Jumat, 30 September 2022

Mendidik Anak Perempuan Part 2

Suatu ketika do'i bertanya pendapatku bagaimana membesarkan anak perempuan? Aku tahu ini bukan hal mudah. Apalagi di sistem sekuler hari ini. Perasaan cinta dan naluri seksual sengaja dieksploitasi  terus menerus demi keuntungan materi. Idola-idola baru terus diciptakan agar pundi-pundi uang terus terisi. Korbannya siapa lagi jika bukan para generasi muda, generasi yang seharusnya melanjutkan peradaban.

Aku ingin menjawab pertanyaan tadi tidak dengan teori-teori pendidikan anak ataupun parenting. Tetapi tentang apa yang aku rasakan sebagai anak perempuan. Laki-laki berbeda dengan perempuan maka cara memperlakukannya pun tentu berbeda. Perempuan itu dikenal dengan kepekaan perasaannya. Maka kuncinya sebenarnya ada disitu.

Aku mungkin berasal dari broken-home family tapi aku menghargai segala usaha orangtuaku membesarkanku, terutama ayahku. Bahkan dibalik drama keluarga yang berlarut-larut kala itu, yang aku memberikan rasa sakit yang tidak sedikit tetapi beliau menjalankan perannya sebagai ayah dengan baik.

Menurutku, ini salah satu alasan mengapa aku tidak mudah mengalami masalah gharizatun nau (cinta) disaat anak gadis umumnya dengan mudahnya jatuh hati dan patah hati karena seorang lelaki. Sebab aku merasakan cinta ayah yang bahkan tidak bisa dibandingkan dengan gombalan maupun rayuan dari lelaki manapun. For me, he is my real love.

How?

Ayah adalah pendengar yang baik dan tempat curhat yang aman. Bagiku beliau sosok yang enak buat curhat. Tiap kali ada kesempatan aku dengan cerewetnya cerita apa yang aku alami seharian itu, hal yang aku suka, hal yang kubenci, hal yang bikin aku kesel, dan seterusnya. Aku masih ingat wajah menahan kantuknya karena aku terus-terusan bicara padahal waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam.

Kami tidak selalu punya pendapat yang sama. Seringnya jalan pikiran kami berbeda. Tapi ayahku selalu menghargai jalan pikiranku dan pendapatku bahkan kepadaku yang masih kecil kala itu. Jika keinginanku tidak sejalan dengan apa yang beliau pikirkan baik, alih-alih memaksa atau memarahi, he changed my mind in a really nice way. Beliau menjelaskan dengan logis tanpa tendensi 'udah ikut kata orang tua aja, you are just a kid'. He is so wise.

 Dalam berbagai kesempatan, ayahku kerap memuji 'anakku yang cantik'. And you know, menurutku pujian ayah untuk anak perempuannya akan menjadikannya kuat menghadapi rayuan diluar sana. I feel this, ketika ada yang merayu diluar sana dalam hati kuberkata, 'haha, I know, my dad always says so'.

Ada banyak momen berkesan bersama beliau. Terutama ketika kami nge-date berdua di pinggir pantai sambil menikmati jagung bakar atau makan mie goreng Jakarta di kedai sederhana. Bercerita banyak hal. Tentang masa depan, tentang cita-cita, bahkan diskusi berbagai isu.

Kadang-kadang ayah mengajak masak bersama walau sebenarnya aku tidak menikmati kegiatan memasak aku tidak menikmati kegiatan memasak dan lebih sering menggerutu dan merengek buat beli aja, hihi.

Sebagai anak perempuan, momen-momen bersama ayah like a treasure. If you are a dad, please create your moment with her.

Another thing yang aku sukai sekali adalah ketika ayahku mengusap kepalaku. It feels so calming, menenangkan. And you know, mengusap kepala anak adalah salah satu sunnah Rasul. Do it to your kids and feel the wonder.

Semuanya tak bisa terangkum di post singkat ini. Ini hanya secuil how dad treats his daughter versiku. I love it dan cerita ini ke do'i. Berharap Birjees akan menjadi sahabat ayahnya.

Tulisan ini lebih terlihat seperti nostalgia, not tips basically. Poinnya soal membangun intimacy ayah dan anak perempuannya dan memenuhi tangki cinta mereka.

