan dinikahi puteranya, lalu ada prosesi pertunangan pertama, setelah itu mereka berkenalan tanpa ada khalwat ya guys, istilah kekiniannya ya ta’aruf. Kalo oke, ya lanjut ke pertunangan kedua. Setelah pertunangan kedua, mereka mau pacaran juga boleh, jalan berdua, pegangan tangan, dan lain-lainnya sudah sah, dan keduanya saling berstatus tunangan satu sama lain. Nah loh, disini nih yang pasti membuat kita bingung, nah loh, kan baru tunangan, kok sah-sah saja sih beraktivitas seperti itu. Eits, nanti Rin jelaskan ya. Setelah tunangan kedua, baru deh ada walimatul ursy, setelah walimah itu mereka sudah disebut sebagai suami istri. Penasaran kan ijab kabulnya dimana. Rin juga bingung awalnya, terus Rin nanya ‘loh terus ijab kabulnya kapan?’, ternyata oh ternyata di pertunangan kedua itu lah ijab kabulnya, makanya mereka sah-sah saja pacaran setelah pertunangan kedua, kan sudah halal. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa kok statusnya tunangan setelah pertunangan kedua, kenapa bukan suami istri, toh kan sudah ijab kabul. Tau tidak apa jawabannya, ‘karena mereka belum menjalani kehidupan suami istri, mereka masih tinggal terpisah sampai diadakannya walimatul ursy’, dan Rin cuma bisa ber oh ria karena akhirnya paham juga setelah sekian lama memendam rasa penasaran. Dari dulu Rin tidak mau menanyakan lebih lanjut karena khawatir harapan tidak sesuai kenyataan. Hehe. Intinya cuma beda istilah saja. Perkara kenapa mereka menggunakan istilah seperti itu juga Rin belum paham, apa karena kami ngobrolnya pake bahasa inggris kali ya, jadi istilahnya ‘engagement’, hihi. Kalo dirunut prosesnya, pertunangan pertama itu adalah khitbah, perkenalan/ta’aruf, pertunangan kedua adalah ijab kabul / nikah, dan walimatul ursy. Lengkap sudah prosesinya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Jumat, 02 Februari 2018

Petani atau Pemburu Rente


Tidaklah begitu mengejutkan sebenarnya saat membaca berita soal rencana pemerintah impor beras. Well, itu konsekuensi sebuah negeri yang semakin dikapitalisasi. Sepertinya mengobral aset-aset negara belumlah cukup, sebisa mungkin mendapat keuntungan lebih dan lebih lagi. Hawa nafsu manusia akan kekayaan dan kekuasaan bukanlah hal kecil. Jika tidak dikendalikan bisa membahayakan, apalagi jika manusia-manusia itu berada dalam posisi mengurusi hajat hidup orang banyak.

Lupakan soal dalih kesejahteraan karena faktanya rencana impor beras tak lebih dari sebuah hubungan bisnis belaka yang menguntungkan para pemburu rente. Pemburu rente (rent-seeker) ini adalah kaum kapitalis yang berusaha menjalin hubungan dengan birokrasi demi mendapat keuntungan bisnis seperti mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang diberikan birokrasi dengan cara menyerahkan sumber dayanya ataupun wewenang tertentu yang diaturnya. Jadi, rente disini maksudnya adalah selisih antara nilai pasar dengan jumlah yang dibayar oleh penerima rente kepada birokrasi/pemerintah dan atau secara pribadi kepada penolongnya di kelompok birokrasi.

Walaupun rencana ini jelas tak masuk akal ditengah kondisi surplusnya produksi beras di berbagai daerah, nafsu mengejar keuntungan pribadi jelas mengabaikan segalanya, menciptakan 1001 macam alasan agar masuk akal, agar bisa diterima. Orang-orang yang berwenang dalam urusan ini, entah apa mereka sedikit saja memiliki rasa manusiawi dan memikirkan nasib kaum tani. Para petani yang hidup dari garapan tanah-tanah mereka, bekerja keras memeras keringat dan berharap mendapatkan hasil panen yang memuaskan agar mereka bisa menghidupi keluarga-keluarga mereka hingga tiba masa panen berikutnya. Mereka mungkin tidak berharap banyak agar orang-orang yang mereka pilih itu memberi mereka cangkul. Ditengah naiknya harga pupuk, mereka terus memutar otak memikirkan cara menghasilkan produksi yang maksimal. Namun momen yang harusnya membahagiakan menyambut panen raya, justru diapresiasi dengan adanya rencana impor beras pemerintah. Tawa itu harusnya tawa bahagia, tapi faktanya yang ada adalah  tawa miris.

