Jumat, 24 Maret 2017

Ibnu Al - Haythami



Perjalanan hidup:
Ibnu Haitham atau nama sebenarnya Abu All Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham, atau dalam kalangan cerdik pandai di Barat, beliau dikenal dengan nama Al Khazen, adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, mate­matika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Dia membuat konstribusi yang signifikan pada prinsip-prinsip optic, serta fisika, anatomi, teknik, matematika, kedokteran, optalmologi, filsafat, psikologi, persepsi visual, dan ilmu pengetahuaan pada umumnya.
Dia kadang-kadang disebut al Basri, tempat kelahirannya di kota Basrah, ia juluki Ptolemaeus Secundus (Ptolemy kedua). Alhazen menulis komentar mendalam pada karya-karya Aristoteles, Ptolemy, dan matematikawan Yunani Euclid.
Lahir sekitar tahun 965 M atau 354 H, di Basra, Irak dan bagian dari Buyid Persia pada waktu itu, Beliau memulai pendidikan awalnya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di bandar kelahirannya. Setelah beberapa lama berkhidmat dengan pihak pemerintah di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan beliau telah melanjutkan pengajian dan menumpukan perhatian pada penulisan. Lalu ia tinggal di Kairo, Mesir dan meninggal di sana pada usia 76 tahun. Ia lebih yakin tentang aplikasi praktis dari pengetahuan matematika, ia mengasumsikan bahwa ia bisa mengatur banjir sungai Nil.
Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir. Selama di sana beliau telah mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran dan saluran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar. Hasil daripada usaha itu, beliau telah menjadi seo­rang yang amat mahir dalam bidang sains, falak, mate­matik, geometri, pengobatan, dan falsafah.

Karya:

Ibnu Haitham membuktikan pandangannya, beliau begitu bersemangat mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Sehingga kini beliau berjaya menghasilkan banyak buku dan makalah. Antara buku karyanya termasuk:

1. Al'Jami' fi Usul al'Hisab yang mengandungi teori-teori ilmu metametik dan metametik penganalisaannya;
2. Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri;
3. Kitab Tahlil ai'masa^il al 'Adadiyah tentang algebra;
4. Maqalah fi Istikhraj Simat al'Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat bagi segenap rantau;
5. M.aqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak dan
6. Risalah fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.

Sumbangan Ibnu Haitham kepada ilmu sains dan falsafah amat banyak. Karena itulah Ibnu Haitham dikenali sebagai seorang yang miskin dari segi material tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan dan pendapatnya masih relevan hingga hari ini.