Ayah, jangan malu mengekspresikan cinta dan membangun intimacy dengan anak. Penuhi tangki cinta anak-anakmu agar mereka kuat menerjang badai kehidupan. karena Ayah, kamu adalah ayat Allah ar-Rahman ar-Rahim untuk anak-anakmu di bumi.

Mendidik Anak Perempuan Part 1

Perkataan seorang ulama Aljazair, Imam Abdul Hamid bin Badis, "Ketika kau mendidik anak laki-laki, maka kau sedang mendidik satu manusia. Namun ketika kau mendidik anak perempuan, sejatinya kau mendidik sebuah umat."

Kalau teringat perkataan ini membuat saya deg-degan. Bisa tidak ya aku mendidik anak-anakku dengan baik. Birjees berusia 10 bulan sekarang. Tak terasa sebentar lagi setahun, lalu dua tahun dan mungkin aku kaget kala tiba-tiba saja ia telah baligh. Tapi jangan sampai kekagetanku ini karena ketidaksiapanku.

Suatu ketika, ayahnya ngobrol soal masa depan Birjees. Soal bagaimana kami memilihkan jodoh yang baik untuknya dan bagaimana mendidiknya menjadi istri dari seseorang dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak. Meweklah aku. Masa baru brojol udah ngomongin sejauh itu. Huhu.

Tapi ya benar sih, Birjees gak selamanya jadi bayi lucu kayak sekarang. Ia akan tumbuh menjadi gadis dewasa kelak. Mendidik anak gak bisa sekedar 'let it flow'. Soalnya ini manusia loh. Gagal mendidik satu manusia, akibatnya bukan cuma dirinya tapi buat peradaban. Wabil khusus kalo ngomongin anak perempuan.

Dari rahim-rahimnya lah lahir penerus peradaban. Mereka adalah ibu generasi. begitupun sebaliknya. Jika para perempuan terdidik baik dengan visi-misi ukhrawi, maka ini menjadi modal besar bagi lahirnya generasi tangguh, generasi pemimpin, dan generasi khoiru ummah.

Hal ini ketika dunia berada dalam haegemoni kapitalisme, tugas mendidik anak perempuan menjadi semakin berat. Pandangan hidup sekuler menggerogoti para orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Standar kesuksesan di masyarakat adalah soal capaian materi, nilai tinggi saat sekolah, dan dapat pekerjaan dengan gaji tinggi. Sering kita mendengar orangtua memotivasi anaknya, "ayo sekolah yang pinter, biar nanti bisa kuliah di Univ X, dapet pekerjaan yang baik, bla bla bla..."

Ditambah lagi gempuran pemikiran rusak yang berusaha ditanamkan ke keluarga-keluarga muslim. Feminisme, liberalisme, relativisme, dan segala isme-isme asing. Kemaren childfree hari ini spirit doll. Kemarin kampanye 'gak perlu punya anak', hari ini kampanye 'adopsi boneka jadi anak'. Naudzubillah...

Ya dunia hari ini semengerikan ini. Belum lagi kalo ngomongin lingkungan tempat hidup kita yang jauh dari rasa aman. Tingginya angka kriminalitas. Pembunuhan, pemerkosaan, pedofilia, penculikan anak dan sederet kasus yang selalu menghiasi  layar kaca berita kita. Sistem hukum dan peradilan yang jauh dari kata adil. Sistem ekonomi yang jauh panggang dari menyejahterakan kita.

Tantangan mendidik anak hari ini tidak mudah. Bagaimana membentengi anak dari gempuran pemikiran rusak, mendidiknya menjadi seseorang yang paham visi misi hidupnya di dunia. Dan bagi anak perempuan, bagaimana mendidiknya menjadi calon ibu generasi khoiru ummah. Semoga Allah memudahkan dan menunjuki kita ya ayah.

Allahumma faqqih haa fid diini wa 'allimhaat ta'wiilaa 

Mencari Tempat Tinggal Yang Aman

Kita selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Termasuk dalam urusan tempat tinggal. Kita ingin menyediakan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk anak bertumbuh dan berkembang. namun di era saat ini tentu semuanya begitu berbeda.

Mungkin diantara kita mengira uang adalah masalahnya. Jika punya uang bisa membeli rumah di tempat yang bagus atau membangun rumah yang aman dan membuat lingkungan yang nyaman bagi anak. Tapi ternyata tidak.