Jika ditilik kembali, kebijakan impor beras ini sesungguhnya menguntungkan siapa ? Ah sudahlah, kita semua punya jawabannya. Pemilu semakin dekat, semoga rencana impor beras bukan bagian dari proyek pengumpulan dana menjelang perayaan demokrasi yang mahal. [Ashwarin]



Part 11 Arti Pantang Menyerah Bagi Muslimah

Dinginnya winter membersamai hari-hari para penuntut ilmu di negeri paprika ini yang sedang disibukkan dengan ujian, ujian, dan ujian. Kuliah diluar negeri itu tidak seenak yang terlihat dalam foto-foto yang diupload di sosial media, percayalah itu hanya pencitraan semata. Keliatannya wah keren yah, bisa jalan-jalan melihat tempat yang ada di tv-tv itu, tak tau saja, jika dibalik foto itu bisa jadi ada air mata yang menyertainya. Mereka pusing dan stress dengan matakuliah dan ujian yang jika dapat nilai C saja sudah alhamdulillah, yang penting lulus, tidak mengulang. Teringat zaman s-1 dulu, dapat nilai C saja bikin tidak bisa tidur selama 3 malam, terus berpikir kenapa yah, atau kejahatan apa yang sudah kulakukan hingga mendapat nilai C, aduh lebay, beginilah mahasiswa yang menggilai nilai A, jangan ditiru ya kawan-kawan, karena malaikat mungkar nakir tidak akan menanyai nilai kalkulusmu berapa, nilai analisis real mu berapa, yang terpenting adalah prosesnya apakah didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram, makanya jangan nyontek saat ujian :p.

      Beberapa mahasiswa berpikir untuk menyerah, ‘aku pulang saja deh, gak kuat, susah’, termasuk aku tentunya yang juga mengalami kesulitan luar biasa dalam belajar, itu tidak sesulit yang kubayangkan, karena ternyata aslinya sangat sangat sulit. Saling sharing dengan matematikawan lainnya membuatku sedikit menyadari bahwa bukan cuma aku saja yang kesulitan, orang lain pun begitu, jika mereka bisa bertahan kenapa aku tidak.

        Dan juga langkah ke tempat dimana aku berpijak hari ini, di jalan yang kulalui saat ini, sungguh dibeli dengan kerja keras dan pengorbanan baik itu waktu, pikiran, tenaga, sampai jual tanah warisan segala, hehe yang ini lupakan saja. Lantas bagaimana bisa aku mengucapkan kata menyerah?

           Pantang menyerah bukanlah karena takut ijazah itu tidak didapatkan, bukan pula takut pulang tanpa titel, tidak pula khawatir akan kelangsungan karir, tapi satu hal yang terpikir olehku, jika aku menyerah, maka bagaimana bisa aku mengajarkan arti pantang menyerah pada anak-anakku kelak. Haruskah kukatakan pada mereka, kalau ibunya ini menyerah belajar karena terlalu sulit ? maka mereka akan belajar dari ibunya, jika kesulitan menderamu hingga kau tak kuat maka menyerahlah. Ah, itu terdengar sangat menyedihkan. Bukankah yang harus diajarkan seorang ibu kepada anak-anak nya adalah bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan, lalu dimanakah keyakinan itu kita letakkan ketika kita memilih untuk menyerah?

         Bulan pertama hidup di sini diwarnai dengan banyak kesulitan, baik itu studi yang sulit kumengerti, susahnya berteman dengan classmate, konflik dengan roommate, sampai cuaca yang dingin. Teringat ketika minggu pertama aku memasuki kelas, dalam hati aku bertanya-tanya, apa sih yang dosen ini sedang jelaskan, teman-teman lainnya manggut-manggut, merespon penjelasan dosen, tapi aku, hanya bisa terdiam, bukan karena sudah mengerti tapi karena tidak mengerti sama sekali. Belum lagi teman-teman kelas yang 70-80% adalah anak-anak amerika, aduh susahnya bergaul dengan mereka, hanya satu dua orang yang namanya aku tahu di kelas. Jangan bayangkan kelasnya besar, tidak, ini hanya kelas kecil yang maksimal mahasiswanya 10 orang tiap kelas, jadi cukup aneh sebenarnya ketika tidak mengenal mereka di kelas yang kecil ini.

          Di kelas, penjelasan dosen sulit dicerna, di kamar, belajar juga susah. Bagaimana tidak susah, kebiasaan yang berbeda-beda dan saling bertentangan dengan yang lainnya sungguh bikin sesak. Ada yang terbiasa belajar tengah malam, tapi ada yang terganggu dengan cahaya walau sedikit padahal mau belajar tentu butuh cahaya, ada yang mengetik di malam hari tapi ada yang terganggu dengan suara ketikan keyboard, ada yang suka jendela tertutup karena tidak bisa kedinginan, tapi ada yang suka membukanya karena butuh udara luar, dan banyak lagi yang lainnya, aduh ribet sekali bukan. Yang begini ini kecil tapi bisa memicu konflik besar juga jika tidak berusaha saling memahami.

