Sabtu, 01 Oktober 2022

Ibu Itu Siapa

Beberapa waktu lalu mendengar curhatan ibu-ibu para hamlud dakwah  tentang anak-anak mereka yang beranjak dewasa namun beberapa justru semakin antipati dengan dakwah. Jujur, aku sendiri jadi insecure. Memandangi bayi disampingku yang kini berusia 1 tahun 5 bulan sambil membayang-bayangkan bagaimana ia kelak, 10 hingga 20 tahun yang akan datang. Aku berpikir akankah aku mampu menjalani amanah ini, sebagai ummu dan sebagai madrasatul ula?

Seringkali aku mengingatkan diriku lagi dan lagi, 'aku adalah ummu sebelum yang lainnya', 'aku adalah madrasatul ula bagi anak-anakku sebelum menjadi madrasah bagi orang lain'. Sesuatu yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban kepadaku adalah anak-anakku.

Suatu ketika aku berbincang-bincang dengan sang partner hidup, 'mengapa ini terjadi?' Beliau menjawab, 'Seringkali para keluarga hamlud dakwah fokus meriayah keluar tapi lupa meriayah keluarganya". Aku pikir mungkin ada benarnya. Padahal Allah SWR memerintahkan kita untuk menjaga keluarga kita dari api neraka.

Kita sibuk mempersiapkan diri sebaik mungkin saat akan bertemu mad'u-mad'u, belajar, membuka kitab, menuliskan outline materi dan sebagainya, tapi apakah kita juga mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bertemu dengan anak kita esok hari ketika mereka terbangun? Besok materi apa yang akan aku ajarkan kepada ana? Hal apa yang harus aku tanamkan kepada anak? Kegiatan apa yang akan kami lakukan dst?

para hamlud dakwah memikirkan rencana dakwah kedepannya dengan baik tapi apakah juga memikirkan rencana tarbiyah ankanya dengan baik. kita bicara soa evaluasi dakwah, menyeriusinya dengan rapat tahunan, bulanan, hingga pekanan, tapi apakah kita pernah mengevaluasi pendidikan  anak kita di rumah maupun diluar rumah, apakah para orangtua mengadakan rapat membahas ana-anak mereka membuat rencana dan target tahunan, bulanan, mingguan, hingga harian?

Seorang ibu bukanlah seseorang yang sekadar mengurus kebutuhan anaknya, seperti menyusui, menyiapkan makanan, menjaga kebersihan rumah, menjaga kesehatan anggota keluarga, memasukkan anak-anak ke sekolah. Bukan, bukan sekedar itu. Mungkin kita perlu merenungi kembali diri kita para ibu bahwa kita adalah madrasatul ula, sekolah utama dan pertama bagi anak. Seseorang yang memberikan pengajaran sejak anak dalam kandungan, lahir, hingga beranjak dewasa. Seseorang yang membangun pondasi dalam diri anak. Seseorang yang perannya amat vital bagi seorang anak. Maka menyeriusi peran ini adalah suatu kewajiban.

jangan sampai kita  sibuk menjalani aktivitas, iya bersama dengan anak sih, tapi hanya raganya. Mereka ikut dalam aktivitas kita (termasuk dakwah) tapi ki lupa berinteraksi dengan mereka. Kita memandikan mereka tapi kita lupa mengenalkan Allah yang menurunkan rahmatnya berupa air, kita memberi mereka makan tapi kita lupa mengenalkan Allah ar-Razaaq sebagai yang Maha Pemberi Rezeki dalam aktivitas makan mereka, kita menghadapi anak yang sakit/terluka tapi kita lupa mengajarkannya untuk hanya memohon kesembuhan kepada-Nya, anak kita sedang menghadapi kesulitan tapi kita lupa mengajarkan bahwa Alah satu-satunya tempat bergantung, anak kita sedih tapi kita lupa mengajarkan bahwa sedih maupun senangnya seorang mukmin itu adalah rahimnya Allah, tanda sayangnya Allah pada hamba-Nya, yang dengannya Allah beri kita peluang beramal sholih dengan sabar dan syukur. Jangan sampai kita lupa bahwa anak kita berrhk atas ibunya sebagai madrasatul ula bagi mereka bukan sekedar pemenuh kebutuhan jasmaninya. ya Allah, bantu kami untuk terus belajar dan terus mengevaluasi. Ini jadi PR besar bagi kami orangtua untuk terus berbenah...

kamis, 11 Agustus 2022 pukul 22:40 WIB

yang sedang bercermin


Menyikapi Masa Lalu (Sejarah)

Dulu saat pertama kali tahu khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang Allah tuntunkan untuk manusia dan telah diterapkan selama 14 abad lamanya, ekspektasiku adalah khilafah pasti sistem yang sempurna dan selama 14 abad pasti semuanya berjalan damai dan tenteram. Rasanya menggebu-gebu ingin khilafah seperti dulu

Saat aku membaca buku-buku sejarah kekhilafahan dan menemukan soal perebutan kekuasaan yang terjadi di kalangan keluarga khalifah atau dengan bani lainnya hingga  berdarah-darah, aku lalu berpikir 'apakah khilafah itu seperti ini, berdarah-darah?' ataukah 'ah jangan-jangan penulis sejarah ini berbohong dan sejarah dikebiri', dan berbagai perasaan denial. Rasa-rasanya inginnya sejarah kekhilafahan itu perfect tanpa cela.