Temuan Monumental dalam  bidang Matematika dan aplikasinya:
Ibn al-Haytham adalah matematikawan pertama yang menurunkan rumus persamaan pangkat empat, dan menggunakan metode induksi untuk mengembangkan rumus umum persamaan integral –yang baru dikembangkan di Eropa empat abad setelahnya oleh Newton dan Leibniz.  Pekerjaan Ibn al-Haytham diteruskan oleh Sharaf al-Din al-Tusi (1135-1213) yang menemukan solusi numerik untuk persamaan kubik sehingga menjadi penemu deret kubik yang merupakan hal esensial dalam kalkulus differensial.
Teori Ibnu al-Haitham dalam bidang persegi merupakan teori yang pertama kali dalam geometri eliptik dan geometri hiperbolis. Teori ini dianggap sebagai tanda munculnya geometri non- Euclidean. Karya-karya Ibn al-Haitham itu mempengaruhi karya para ahli geometri Persia seperti Nasir al-Din al Tusi dan Omar Khayyam.  Namun pengaruh Ibn al-Haytham tidak hanya terhenti di wilayah Asia saja. Sejumlah ahli geometri Eropa seperti Gersonides, Witelo, Giovanni Girolamo Saccheri, serta John Wallis pun terpengaruh pemikiran al-Haitham. Salah satu karyanya yang terkemuka dalam ilmu geometri adalah  Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib.
Dalam geometri, Ibn al-Haytham mengembangkan geometri analitis dan mendirikan hubungan antara aljabar dan geometri. Ibn al-Haytham juga menemukan rumus untuk menambahkan 100 angka pertama bilangan asli. Ibnal-Haytham menggunakan bukti geometris untuk membuktikan rumus.
Ibn al-Haytham membuat usaha pertama membuktikan postulat parallel Euclidean, dalil kelima di Elemen Euclid, menggunakan bukti dengan kontradiksi, di mana ia memperkenalkan konsep gerak dan transformasi kedalam geometri. Ia merumuskan segiempat Lambert, yang oleh BorisAbramovich Rozenfeld dinamakan " segiempat Ibn al-Haytham-Lambert ", dan ia juga mencoba memberikan bukti untuk menunjukkan kesamaan dengan aksioma Playfair pada teorema segiempatnya, termasuk segiempat Lambert yang merupakan teorema pertama pada elips geometri dan geometri hiperbolik.Teorema ini, bersama dengan postulat alternatifnya, seperti aksioma Playfair,bisa dilihat sebagai tanda awal dari geometri non-Euclidean. Karyanya memilikipengaruh besar terhadap perkembangannya antara ahli geometri Persia selanjutnyan Omar Khayyām dan Nasir al-Din al-Tusi, dan ahli geometri Eropa Witelo, Gersonides, Alfonso, John Wallis, Giovanni Girolamo Saccheri dan Christopher Clavius 
Dalam geometri dasar, Ibn al-Haytham mencoba memecahkan masalah mengkuadratkan lingkaran menggunakan area lunes (bentuk bulan sabit), tetapi kemudian menyerah pada tugas yang mustahil ini. Ibn al-Haytham juga menangani masalah lain di geometri dasar (Euclidean) dan geometri lanjut(Apolonia dan Archimedean), beberapa di antaranya ia adalah yang pertama dipecahkan Kontribusinya untuk teori bilangan mencakup karyanya pada bilangan bulat. Dalam “Analisis dan Sintesis”, Ibn al-Haytham adalah orang pertama yang menyadari bahwa setiap bilangan bulat dalam bentuk 2n-1(2n − 1) dimana 2n-1 adalah bilangan prima, tapi ia tidak berhasil membuktikan hasil ini (Euler kemudian membuktikannya di abad ke-18).Ibn al-Haytham memecahkan masalah yang melibatkan kongruensi menggunakan apa yang sekarang disebut teorema Wilson. Dalam karyanya Opuscula , Ibn al-Haytham mempertimbangkan solusi sistem kongruen, dan memberikan dua metode solusi umum. Metode pertamanya, metode kanonik, melibatkan teorema Wilson, sedangkan metode kedua melibatkan sebuah versi dari teorema sisa.

 ****

Kamis, 23 Maret 2017

ANOMALI SLOGAN CINTAI PRODUK DALAM NEGERI


Di era perdagangan bebas saat ini, keadaan perdagangan Indonesia yang dibanjiri barang-barang impor dari luar semakin mengkhawatirkan. Menurut ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Soetrisno Bachir, “Dengan era global saat ini, banyak sekali produk-produk impor yang tidak bisa kita bendung lagi. Kita harus mencontoh negara yang nasionalismenya tinggi seperti Jepang dan Cina yang mencintai produk-produk dalam negeri”. Himbauan dan slogan-slogan untuk mencintai produk dalam negeri pun semakin digalakkan.

Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah resmi pada 31 Desember 2015 lalu bertujuan untuk menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang kompetitif, kawasan pembangunan ekonomi yang adil dan kawasan yang tergabung dalam ekonomi global, sehingga negara-negara ASEAN sepakat meliberalisasi lima aspek ekonomi, termasuk diantaranya adalah liberalisasi perdagangan barang, yang intinya menghapus hambatan tarif maupun nontarif. Akibatnya, tentu saja mudahnya barang-barang impor masuk ke Indonesia. Menurut data dari kementerian perdagangan, rata-rata impor dari tahun 2011-2015 mencapai $175.325.640.000 yang terdiri dari $39.321.040.000 dari sektor minyak dan gas dan $136.004.580.000 dari sektor non migas dan gas. Tingginya rata-rata impor disebabkan karena 96% dari total barang yang diperdagangkan di ASEAN tarif bea masuk impornya telah 0%. Selain itu, impor juga dimudahkan dengan menghapus hambatan nontarif seperti kebijakan perlindungan makhluk hidup, penetapan standar label, kemasan, dan bahan, lisensi impor, dan juga tidak ada lagi penetapan kuota larangan terbatas. Walhasil, Indonesia diserbu arus deras masuknya barang-barang impor.