          Satu bulan pertama rasanya menyiksa sekali hingga rasanya tak bisa ditahan lagi. Dengan menangis ala anak-anak yang mainannya direbut paksa, aku bercerita keluh kesahku dengan teman setanah air yang juga dalam rantauan studi, plus merengek-rengek biar bisa keluar asrama dan sewa flat atau apartemen sendiri (padahal sebenarnya kagak ada duit buat nge-flat wkwk, maklum anak beasiswa yang hidupnya pas-pasan). Hingga kata-katanya sedikit membuatku terhenyak, “Aswa, mereka itu cuma roommate loh, yang palingan tinggal bersamanya paling lama empat semester, anggap saja ini latihan, kau tidak pernah tahu kedepannya jodohmu nanti punya kebiasaan yang seperti apa.” Iya sih, yang penting bukan kebiasaan maksiat, yang lain mah bisa dikompromikan. Jadi ingat dulu sering berantem gara-gara kipas angin dengan si partner duarr, susah bener yak. Sampai terpikir juga, apa pindah kamar saja ya? Tapi setelah dipikir-pikir lagi, persoalannya bukan disitu, bertemu dengan orang yang kebiasaannya persis sama itu bisa dibilang jarang, tapi limitnya gak sampe nol kok. Hanya saja yang paling penting adalah bagaimana bisa saling menghormati kebiasaan masing-masing, masing-masing harus tahu bagaimana menghargai kebiasaan yang lainnya.

         Belum lagi beradaptasi dengan cuaca, aduh ini satu-satunya hal yang membuatku ragu apakah aku ingin melanjutkan kuliah di Eropa atau tidak, dinginnya itu loh yang gak nahan. Belum lagi sebelum datang ke Budapest, setelah berselancar di internet, nemu berita kalo winter di Hungary saat itu mencapai suhu sekitar -27 derajat, aduh kebayang gak sih dinginnya, sampai-sampai danau Balaton, danau terbesar di Eropa Tengah yang sebutannya laut Hungary itu membeku. Katanya sih itu catatan rekor suhu terdingin di Hungary pada hampir sepertiga abad terakhir. Awal-awal datang ke Budapest, hampir tiap hari aku mengeluhkan suhu yang dingin, padahal waktu itu, suhunya masih dikisaran 15-19 derajat. Sampai-sampai kedua teman kamarku bilang, ‘Ashwa, Ashwa, jika suhu sebegini saja kamu sudah mengeluh dingin, bagaimana kamu akan bertahan saat winter nanti?’. Aku bilang aku akan berhibernasi di kamar, makan yang banyak dan tidak kemana-mana (haha good plan).

Image result for FROZEN BALATON LAKE
Danau Balaton yang beku Januari 2017
Seorang pria India, tiap kali melihatku, dia akan senang hati mengejekku, ‘Ashwa, come on, it’s not cold at all, stelanmu itu seperti stelan winter saja, ini kan musim gugur, saya tidak bisa membayangkankan bagaimana kamu berpakaian di musim dingin nanti’ dengan nada sarkasmenya sambil tertawa mengejek pula. Ah, aku tidak bisa menyebutkan semua kalimat sarkasmenya itu, terlalu banyak. Memang apa salahnya berpakaian hingga berlapis-lapis, toh aku ini manusia dari daratan tropis kok, ditambah aku berasal dari kota yang dekat dengan laut, tentu saja aku kurang menyukai dingin. Alasan yang masuk akal kan. Daripada sakit, mending deh terlihat aneh. ‘Hei jika kamu mengejekku lagi, mungkin aku akan melemparmu dari lantai ketujuh, ah aku lupa kalau kamu ini orang India, kamu tidak akan apa-apa pun jika aku melakukannya, seperti yang kunonton dalam film-film Bolywood itu’, ini kalimat sarkasme terbaik yang bisa kuberikan kepada mahasiswa perfilman itu. (warning ! yang ini jangan ditiru, tidak baik). Jika anda tidak memahami kalimat sarkasme tadi, berarti Alhamdulillah anda bukan penggemar film india awal tahun 2000 an dulu. :p

            Aduh, tulisan ini mulai kehilangan arah. Apa lagi ya, tadi kan bicara soal dingin ya. Oh iya, ditambah lagi negara ini benar-benar memiliki tingkat humidity yang tinggi dan cahaya matahari yang kurang. Kadang tuh liat forecast, katanya sih cerah, tapi pas keluar rumah eh ternyata berkabut. Kadang bingung sama definisi cerah disini. Kalo di Indo mah bilang cerah berarti hangat atau panas ya.

            Inti dari tulisan yang ngalor kidul ini, bagaimanapun kamu menemui rintangan dan tantangan dalam hidupmu, tetap struggle, semangat, kamu pasti bisa melalui semuanya, tetap positif thinking dan optimis, dan berbaik sangka pada Allah tentunya. Allah tidak akan memberi beban kepada manusia diluar kapasitas dirinya. Bisa jadi setiap masalah yang kita lalui dalam hidup itu, adalah jawaban Allah atas doa-doa kita. Mungkin kita pernah berdoa pada Allah, ‘ya Allah jadikan aku pribadi yang lebih baik, sholeh(ah), sabar, mandiri, bijaksana, pantang menyerah’, maka Allah berikan pada kita ujian untuk meningkatkan kapasitas diri kita menjadi seperti yang diinginkan. Kita ingin sabar, Allah kirimkan orang-orang yang sering membuat kita marah, tak lain dan tak bukan supaya kita melatih kesabaran itu. Kita ingin jadi pribadi yang pantang menyerah, Allah beri kita kegagalan agar kita tahu bagaimana cara bangkit kembali setelah terjatuh. Selalu ada hikmah dari setiap perjalanan hidup ini, bahkan untuk hal-hal kecil yang mungkin sama sekali tidak kita sangka. Tulisan ini kupersembahkan khususnya untuk diriku sendiri yang kadang suka loyo belajarnya, yang kadang suka lupa dan alpa ini, dan juga untuk teman-teman semua yang juga sedang berjuang menjalani kehidupan yang fana ini. 