Mungkin diantara kita mengira tetangga adalah kuncinya. Jika tetanggamu baik, anak-anakmu akan baik juga sebab berada di lingkungan para tetangga yang baik. Tapi ternyata itu tidak cukup.

Mungkin diantara kita mengira hidup di kota yang low crime ratenya akan menjaga keamanan anak-anak kita. Tapi ternyata New Zealand yang terkenal sebagai negara paling aman pun tak luput dari serangan didasarkan islamophobia.

Mungkin diantara kita mengira jika lingkungan luar tak aman maka yang terbaik adalah memasukkannya ke sekolah asrama atau ke pesantren. Hingga kemudian kasus-kasus elgibiti dan bullying disana menyadarkan kita. Anak-anak tak selamanya di sana dan ia pasti akan bersinggungan dengan dunia luar. Tak mungkin mengerangkengnya bukan.

Jika dulu, pembicaraan kita soal memilih lingkungan yang tepat untuk tinggal adalah soal kotanya, soal lingkungannya, soal tetangganya, soal keamanan rumahnya, maka sebenarnya di era borderless hari ini semuanya menjadi berbeda. Kita hidup tidak lagi dibatasi secara fisik. Batas-batas kota hingga negara tiada artinya lagi, apalagi sekadar batas lingkungan dan rumah. Penemuan internet mengubah segalanya.

Hari ini anak-anak kita dididik tidak sekedar di wilayah lingkungan rumah dan tetangga kita tapi telah melewati batas-batas fisik itu.

Aku tau ini mengkhawatirkan. Sebab aku pun sebagai orang tua khawatir akan masa depan anak-anak kelak. Aku bertanya-tanya bagaimana aku akan menjaga anak-anakku dari pengaruh-pengaruh buruk diluaran sana.

Sedangkan hari ini apapun bisa diakses bahkan dari bilik-bilik istirahat kita. Referensi-referensi buruk bersliweran berusaha menghantam kita dan anak-anak kita. Jelas ini meresahkan.

Aku tahu tidak mengenalkan internet juga bukan solusi sebab hari ini internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Apakah kita akan mengirim anak-anak kita ke hutan belantara yang tak ada akses internet? Tentu itu bukan solusi pula.

KITA HARUSNYA SADAR BAHWA DI ERA BORDERLESS GAK ADA LAGI ISTILAHNYA TEMPAT YANG AMAN. Maka mencukupkan diri dengan 'ah yang penting aku tinggalnya di lingkungan yang islami', 'ah yang penting anakku sudah masuk pesantren', 'ah yang penting keluargaku paham islam semua', dan 'yang penting'-'yang penting' lainnya. Lantas dengan dalih itu kita jadi gak mau turut berjuang, turut melakukan perubahan, merasa bahwa urusan kita hanya soal keluarga kita, maka sebenarnya kita telah gagal paham bawa anak-anak kita bukan hanya bagian dari keluarga, tapi bagian dari masyarakat.

Aku tahu ini sulit. Ikut berjuang sepertinya melelahkan. Jalannya panjang dan mungkin penuh resiko. Tapi bukankah tidak melakukan apa-apa akan membuat semuanya lebih buruk. Akan berapa generasi lagi semuanya begini?

Kemaksiatan diorganisir dengan rapi demi menormalisasinya hingga anak-anak kita menerimanya sebagai hal yang lumrah. Lalu apakah kebaikan harus kita lakukan sendiri-sendiri dalam keluarga kita? Kenapa kita tidak memperjuangkan kebaikan secara terorganisir pula alih-alih berjuang sendiri-sendiri?

Maka merapat dalam barisan/jama'ah/kelompok dakwah adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan.

Jika tidak maka seperti kata Sayyidina Ali ra "kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak teroganisir".

Rabu, 28 September 2022

Ilmu dan Penuntut Ilmu

Sharing Night Bed Talk dengan ayah Birjees tiga malam lalu.
"Jika maksiat menghalangi masuknya ilmu, mengapa ada orang-orang yang beriman tapi punya ilmu dan membangun peradaban dengan teknologi maju?"

"Salah satu dampak kemaksiatan adalah terhalangnya masuknya ilmu". Nasehat ini sangat familiar terutama bagi para penuntut ilmu. Nasehat ini disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya Ad-Daa wad Dawaa. Salah satu kisah terkenal tentang 'maksiat yang menghilangkan ilmu' adalah hilangnya hafalan satu kitab Imam Syafi'i karena gak sengaja melihat aurat wanita yang tersingkap.