MEA yang diharapkan menciptakan iklim perdagangan yang adil, sesungguhnya jauh dari kata adil. Perdagangan bebas justru membuat pemerintah lepas tangan dari melayani rakyatnya dengan membiarkan mekanisme pasar berjalan diatas prinsip hutan rimba, dimana dalam perdagangan bebas ini yang kuatlah yang menang. Dengan adanya MEA, persaingan produk Indonesia dan produk impor menjadi tak terelakkan. Prinsip yang berlaku sama seperti di hutan rimba, yang terkuatlah yang akan memenangi pasar. Slogan cintai produk dalam negeri mungkin terdengar manis dan berharap dengan menggelorakan slogan itu, bisa meningkatkan minat orang-orang Indonesia terhadap produk dalam negeri mereka, namun sayangnya, merebaknya barang-barang impor bukan melulu persoalan nasionalisme masyarakat.

Para produsen dalam negeri mungkin terdorong meningkatkan daya saing di era perdagangan bebas ini, namun kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam hal itu. Bagaimana mungkin bisa meningkatkan daya saing, jika harga energi mahal, infrastruktur buruk, modal yang sulit diakses, dan biaya pajak tinggi ? Sedangkan produsen luar justru memiliki daya saing tinggi sebab ditopang oleh kuatnya dukungan pemerintah mereka. Misalnya Cina yang membebaskan pajak pada tahun pertama produksi suatu pabrik bahkan malah mensubsidi setiap jumlah barang yang diproduksi pabrik itu, sehingga harga jual produknya menjadi murah.

Dengan adanya MEA, membuka peluang yang besar bagi produk luar untuk masuk dipasarkan ke Indonesia dan bersaing dengan produk dalam negeri yang daya saingnya rendah, tentu saja, barang-barang dengan daya saing tinggi baik dari segi kualitas maupun harga lah yang berpeluang besar memenangi pasar dalam negeri. Jika sudah begitu, yang dirugikan adalah produsen-produsen dalam negeri. Maka wajar, sejak diberlakukannya MEA, barang-barang impor semakin membanjiri pasar Indonesia yang menyebabkan barang-barang produksi dalam negeri semakin terpinggirkan. Turunnya permintaan terhadap produksi dalam negeri menyebabkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu industri-industri dalam negeri terancam gulung tikar yang menyebabkan pekerja-pekerjanya di PHK.

“Cinta produk dalam negeri wujud nasionalisme” merupakan slogan yang digelorakan dalam rangka menolong produk-produk Indonesia agar mampu tetap eksis di negeri sendiri. Namun slogan itu tak lain hanya sekedar slogan pelipur lara. Anomali tentu saja, jika mengajak mencintai produk dalam negeri namun disaat yang sama membuka peluang yang besar bagi impor barang dari luar negeri. Slogan ini bertentangan dengan kebijakan MEA yang mendukung impor tanpa batas.

MEA hakikatnya wujud meminimalkan bahkan menghilangkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyatnya, lalu membiarkan semuanya berjalan sesuai kehendak mekanisme pasar. Ini jelas bertentangan dengan Islam yang menetapkan bahwa pemerintah itu wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasulullah bersabda “Pemerintah adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR Muslim). Dalam Islam, negara tidak boleh lepas tangan dalam mengatur hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain. Sehingga perdagangan luar negeri tidak boleh dibiarkan bebas tanpa adanya kontrol negara. Liberalisasi perdagangan justru menjadi alat penjajahan yang membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar.

Banjirnya produk-produk impor di dalam negeri tidak akan bisa diatasi hanya dengan slogan-slogan maupun jargon-jargon bernafaskan nasionalisme, karena pemicu masalahnya adalah MEA dan liberalisasi. Jika pemerintah serius ingin menyejahterakan rakyatnya, tentu tidak ada jalan lain kecuali melepaskan diri dari cengkraman liberalisme dan menerapkan Islam secara menyeluruh. Wallahu’alam bi ash-shawab. [Ashwa Rin]


RITUAL CHAUPADI (Tradisi Hindu Mengasingkan Wanita yang Mengalami Menstruasi di Nepal)

Isu-isu perempuan memang selalu menjadi topik pembicaraan yang tetap hot, tak lekang oleh waktu. Kali ini Rin akan berbagi cerita bagaimana kondisi para perempuan di Nepal akibat anggapan yang keliru tentang wanita.