 Poin penting lainnya, salah satu alasan penting kenapa muslimah harus pantang menyerah, karena mereka adalah calon ibu yang akan mendidik generasi berikutnya menjadi generasi yang pantang menyerah dalam membangun peradaban dan mengejar fajar kebangkitan itu.

      Semua orang punya ceritanya dan kisahnya masing-masing dalam berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lagi. Ibarat larva yang berusaha bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah. Salam perubahan !!! [Ashwarin]

Budapest

Senin, 22 Januari 2018

Part 10 Pesta Pernikahan

Sepasang pengantin itu masuk sambil menari (bisa dibilang berdansa ya). Orang-orang menyambut sepasang pengantin itu memasuki ruangan pesta untuk tamu wanita sambil melakukan ‘zaghrouta’ (aku tidak menemukan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia, tapi ini semacam gerakan lidah menghasilkan suara-suara yang khas). Pengantin wanitanya adalah guru ngaji sekaligus teman karibku di Budapest. Aya begitu nama panggilannya. Dia berasal dari Hebron sedang suaminya berasal dari Gaza. Ini pertama kalinya aku menyaksikan langsung pesta pernikahan dengan kultur Arab, khususnya Palestina.

Teman kamarku yang berasal dari Hebron sering bercerita banyak hal tentang kebiasaan dan budaya orang-orang Palestina, termasuk dalam merayakan pesta pernikahan. Ketika aku mendapatkan undangan pesta Aya, rasanya cerita yang baru beberapa saat lalu diceritakan padaku menjadi nyata, ya, aku ikut menyaksikannya langsung bagaimana orang-orang menari diiringi musik dan lagu khas Palestina. Aku teringat kembali percakapan kami di kamar ‘bagaimana orang-orang merayakan pesta pernikahan di daerahmu?’ tanyaku. ‘kami menari, menyanyi, dan makan tentu saja’. ‘wow, itu pasti menarik –makanannya- ’, seruku.

Saat menghadiri pesta, aku baru tahu jika ternyata yang menjadi penari utamanya adalah pengantinnya. Setelah mereka menari beberapa saat, pengantin prianya menuju ke tempat para tamu pria, meninggalkan pengantian wanitanya yang menari dan para wanita lainnya pun ikut menari bersama, anak-anakpun tidak ketinggalan.

Aku yang sedang duduk memperhatikan sekitar dikejutkan saat tanganku di tarik sang pengantin untuk ikut menari bersama. Dua jam pesta berlangsung, dan selama itu pula tarian berlangsung. Wah, dalam hati aku bertanya-tanya mereka tidak capek apa ya. Aku saja kelelahan tiap lima menit dan beristirahat, hehe. Aku cuma menyaksikan pesta seperti ini dimana orang-orang menari di film Bolywood saja kataku pada temanku itu, aku tidak tahu kalau orang-orang Arab melakukan ini juga. ‘Lalu bagaimana orang-orang di daerahmu merayakan pesta pernikahan?’ tanyanya. ‘Para tamu tidak menari apalagi pengantinnya tentu saja. Pengantin akan duduk manis sambil salam-salaman dengan para tamu, dan para tamu menikmati hidangan dan mungkin saling bercakap-cakap dengan keluarga pengantin atau tamu lainnya, dan ada musik juga yang dimainkan pemusik dan penyanyi yang disewa, itu saja’, jawabku. ‘lalu apa di tempatmu, laki-laki dan perempuan juga dipisah?’ tanyanya lagi. ‘Secara kultur tidak ada kebiasaan seperti itu, tapi saat ini, orang-orang yang sudah memahami syariat islam tentang walmatul ursy mulai menerapkannya, memang mulanya sedikit aneh di tengah-tengah masyarakat tapi lama kelamaan akan biasa juga.’

Aku teringat saat masih kecil dulu, sepupuku mengadakan pesta pernikahannya dengan memisahkan laki-laki dan perempuan dengan sebuah hijab yang membentang. ‘pak itu kenapa pengantin laki-laki dan perempuannya dipisah?’ tanyaku penasaran. Mungkin karena tak tahu jawabannya malah dijawab asal waktu itu ‘oh itu pengantinnya lagi bertengkar makanya dipisah’. Aku ber’oh’ ria saja waktu itu, setelah duduk di bangku sma, barulah aku mengerti alasannya, bukan karena pengantinnya berantem tentu saja, tapi untuk menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meraih ridha-Nya.