Hingga sesuatu menyadarkanku. Hey, Khilafah itu sebagaimana hukum syariat yang lainnya loh, yang melaksanakannya ya manusia. Namanya dilakukan oleh manusia, maka ada kanya bener ada kalanya salah. Sebagaimana sholat yang Allah wajibkan, ada kalanya manusia bener melaksanakannya, bisa jadi juga gak bener.

Mendirikan sholat lima waktu gak berubah hukumnya hanya karena ada yang salah melaksanakan sholat. Sebagaimana menerapkan sistem pemerintahan yang Allah wajibkan gak berubah hukumnya  hanya karena dalam pelaksanaannya ada yang gak bener.

Sebagaimana kita membangun keluarga, tentu harapannya sakinah mawaddah dan rohmah dong, masa iya tujuannya bangun keluarga yang amburadul. Pun dengan membangun negara, harapannya untuk yang baik-baik, gak ada ceritanya bangun negara biar bisa menindas.

Dalam keluarga ada masalah, dalam negara juga ada. Poinnya bukan karena 'ada masalah' maka 'jangan lakukan'.

Tapi sebagai seorang muslim, bagaimana dalam melakukan sesuatu panduannya adalah Islam. Membangun keluarga panduannya islam, membangun negara juga panduannya islam.

Melihat sejarah kekhilafahan itu hanya sebatas 'oh itu soal perebutan kekuasaan yang berdarah-darah' lalu menolak wajibnya Khilafah, tak ubahnya seperti melihat dengan kaca mata kuda lalu mengambil kesimpulan begitu saja. Sejarah bukan untuk menghukumi sesuatu dan harusnya kita tahu itu. Hukum sesuatu didasarkan pada nash-nash syara bukan dari sejarah.

Memahami arti sejarah atau masa lalu itu penting. Agaknya menyakitkan memang harus menjumpai ketidaksesuaian apa yang kita inginkan dengan sejarah masa lalu. Namun dalam melihat masa lalu atau sejarah, ini bukan soal apa yang kita inginkan atau ekspektasikan, tapi soal hikmah apa yang bisa kita ambil dari masa lalu.

Bukankah dalam menjalani hari-hari kita pun demikian. Adakalanya sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Adakalanya perjalanan kita menemui jalan yang salah bahkan buntu. Tapi tak perlu menyalahkan perjalanan itu sendiri, sebab yang perlu kita lakukan adalah belajar dari kesalahan sebelumnya.

Jangan katakan 'jika tak mau tersesat, jangan melakukan perjalanan'. Lantas jika tersesat kenapa? Haruskah menyalahkan diri sebab membuat keputusan untuk melakukan perjalanan. Bukankah salah satu kebijaksanaan adalah melangkah kembali, lanjutkan perjalanan, koreksi kesalahan, temukan jalan yang benar itu. Tak perlu malu dengan sejarah kelam kita, tapi perbaikilah apa yang rusak. Tak perlu berpaling dari sejarah kelam kita, hadapi dan ambil hikmahnya.

Ada hikmah besar ketika sesuatu tidak berjalan sebagaimana yang Allah janjikan. Bukan salah syariat Allah, tapi salah manusia yang kerap kali menyimpang dari tuntunan Allah. Jika sholat tak mampu menghindarkan kita dari perbuatan yang mungkar, bukan salah sholatnya. Coba koreksi apakah sholat kita telah sesuai dengan yang Allah perintahkan. Begitupun dengan syariat lainnya.

Allah gak pernah salah dalam memberikan syariat tapi justru manusi lah yang kerap kali lalai dari menjalankannya.

Sejarah kelam yang pernah ada dalam kekhilafahan bukan pembenaran untuk tidak lagi berhukum pada hukum Allah. Sebab no kelam itu tidaklah muncul kecuali manusia telah lalai dari perintah Allah, sedikit atau banyak. Ada hikmah yang besar disitu yang harusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk sekarang dan masa mendatang. Bahwa ketika manusia berpaling sedikit saja dari apa yang Allah perintahkan maka manusia akan menuai akibatnya. 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.." (QS Ruum : 41)

Dibalik masa lalu dan sejarah kelam ada hikmah dan ibrah yang bisa diambil bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.

Apa yang terjadi (akibat yang kita tuai karena perbuatan kita) adalah bagian dari kasih sayang Allah. Tidak lain dan tidak bukan agar kita intropeksi/muhasabah dan kembali ke jalan yang benar.

لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ruum :41)