TAPI... "Lalu bagaimana posisi orang-orang cerdas dan berilmu tapi mereka adalah orang-orang yang tidak beriman? Bukankah tidak beriman adalah kasta tertinggi maksiat? Bukankah Thomas Alfa Edison, Einstein, Galileo Galilei adalah orang-orang yang tidak beriman tapi ternyata diberi ilmu oleh Allah?"

"Jika maksiat menghalangi masuknya ilmu, mengapa ada orang-orang tidak beriman tapi punya ilmu dan membangun peradaban dengan teknologi maju? Lihatlah bagaimana barat maju dengan ilmu pengetahuannya tanpa keimanan".

Di era sekuler hari ini, peran Tuhan dalam kehidupan dinafikan. Seolah bilang gini 'lu punya ilmu dan harta gak ada hubungannya dengan lu taat dengan Tuhan (agama) atau nggak'. Pernyataan seorang guru besar di Kalimantan yang sempat viral di FB beberapa waktu lalu ya kurang lebih menegaskan hal yang sama bahwa orang-orang yang gak taat sama perintah Tuhan ternyata pinter-pinter dan berprestasi kok.

Dari sini yang ingin disampaikan mereka sebenarnya "mengikuti perintah agama itu hanya non sense belaka". 

Sebenarnya gimana sih relasi antara ilmu dan si penuntut ilmu?

Segala ilmu dan pengetahuan yang ada di dunia ini sejatinya berasal dari Allah Al Alim. Allah Al Alim memberi ilmu kepada siapapun yang Allah kehendaki, baik itu orang beriman, taat, maupun yang maksiat. Itu adalah hak prerogatif Allah. Gak bisa kita menuntut Allah, 'ya Allah kenapa Archimedes Engkau beri ilmu tentang relasi gaya berat dan gaya apung padahal ia tidak beriman kepada-Mu'.

Ilmu dan penuntut ilmu sebenarnya tidak selalu mengimplikasi satu sama lain. Penuntut ilmu yang taat tidak selalu pasti dikaruniai ilmu dan kemudahan menuntut ilmu. Pun sebaliknya. Ilmu itu bisa merupakan KARUNIA yang membuat siempunya semakin dekat dengan Allah dan bisa pula merupakan ISTIDRAJ yang membuat siempunya semakin jauh dari Allah. Ilmu bisa menjadi jalan hidayah bisa pula menjadi jalan sesat bagi siempunya.

Kalo kita memahami ini tentu gak heran kenapa ada misionaris yang bisa hafal Al-Quran. Kenapa ada intelektual muslim tapi kerjaannya malah merekonstruksi ajaran Islam sesuai arahan musuh-musuh Islam. Disisi lain ada yang bener-bener niatnya lillah menghafal Al Quran, sudah menjaga diri dari maksiat tapi masih sulit menghafal.

Hal yang harus kita tanamkan dalam diri adalah bahwa pasti ada ibrah dibalik itu. Bisa jadi karena niat kotor dan maksiat sang penuntut ilmu, Allah beri ia ilmu agar ia semakin tersesat. Bisa jadi Allah tidak beri ilmu kepada seseorang karena Allah hendak menjaga hamba-Nya itu.

MENUNTUT adalah kewajiban dan tentu ada hisabnya. Ada rambu-rambu didalamnya yang berkaitan dengan pahala dan dosa. Ada adab-adab yang senantiasa kita junjung dalam proses menuntut ilmu. Sedang MEMPEROLEH ILMU adalah wilayah yang tidak kita kuasai, Allah lah yang Maha Berkehendak memberi ilmu itu atau tidak. 

Fokuslah pada apa yang kita kuasai. Lakukan sesuai apa yang Allah perintahkan, niatkan lillah dan jalani sesuai petunjuk-Nya. Patuhi adab-adabnya bukan semata demi mendapat ilmu tapi keberkahan proses menuntut ilmu.

Kalau ilmu dari Allah, kenapa sih orang yang tidak beriman dan orang yang maksiat juga diberi ilmu?

Sebenarnya pertanyaan ini mirip juga dengan: Kalau Rizki dari Allah, kenapa sih orang yang tidak beriman dan orang yang maksiat juga diberi Rizki?