Aku cukup terkejut saat diceritakan padaku kalau di Palestina mereka tidak mengenakan hijab saat pesta, alasannya tentu saja karena tidak akan ada laki-laki yang bergabung ke tempat pesta wanita, anak laki-laki berusia 7 tahun ke atas pun umumnya berada di tempat pesta para lelaki. Tapi untuk pesta kali ini di Budapest, tentu saja semua wanita baligh mengenakan hijab mereka. 

Zaghrouta



Part 9 Kaya Tapi Miskin

“Kau tau apa yang memiliki segalanya tapi tak memilikinya?” tanyaku. Dia hanya menggelengkan kepala, tak mengerti dengan pertanyaan yang kuajukan. “INDONESIA”, jawabku. Kutunjukkan peta Indonesiaku tercinta, tanah kelahiranku padanya, sejak sekolah dulu, guru ku selalu bilang bahwa Indonesia adalah zamrud khatulistiwa, negara yang kaya raya, tanahnya subur, memiliki kekayaan alam yang luar biasa, tak perlu bersusah payah menumbuhkan tumbuhan, biji kau lempar saja ke tanah, bisa tumbuh dengan sendirinya. Bukan hanya kaya biotik tapi juga abiotik, mulai dari minyak bumi, gas alam, berbagai macam logam, sampai emas ada di dalamnya. “wow, negaramu pasti sangat kaya”, katanya sambil terpukau mendengar pemaparanku. “tidak juga, justru sebaliknya, kau lihat semuanya ada di Indonesia, tapi yang memilikinya bukan kami, lihatlah bendera-bendera ini, merekalah pemiliknya”. Waktu kecil dulu aku percaya diri sekali jika Indonesia benar-benar kaya, tapi seiring berjalannya, semakin dewasa, semakin aku paham, itu semua hanya fatamorgana. Bukan karena kekayaan alam itu hanya ilusi, tentu nyata adanya, tapi karena negara memilikinya dan mengelolanya untuk dimanfaatkan untuk masyarakat Indonesia hanyalah fatamorgana di alam kapitalis- sekulerisme-demokrasi. Kamu penasaran mengapa bukan? 

Part 8 Hanya Sebuah Ucapan

“Kenapa sih tidak mengucapkan selamat natal, kan cuma ucapan doang”, “gak toleran banget sih kamu”,  “kan gak berarti kalo kamu ngucapin itu lantas kamu jadi kafir kan”. Mungkin kalimat-kalimat ini sering mewarnai hari-hari kita utamanya menjelang hari raya umat lain.

Tuduhan intoleran, radikal, dan fanatik tersemat bagi orang-orang yang hanya ingin menjaga akidah dengan baik. Seolah orang-orang yang tidak mau mengucapkan selamat pada hari perayaan umat lain adalah orang-orang yang jahat yang tidak tahu berkasih sayang, penuh kebencian, dan berbagai stereotype lainnya. Seolah orang-orang ini sangat membenci umat diluar kepercayaannya.

Bagaimanapun tetaplah berhusnudzan, mungkin mereka belum memahami alasan mengapa ucapan begitu sangat penting di dalam Islam, mengapa lidah mereka begitu kelu saat ingin sekedar mengucapkan kata selamat. Mungkin saja mereka belum tahu bahwa orang-orang ini bisa jadi punya pemahaman bahwa segala tindakan dan ucapan memiliki konsekuensi. Keduanya bukan hanya sesuatu tanpa makna dan status hukum. Saya teringat perkataan seorang teman “saya tidak merasa saya mengakui agama mereka saat saya mengucapkan selamat pada hari raya agama lain”. Yah, itulah yang mungkin kita rasakan saat kita lupa bagaimana pentingnya sebuah ucapan/perkataan. Ingatkah kita syarat untuk masuk islam, itu hanya bermodal mengucapkan dua kalimat syahadat, sederhana sekali bukan. Dalam sebuah rumah tangga misalnya, seorang suami bisa menjatuhkan talak pada istrinya hanya dengan sebuah ucapan talak bahkan sekalipun jika suami itu mengucapkannya dengan bercanda, nah loh ucapan doang tapi konsekuensinya besar, tidak ada dalih ‘kan cuma bercanda’. Dalam hadist riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda “celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakah ia, celakalah ia”. Lihat pula bagaimana Rasulullah mencela orang-orang yang bercanda dengan dusta. Mungkin sebagian orang berdalih “ya elah, bercanda doang kok sampe dosa”, sekali perkataan dusta tetaplah dusta walah hanya gurauan. Lihatlah bagaimana Rasulullah mengajarkan kita bahwa ucapan bukanlah sesuatu yang sepele, ucapan bukanlah permainan lidah saja, itu bisa mengubah banyak hal baik kita sadari ataupun tidak, begitupun baik kita inginkan ataupun tidak.