Diskriminasi Wanita yang Menstruasi.

Di Nepal, ada keyakinan tentang kenajisan darah menstruasi yang membuat para wanita dan gadis diasingkan di gubuk pengasingan. Di masa-masa menstruasi mereka diasingkan, dilarang memasuki dapur, apalagi mengikuti perayaan-perayaan keagamaan.
Gubuk Pengasingan di Nepal (Fotografi oleh Poulomi Basu)

       Wanita mengalami situasi ekstrim di daerah-daerah pedesaan dengan menanggung pengasingan ini satu minggu setiap bulannya selama 35 sampai 45 tahun siklus menstruasi mereka. Mereka dipandang tidak bersih, tidak boleh disentuh, dan membawa bencana bagi orang-orang, ternak, dan tanah, ketika mereka haid. Mereka pun diasingkan keluar dari rumah-rumah mereka. Beberapa tinggal di gudang terdekat, sementara  yang lain harus berjalan kaki 10-15 menit dari rumah menuju gubuk kecil di dalam hutan lebat. Dalam pengasingan, mereka seringkali harus harus menghadapi kematian akibat suhu yang sangat panas, sesak dari api yang sebenarnya dinyalakan untuk menjaga mereka tetap hangat selama musim dingin, racun ular kobra, dan pemerkosaan.

Penyembuhan tradisional perempuan yang sakit selama masa menstruasi
(Fotografi oleh Poulomi Basu)

Umum kita ketahui, bahwa di masa-masa haid, wanita seringkali mengalami nyeri haid atau bahkan sampai demam. Di Nepal, penyembuhan tradisional sering menggunakan kekerasan verbal dan fisik yang ekstrim untuk menyembuhkan  para gadis muda yang sakit selama menstruasi ini, karena meyakini bahwa mereka dirasuki oleh roh jahat. Para dukun pun bertugas melakukan ritual penyembuhan.

Pengucilan para Janda

Selain dari pengasingan wanita yang mengalami menstruasi, tradisi kebudayaan Hindu di Nepal juga mengucilkan para wanita yang kehilangan suami mereka (red: mati). Tradisi memerintahkan para janda hanya memakai sari berwarna putih (simbol duka dan kematian) selama sisa hidup mereka. Mereka  pun dilarang menghadiri perayaan atau menikah lagi. Kematian suami berarti wanita harus menderita karena dosa-dosa  yang dilakukannya di kehidupan sebelumnya. Janda dianggap simbol kesialan dan pembawa petaka sehingga dianggap harus dikucilkan dari masyarakat.

Why?

Tidak sedikit masalah diskriminasi dan pengucilan perempuan akibat agama, keyakinan, tradisi, dan budaya tertentu. Hal itu tidak lepas dari pandangan mereka terhadap perempuan.  Beberapa ahli memandang ini adalah akibat penerapan sistem patriarki di masyarakat, tapi apakah akan ada bedanya jika yang diterapkan itu sistem matriarki ?  Sejarah membuktikan para nazi wanita juga sangat kejam dan sadis, sedikit contoh ketika wanita memegang kekuasaan. Bahkan Catherine the Great dari Rusia juga bukan wanita yang baik, dari sisi pemegang kekuasaan.

Kemudian muncul gagasan kesetaraan gender (gender equality) yang diperjuangkan oleh para pegiat feminis yang menuntut penyetaraan perempuan dengan laki-laki. Semuanya dilatarbelakangi diskriminasi yang dialami para wanita. Gagasan ini memprovokasi para wanita agar mensejajarkan diri dengan laki-laki, sehingga perannya sebagai ibu dianggap sebagai beban dan penghambat kemandirian. Hasilnya perlahan para wanita bergerak semakin jauh meninggalkan kodratnya sebagai istri dan ibu. Kesetaraan gender dianggap solusi membebaskan perempuan dari berbagai penindasan. Namun, sebenarnya tanpa sadar justru memunculkan masalah lainnya. Di negara barat sebagai pengekspor ide gender, Inggris dan AS, angka perceraian sangat tinggi, angka kelahiran pun semakin turun tiap tahunnya akibat para wanita enggan memiliki anak bahkan banyak yang tidak ingin menikah karena tidak ingin menghambat kesibukannya sebagai wanita karir.