Rizki harta, kesehatan, ilmu, keselamatan dunia, Allah beri kepada siapapun yang Allah kehendaki. Inilah bukti betapa Allah Ar-Rahman. Kasih sayangnya begitu luas meliputi seluruh makhluk-Nya. Hal ini justru harusnya membuat kita makin taat bukan malah mendurhakai-Nya. Sebab tidak ada yang menyayangi sebesar sayangnya Allah pada makhluk-Nya.

Selalu ingat bahwa menuntut ilmu adalah ibadah sebagaimana ibadah-ibadah lain yang kita lakukan untuk bertaqarrub ila Allah (mendekat pada Allah). Maka ilmu yang kita harapkan adalah ilmu yang bermanfaat. Tidaklah ilmu itu bermanfaat kecuali mengantarkan pada hidayah.

Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam mengatakan "Ilmu yang bermanfaat adalah sesuatu yang dapat membuat dada terasa begitu lapang dan dapat menyingkap tirai yang menyelimuti hati. Ilmu yang paling baik adalah ilmu yang disertai rasa takut pada-Nya. Jika ilmu disertai rasa takut pada-Nya, ia akan berguna bagimu. Namun jika tidak, maka ia hanya akan menjadi petaka bagimu."


Mengapa Aku Go Abroad

Lima tahun lalu keinginanku untuk study abroad akhirnya terwujud. Setelah berkali-kali gagal hingga kesempatan itu tiba. Malam ini aku berusaha menggali memori masa lalu itu, alasan awal kenapa aku ingin sekolah keluar negeri. Walau pada perjalanannya alasan itu tentu saja berubah. Namun pemicu awal itu sesuatu yang tak bisa diabaikan.

Aku menginjak usia remaja kala itu. Seragam putih biru kukenakan dengan bangga sembari membayangkan betapa indahnya tumbuh dewasa. Bertemu dengan kawan baru hingga mungkin jika beruntung bisa jatuh cinta.

Namun, kenyataan tidak seperti ya kubayangkan. Rumah tempatku hidup yang sebelumnya penuh dengan bahagia dan memori indah dijahili atau menjahili saudara-saudara, lalu berubah.

Kehangatan itu menghilang seiring hilangnya cinta dua insan berganti benci. Semuanya pergi dengan urusannya masing-masing lalu tinggallah aku. Aku yang sedang dalam fase memasuki dunia remaja seakan ditampar keras oleh kenyataan. Kenyataan bahwa hidup itu tidak selalu berjalan seperti yang kau mau. Tapi hidup itu adalah sesuatu yang harus kau lalui siap atau tidak.

Rasanya seperti babak belur, terluka, berdarah tapi tak ada yang mampu melihatnya. Tapi hidup harus terus berjalan bukan? Alaminya manusia adalah mencari cara bahagia bagaimana pun dan dimana pun. Lalu rasa ingin pergi jauh itu pun muncul. Ya, aku harus pergi ke tempat yang jauh. Entah ke benua lain di bumi atau ke planet lain di galaksi Bima sakti. Jika Elon Musk saat itu menawariku jadi relawan ke Mars mungkin aku mengiyakan.

Saat melihat gadis kecil yang sedang tertidur di sampingku ini, aku berpikir bagaimana jika kelak ia ingin pergi karena tidak bahagia. Bagaimana aku membesarkannya tanpa trauma? Aku khawatir tentang rumah yang kami bangun untuknya. Bukan fisiknya tapi kehangatannya. Akankah menjadi rumah yang selalu ia rindu? Ataukah rumah yang ia ingin pergi darinya sejauh-jauhnya?

Anak-anak suatu saat akan pergi dari kita, orang tuanya. Tapi aku ingin memastikan mereka pergi bukan karena kesepian, bukan pula karena tidak bahagia. Semoga Allah Al Hadits senantiasa menunjuki kita dalam setiap proses pengasuhan dan pendidikan anak-anak kita serta di setiap usaha kita membangun keluarga yang hangat dan bahagia karena Allah. Aamiin.


Be a Momactivist

Hai, moms. Pernah denger Momactivist? Istilah ini mungkin gak sepopuler istilah mompreneur yang diperkenalkan Antonia Chitty. Jika mompreneur terdiri dari gabungan kata mom dan enterpreneur yang artinya seorang ibu sekaligus wirausahawan. Maka Momactivist adalah gabungan kata mom and activist yang artinya adalah seorang ibu yang juga seorang aktivis. Aktivis berarti seseorang yang menggerakkan. Jika ia seorang aktivis Islam berarti yang menjadi ruh perjuangannya adalah Islam.