Sebagian muslim yang lain mungkin sedih saat melihat umat islam lainnya berbondong menyerukan dan mengingatkan hukum mengucapkan selamat pada perayaan umat lain. Daripada melihatnya sebagai sebuah bentuk intoleransi dan fanatik berlebihan, alangkah elok jika justru melihatnya sebagai bentuk kasih sayang untuk seluruh umat, baik yang muslim maupun yang non-muslim. Bukankah indah sekali saat saudara seiman mengingatkan kita dalam kealpaan. Bisa jadi diantara saudara berbeda pendapat dalam hal ini, tapi tidaklah jadi pembenaran untuk saling berburuk sangka satu sama lain.

Bagi seorang muslim “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (TQS 3:19). Islam adalah sebuah nikmat yang luar biasa yang dimiliki seorang muslim, harta yang sangat berharga. Sejak Islam datang, berturut-turut manusia memeluk agama mulia ini. Bukan tanpa sebab, hanya saja seorang muslim tidak hanya menyimpan harta berharga ini sendirian tapi senantiasa ingin agar orang lain juga merasakan kenikmatan Islam. Dakwah menjadi cara muslim menyebarkan keagungan Islam. Tidak mengucapkan selamat saat hari raya umat lain bukanlah tanda kebencian pada umat lain, tapi justru tanda kasih sayang. Bukankah bagi seorang muslim satu-satunya agama yang diridhoi Allah adalah Islam, lalu bagaimana mungkin seorang muslim dengan keyakinan tersebut menutupi kebenaran Islam dengan membenarkan sesuatu yang bertentangan, bukankah itu dusta namanya. Kejujuran bisa jadi menyakitkan, tapi itu lebih baik dari kebohongan yang melenakan.

Menjadi baik dan disenangi bukan berarti harus mengikuti arus sekitar, seperti halnya menjadi orang tua yang baik bukanlah yang selalu mengikuti kemauan sang anak tapi yang mampu menyikapi dengan benar kemauan sang anak. Sahabat yang baik bukan pula yang selalu mendukung apapun yang dilakukan sahabatnya asal bahagia tapi sahabat yang baik adalah yang mampu membimbing sahabatnya menuju kebaikan.



Salam Persahabatan. Selamat menjalani hari dengan amar ma’ruf nahi mungkar kawan. ^_^

Part 7 I want to take photo

“What exists in my heart, I cannot tell you, coz it’s something difficult to describe by words. Sometimes you see how bright and cheerful they are, but you never can imagine surely what they already have experienced in their life.” 

Anak-anak itu tengah bersorak sorai melihat kedatangan tank-tank musuh. Bukan karena bahagia tentu saja, tapi aku juga tak yakin itu karena ketakutan. Suara tembakan dan rudal-rudal yang meledak menghancurkan apa saja yang dihantamnya. Seorang gadis dengan antusiasnya berusaha mengambil gambar terbaik saat tank-tank itu menjalankan misinya dengan berbekal kamera kecil di genggamannya yang hanya bisa digunakan untuk sekali take.  

Tatkala tank-tank Israel mendekat anak-anak itu berlarian berusaha bersembunyi dan mengamankan diri, kecuali satu gadis berusia 12 tahun itu yang tetap berdiri kokoh menunggu momen terbaik untuk menggunakan satu-satunya kesempatan memotret dari kamera sederhana itu. Adik perempuannya meneriakinya, “apa yang kau lakukan? Cepat lari, mereka menuju ke arah kita”. “tidak, aku harus memotretnya”, jawab sang kakak. “kau gila, cepat, tidak ada waktu lagi, ayo pergi dari sini”, paksa sang adik.

Sekian tahun kemudian, sang adik menceritakannya kepadaku dengan tawa yang sulit ditahannya. Aku bahkan bingung apa ini cerita bergenre tragedi atau komedi, dia tertawa seperti hal ini adalah hal yang terlucu dihidupnya. Sulit dibayangkan bagaimana anak-anak disana hidup dan tumbuh tanpa mengalami trauma saat dewasa. Tapi sungguh, itulah yang terjadi, mereka tumbuh menjadi sosok yang kuat, tidak seperti sebuah negeri yang generasinya walau bergelimang kenikmatan dunia malah mudah mengalami depresi hingga bunuh diri. Memperlakukan kehidupan seperti sesuatu yang tiada artinya sama sekali.

“Memangnya kenapa kakakmu ingin sekali memotret momen penyerangan itu?” tanyaku penasaran. “Supaya dia memenangkan kompetisinya dan mendapat hadiah,” jawabnya. “kompetisi?”, dia melanjutkan “ya, gurunya membagi-bagikan kamera untuk semua muridnya dan mengadakan sebuah kompetisi dimana mereka harus memotret dengan kamera itu yang hanya bisa digunakan untuk sekali take, pemotret gambar terbaik akan mendapatkan hadiah. Itulah yang menarik, sebab dia berambisi sekali memenangkan hadiahnya.” Aku hanya tersenyum heran mendengarnya. Kira-kira hadiah seperti apa yang menyebabkan seseorang berambisi sekali mendapatkannya.

Salah satu momen di Intifada 2 pada tahun 2000.