Jika sistem masyarakat matriarki ataupun kesetaraan gender bukan solusi masalah penindasan perempuan, lantas apa solusinya?

Masalah penindasan perempuan berangkat dari anggapan yang salah tentang perempuan. Sebelum Islam datang, masyarakat arab menganggap kelahiran bayi perempuan sebagai aib. Praktek penguburan bayi perempuan hidup-hidup pun menjadi marak dan biasa di  tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Ketika Islam datang, ayat-ayat Al-Quran mengungkap segala kebobrokan perilaku jahiliyah orang-orang Arab, serta membawa pemahaman yang benar tentang wanita dan perannya yang mulia sebagai pendidik generasi. Di masa islam lah, perempuan ditempatkan pada posisi yang mulia, bukan sebagai saingan lelaki, tetapi sebagai partner dalam menjalankan kehidupan.


Adanya penindasan, diskriminasi, pengucilan yang dilakukan suatu kepercayaan atau tradisi menunjukkan bahwa keyakinan mereka justru jauh menyimpang dari fitrah manusia dan tentunya bertentangan dengan akal dan ilmu. Maka patutlah Allah selalu memerintahkan kita dalam banyak ayat di Al-Quran untuk senantiasa berpikir, tanpa berpikir manusia hanya akan jatuh dalam kufarat dan anggapan-anggapan salah. Semua ini karena hanya mengandalkan persaan semata, dan tradisi melanjutkan apa yang telah dilakukan secara turun temurun, entah nenek moyangnya salah atau benar. Jika mau mencerabut masalah-masalah pengucilan, diskriminasi, dan penindasan wanita, caranya tidak lain dan tidak bukan, kembali kepada aturan yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT. Wallahua’lam bi ash-shawab. [Ashwa Rin]

Jumat, 17 Maret 2017

Adab Meminta Izin

Rumah, pada hakikatnya adalah hijab seseorang. Bagi para perempuan khususnya, hayatul khas kami merupakan tempat yang di dalamnya kami biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang kami tidak ingin orang lain melihatnya. Bagaimana jadinya, jika akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram?
Syariat islam itu sempurna. Tidak satupun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia kecuali Islam melarangnya. Termasuk masalah adab meminta izin  isti’dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang agung dalam masalah ini.

1.       MEMINTA IZIN

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat.” [TQS.An-Nur:27]

Dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah. Ketika itu Rasulullah berada di atas lembah. Aku menemui beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka beliau bersabda: “keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan : ‘bolehkah aku masuk?’ [HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan An-Nasa’i]

Rasulullah saw bersabda : ‘sesungguhnya meminta izin disyariatkan untuk menjaga pandangan mata’ [HR Bukhari dan Muslim]

Hal ini juga berlaku ketika seseorang hendak masuk menemui salah satu anggota keluarganya.

ANAK LAKI-LAKI BALIGH HENDAKNYA MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI IBUNYA

Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam al-Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: “Apakah saya harus meminta izin ketika hendak menemui ibuku ?” Maka ia menjawab : “Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai.” [Hadits mauquf shahih]

Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: seorang laki-laki datang kepada Abdullah bin Mas’ud ra dan berkata: “Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui ibuku?” Maka ia menjawab: “Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya”. [Hadits mauquf shahih]

SEORANG LAKI-LAKI HENDAKNYA MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA

Pun  sama halnya ketika menenui saudara perempuan. Imam al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha’. Dia berkata, aku bertanya pada Ibnu Abbas: “Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?” Dia menjawab, “ya”. Aku mengulangi pertanyaanku: “Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak menemui mereka?” Maka dia menjawab, “Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?” [Hadits mauquf shahih]

Jika masuk ke tempat ibu dan saudara perempuan saja harus memerhatikan adabnya, apalagi ke tempat tinggal para wanita lainnya.

2.       BILA TIDAK MENDAPAT IZIN HENDAKLAH KEMBALI

Allah berfirman yang artinya : “Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu “kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [TQS An-Nur:28]


Rasulullah saw bersabda : “jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah.’ [HR Bukhari dan Muslim]