Selama ini istilah aktivis itu cuma lekat pada 'mahasiswa'. Seringnya tuh kita menyebut 'mahasiswa adalah agen perubahan'. Tapi sayangnya gak pernah ada tuh istilah 'ibu adalah agen perubahan'. Kita kadang menganggap yang namanya emak-emak ya kerjanya cuma kasur, sumur, dan dapur doang. Ngurus anak dan ngurus suami aja. Padahal nih ya, kekuatan seorang ibu itu luar biasa.

Buktinya Allah berikan ia fitrah mengandung dan melahirkan yang konon sakitnya tuh seperti 20 tulang patah bersamaan. Seorang ibu adalah yang paling peduli pada anak-anaknya. Pengorbanannya luar biasa. Maka menjadi agen perubahan bukan sesuatu yang mustahil, bukan pula sesuatu yang gak perlu bagi seorang ibu. 

Kita mungkin menyadari ya mum, sebetapa rusak dunia hari ini. Bumi sakit, manusianya pun sakit. Pemanasan global, persoalan sampah, hingga bencana alam akibat ulah manusia semakin mengancam bumi. Entah bumi akan bertahan berapa lama lagi. 

Manusianya pun semakin rusak. Krisis moral, kriminalitas, hingga depresi menjangkiti generasi. Ide-ide sesat massif disebarkan justru semakin mengancam eksistensi bumi dsn manusia sebagai pengelolanya.

Sebagai seorang ibu dari anak-anak, kita jadi khawatir. Bahkan harus khawatir. Tentang bumi yang kita wariskan kepada mereka. Tentang masyarakat yang kita titipi anak-anak kita. Tentang peradaban yang anak-anak kita tinggali kelak. Maka menjadi Momactivist sebenarnya bukan sebuah pilihan. Tapi keharusan, sebab kita seorang ibu.

Tanggung jawab kita bukan hanya soal mengurus personal si anak. Bukan hanya soal yang penting kita sudah ngasih makan anak, masukin sekolah, tinggal di lingkungan yang baik, support pribadi dia. Tapi lebih dari itu, kita punya tanggung jawab terhadap dunia yang mereka tinggali.

Semangat ya buat para Momactivist yang luar biasa. Yang dibalik kesibukan aktivitasnya mengurus rumah tangga, juga berdakwah, beramar ma'ruf nahi mungkar, dan menjadi penggerak baik lewat lisan, tulisan, dan aktivitas jama'iy nya. Semoga Allah selalu istiqomahkan kita di jalan dakwah. Selalu ingat bahwa dakwah ini bukti cinta kita kepada manusia wa bil khusus kepada anak-anak kita tercinta.

Mengasuh Anak Demi Apa?

Ketika ide childfree heboh beberapa waktu lalu, timbul perdebatan di masyarakat, ada yang pro dan ada pula yang kontra dengan alasannya masing-masing. Alasan yang paling banyak dikemukakan oleh netizen yang kontra adalah "nanti kalo tidak punya anak, kalo sudah tua siapa yang ngurus", atau "kalo nggak punya keturunan, nanti tua bakal kesepian". Kurang lebih begitu alasan mengapa orang-orang ingin punya anak. Ingin penghiburan dari anak keturunan dan ingin diurus kala tua.

Tentu ide childfree adalah ide yang batil sebab ianya lahir dari rahim liberalisme sekularisme. Tetapi counter terhadap konsep ini mayoritas masih bernafaskan sekularisme juga, walau mereka yang berkomentar ini mayoritasnya adalah muslim. Namun nyatanya malah menjadikan asas manfaat sebagai tolak ukur perbuatan. Ini menunjukkan betapa racun paham sekularisme begitu mengakar kuat dalam pikiran kaum muslimin.

Imbasnya begitu terasa bahkan dalam kehidupan parenting kita. Kita sebagai anak pun kita sebagai orang tua. Betapa banyak dari kita yang merasakan tekanan sebagai anak. Tuntutan duniawi sedemikian rupa diletakkan di pundak-pundak kita. Ada yang dituntut sukses duniawi demi membahagiakan orang tua yang standar bahagianya adalah materi. Ada anak gadis yang sulit menikah karena permintaan mahar/uang hantaran dari orang tua kepada lelaki yang melamar begitu tinggi, alasannya modal membesarkan anak hingga S2 tidak murah.