[ashwarin]

Part 6 Crocodile Tears

"kau tau berita tentang Palestina hari ini?" tanya teman sekamarku yang merupakan gadis Palestina yang juga sedang menempuh pendidikan masternya di kampus yang sama. Aku langsung bergegas mencari berita di internet dan terkejut mendengar pidato Trump dan juga bagaimana pernyataan penguasa-penguasa muslim yang tidak terima Yerussalem sebagai ibu kota Israel. Aku membacakan beberapa kalimat dari berita media daring dan ia tersenyum kecut. "Para penguasa Arab dan negeri-negeri muslim lainnya mungkin menyatakan ketidaksetujuannya atau bahkan kemarahan atas keputusan tersebut di depan media, tapi dibelakang mereka akan mengucapkan selamat pada Israel dan US. Yang mereka ucapkan di media hanyalah kebohongan untuk menenangkan kaum muslim lainnya di seluruh dunia. Mereka tidak pernah berpihak dan tidak peduli pada Palestina kecuali hanya sedikit. Aku mendapat kabar bahwa besok akan ada Intifada, semuanya akan keluar untuk melakukan perlawanan, walau kami tak memiliki senjata apapun, setidaknya hanya itulah yang bisa kami lakukan", paparnya.

Part 5 Hiking Buda Hills

“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali”. Ahad kemarin, sebenarnya ahad kemarin rencananya bakal ke premier, tapi karena beasiswanya belum cair juga, dan aku khawatir akan telat cairnya, jadi duit yang ada mending disimpan untuk kemungkinan terburuknya. Aku memutuskan ikut hiking in the last minute. Setelah sabtu kemarin lelah menggunakan otak, kali ini mesti lelah otot, hhh. Aku berangkat sendiri ke meeting point, soalnya teman-teman sekamarku sedang sibuk belajar, bahkan di weekend seperti ini. Okey, I’ll go even I’m alone. Hikingnya dimulai pukul 11 mendaki bukit Buda. Sang guide membawa kami ke daerah yang merupakan perumahan orang-orang penting hongaria, seperti politisi, pejabat, pada duta besar, bahkan dia menunjukkan kediaman prime ministernya. Pertama kali ke Budapest, aku pikir kenapa tidak ada rumah ya. Semuanya bangunan-bangunan tua beberapa lantai, dan yang mereka tinggali disebut apartemen atau flat disini. Tapi perjalanan menuju pendakian, menunjukkan sisi lain dari kota ini, aku baru tahu kalau kebanyakan orang-orang penting disini justru tinggal di pinggiran kota, dengan kediaman yang disebut rumah tentu saja. Daerah itu sangat sepi dan tenang, seperti daerah tak berpenghuni. Rumah-rumahnya besar tapi tetap menampakkan kesederhanaan.

Pendakian menuju ke Normafa Hills, aku pernah kesini sebelumnya dengan menggunakan bus, tidak mendaki seperti ini. Guide kami mengatakan kita sebenarnya bisa menggunakan bus jika ingin ke Normafa Hills, tapi guidenya membuat kami harus berjalan jauh. Tapi tak apa, selama perjalanan setidaknya aku bisa mendapat banyak cerita-cerita menarik dari orang-orang hungaria yang memandu kami.

Tiba di Normafa Retes, para peserta hiking ada yang menikmati teh dan kopi panasnya juga lunch mereka. Salah satu cewek khazakstan mendekatiku dan mengajak sholat dhuhur bareng. ‘kau yang tentukan tempatnya’, kataku. Aku tidak menyangka kalau dia akan memilih sholat di depan warung yang sedang ramai-ramainya dipadati para peserta hiking. Aku diam saja tapi dalam hati protes ‘apa dia tidak bisa memilih tempat yang lebih sepi dimana setidaknya tidak ada orang-orang yang memandangi?’, ah tapi aku pikir idenya tidak buruk juga, ini juga bisa jadi bagian dari dakwah. Aku jadi teringat kisah seorang teman yang bahkan sholat jamaah dipinggir jalan di negeri seperti ini. Saat di Indonesia, saat ingin sholat, yang dicari adalah mesjid atau mushola terdekat. Tapi ketika berada di negeri dimana muslim adalah minoritas, pertanyaannya menjadi dimana tempat yang memungkinankan untuk sholat.

Datang dengan membawa diri sendiri, tapi yang menarik, ketika bisa mengenal banyak orang dan berteman dengan yang lainnya. Tiba puncak Buda sekitar pukul 3 siang, cuaca yang sangat-sangat dingin menyulitkan anak-anak yang hidupnya digaris katulistiwa. Salah satu teman dari ekuador mengajakku jogging agar tubuh kami hangat. Okey, kamipun berlari seperti orang aneh, yang mendaki sambil berlari. Itu lebih baik daripada merasa seperti akan beku karena suhu yang rendah.
Pemandangan Budapest begitu memukau dari atas bukit Buda. Lelahnya perjalanan dan pendakian seperti menguap begitu saja. Aku memanjat bebatuan yang tinggi untuk melihat pemandangan lebih jelas. Itu sangat indah. Saking indahnya aku sampai tidak memperhatikan jika orang-orang sudah mulai melanjutkan perjalanan meninggalkanku yang termenung diatas bebatuan raksasa.