Pun sebagai orang tua. Pada akhirnya kita bisa jadi menuntut anak ini itu karena kita merasa telah membesarkannya. Padahal membesarkan anak adalah amal sebagaimana amal-amal lain yang kita berharap Allah menerimanya. Sedang amal diterima jika dan hanya jika memenuhi dua syarat: pertama, ikhlas. Dan kedua, caranya benar sesuai syara.

Perkara ikhlas adalah hal yang dibahas begitu panjang oleh para alim ulama. Bagi seorang muslim yang mendamba surga, ini wajib menjadi perhatian penting. Ikhlas bukan sesuatu yang bisa kita peroleh instan tetapi melalui proses pembelajaran yang terus menerus. Di masyarakat muslim yang sekuler hari ini, makna ikhlas telah jauh mengalami pergeseran. Entah itu dipahami sebagai sekadar 'kerelaan', 'ketulusan' atau semisalnya. Maka wajar yang muncul adalah 'boleh kok riba asalkan sama-sama rela' dan berbagai penghalalan dosa-dosa lainnya.

Allah SWT berfirman dalam ayat QS al-Insan 76:9:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

yang artinya: "Sesungguhnya kami memberi makan (membantu) kalian hanya untuk Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terima kasih."

Allah SWT menjelaskan dalam rentetan ayat ini dan sebelumnya tentang karakter amalan dan perbuatan orang-orang yang kelak berada di surga. Ayat ini singkat tapi maknanya sangat dalam. Allah SWT menggambarkan tentang makna ikhlas yaitu 'hanya mengharapkan balasan dari Allah SWT'.

Membaca ayat ini rasanya menohok. Iya. Bagaimana tidak, kita yang katanya ingin masuk surga tapi selalu ingin mendapat balasan dari selain Allah bahkan untuk hal sesederhana melempar senyum ke orang lain. Apalagi untuk hal-hal yang lebih dari itu termasuk membesarkan anak. Kita beramal baik dengan harapan dibalas kebaikan juga oleh orang lain. Lalu saat harapan itu tak sampai maka kecewa lah kita. Mungkin kita pernah merasakan ini 'kok ya aku sudah capek-capek berbuat baik ke orangtua/ ke mertua/ ke suami/ ke sodara tapi nggak diapresiasi'. Kamu sudah bebersih tau-tau orang tua ngeliatnya pas rebahan lalu dibilangin kamunya malas. Langsung pundung deh.

Tapi tahu gak sih, ini yang aku pikirkan. Bisa jadi segala kekecewaan-kekecewaan kita adalah karena ketidakikhlasan kita. Bukankah kita kecewa karena harapan yang tak sampai? Kita berharap balasan suami, anak, orangtua, mertua, teman kita seperti ini untuk setiap kebaikan yang kita lakukan untuknya, eh ternyata tidak demikian. Lantas kita kecewa.

Mungkin patut kita menengok hati kita, sudah ikhlas kah engkau wahai diriku? Sudahkah segala amal kita persembahkan kepada Allah SWT saja?

Wahai diri ini, ingatlah doa yang kau ulang-ulang minimal 17 kali sehari dalam sholatmu 'ihdinas sirotol mustaqim'. Engkau ingin jalan yang lurus yaitu jalan yang Allah ridhoi maka Allah tunjuki lewat ujian kekecewaan-kekecewaan agar dirimu belajar arti ikhlas, arti mengharap pada Allah SWT saja.

Bukankah ini adalah jawaban Allah SWT atas doa-doa kita? Bukankah Allah sedang menempa kita menjadi orang yang ikhlas lewat kekecewaan-kekecewaan itu agar kita layak menjadi penghuni surga? 

Maka ingatlah wahai diriku, engkau mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anakmu tidak lain dan tidak bukan sebagai amal sholeh yang engkau harapkan Allah ridhoi hingga mengantarkanmu menjadi orang-orang yang Allah beri nikmat yang paling besar (surga).

Semangat diriku dan dirimu juga.😊👏💪

Selasa, 27 September 2022

COMEBACK THIS OCTOBER

Long time no see guys.. 
Hope I can start blogging again after so many years..
Would you prefer reading my blog in English or Indonesia?
Leave comment below please. Let me know what in your mind is. Thank you.