Tiba di paling puncaknya Buda Hills, terdapat bangunan tua yang digunakan untuk sightseeing. Lantai paling bawah ada café yang menyediakan berbagai macam minuman hangat. Akhirnya setelah pendakian yang panjang, beristirahat mengumpulkan tenaga untuk pulang. Aku menggunakan chairlift yang membawaku turun dari puncak Buda. Finally, Mission Completed.













Part 4 Mulukhiyah & Malban (Palestinian Grape Fruit Roll Ups)

Ketika harus hidup jauh dari kampung halaman, ketika harus hidup bersama dengan orang yang sebelumnya asing sama sekali, aku tahu itu bukan hal yang mudah, ada-ada saja konflik yang mungkin mewarnai. Tapi konflik terbaik itu ketika justru semakin mendekatkan, bukan menjauhkan.

Aku pulang dari sebuah café yang biasanya kutempati belajar bersama dengan teman sekelasku, setelah belajar seharian dari pagi hingga menjelang magrib. Ini weekend dan disinilah aku berkutat dengan sejumlah teorema dan aksioma. Tentu saja rasanya lelah sekali. Dalam perjalanan pulang, dipikiranku aku sudah merencanakan akan memasak ini itu untuk makan malam nanti. Tapi ketika tiba, ternyata roommate ku telah memasakkan sesuatu untuk aku makan. Aku tahu bahwa dia bukan orang yang terbiasa dengan dapur dan masak dulu. Tapi hidup di negeri yang makanan jadi yang halal susah plus pun jika ada tentu mahal jika harus makan diluar tiap hari, membuat kami harus memasak ditengah-tengah kesibukan kuliah jika ingin hidup. Ini Mulukiyah pertama yang ia buat, ia harus menelpon ibunya untuk memberikan instruksi bagaimana memasaknya.

Mulukhiyah adalah sejenis sup yang dibuat dari daun Nalta rami yang banyak tumbuh di daerah timur tengah. Mulukhiyah yang dibuatnya adalah masakan khas orang-orang Palestina yang disajikan dengan nasi. Rasanya sangat sangat super duper enak, hingga membuatku hampir menangis. Temanku yang lainnya berkata ‘ya ampun Aswa, kau menangis saking bahagianya memakan Mulukhiyah?’ Aku menangguk. Sulit dipercaya jika ini pertama kalinya dia membuat sup seperti ini. Karena melihatku begitu lahap memakannya, dia berjanji akan membuatkannya lagi untukku. Ah tidak, aku lebih memilih diajarkan bagaimana membuatnya.

Sebelumnya aku juga memakan malban. Palestinian Malban yang dibuat secara tradisional dari sari anggur dicampur pati  dan diberi air mawar, merupakan permen arab tradisional yang udah ada selama berabad-abad yang lalu. Rasa manisnya seakan membawa kita ke masa seribu satu malam. Haha.. lebay deh..

Dia berasal dari West Bank, Palestina. Aku mengenalnya pertama kali sejak di Indonesia lewat facebook, dan setelah itu akulah yang memintanya tinggal bersama ketika tahu dia juga akan melanjutkan kuliah di kampus yang sama. Dan akhirnya disinilah kami, di Budapest.

Hidup dengan orang-orang yang berbeda culture dan habits bukan hal mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Kesulitan apapun itu tidaklah penting selama kita tahu bahwa kita saudara. Paspor kami memang berbeda, tapi hati kami InsyaAllah sama. Kami merindukan persatuan dan ukhuwah di seluruh dunia.

Aku ingat pertama kali berkenalan dalam bahasa Arab, mereka terkesima dan bilang pelafalanku cukup bagus. Aku bilang aku cuma tahu introduction saja, selebihnya aku NOL besar. Tak apa katanya, mereka akan mengajariku. Di malam-malam kami, mereka dengan senang hati menjadi guruku dan mengajarkanku bahasa arab. ‘Aswa kamu harus mempunyai buku catatan sendiri untuk pelajaran bahasa Arab’. ‘Okey aku mengerti’ kataku. Di malam-malam lainnya, kami saling bertukar cerita mulai dari hal-hal pribadi sampai hal yang mendunia. Aku ingin sekali menuliskan kisah-kisah mereka, tidak sekarang, tapi di cerita-cerita berikutnya. Cerita bagaimana temanku yang merupakan keturunan Amazea di Maroko yang dimarahi ayahnya saat ketahuan bermain dengan seorang keturunan Arab (ini tentang hubungan orang Arab dan Amazea di Maroko), cerita tentang Palestina dan sejarah panjangnya, invasi Israel serta masih banyak lagi.

Ah, aku lupa bilang, kalo dua roommate, satunya merupakan Amazea dari Maroko, dan lainnya dari Palestina. Apa lagi yah yang terlupakan ? hmmm… okey, complete sudah.

Selamat menunggu cerita selanjutnya !

Malban

Mulukhiyah dan Nasi