Selasa, 12 Juli 2016

Desa Wisata Lakkang : Desa Terpencil di Sebuah Kota Besar

Desa wisata lakkang merupakan salah satu kelurahan di kota Makassar yang hanya bisa diakses menggunakan perahu karena lokasinya yang berada diantara sungai tallo dan sungai pampang. Ada tiga dermaga yang bisa dipilih untuk menuju lakkang, yang paling populer adalah dermaga kera-kera yang lokasinya ada di Teaching Farm Fakultas Pertanian dan Peternakan UNHAS, dan yang paling dekat ke lakkang adalah dermaga di tol lama.

Tour Rin kali ini bersama tiga kawan dari Sungguminasa menuju dermaga kera-kera. Untuk menemukannya mudah saja, buka aplikasi maps untuk menemukan dermaga kera-kera. Sesampai Rin di dermaga, terlihat satu perahu mulai bersiap berangkat, tapi karena salah satu kawan Rin belum tiba, kami belum bisa berangkat bersama perahu itu, dan kami pun harus rela menunggu lebih sejam untuk keberangkatan perahu selanjutnya. Untuk motor, kami menitipkannya ke rumah warga biar aman. Biasanya ada biaya parkir, tapi si ibu pemilik rumah mengatakan kepada kami tak usah bayar. Hehe, baik banget si ibu nya.

Perahu di Dermaga Kera-Kera

Setiap penumpang perahu dikenakan biaya Rp3.000,- jika ditambah motor +Rp1.000,-. Murah banget kan ! Ini benar-benar tour dengan budget termurah. Don’t forget to bring Bekal ya. Nunggu perahu juga melelahkan. Well, karena kami prepare nggak siap banget, Rin juga gak kepikiran bawa makanan, walhasil kami kelaperan. Walau salah seorang kawan bawa puding, tapi gak bisa menghilangkan lapar, hiks hiks.. T_T
Makan ala kadarnya
Sepanjang perjalanan ke lakkang, pemandangan pohon-pohon nipah dan mangrove begitu indah disisi-sisi sungai yang bersih, membuat suasana terasa nyaman, sampai lupa kalo kami ada di Makassar. Perahu berlabuh menurunkan penumpang di dermaga rw 2 lakkang lalu melanjutkan ke dermaga rw 1. Karena tujuan kami adalah bunker Jepang, jadi kami akan turun di dermaga rw 1 karena lokasinya lebih dekat.

Sungai Tallo
Menikmati perjalanan

Orang-orang Lakkang juga ramah-ramah. Kami dapat suguhan minum dan kue dari ibu R*r* yang juga salah satu penumpang perahu yang Rin ajak bicara sepanjang perjalanan. Kami sholat ashar di rumah ibu R*r*, setelah itu berkeliling kampung melihat bunker ditemani dua gadis cilik cantik tour guide kami. Di desa yang asri ini, kami mengunjungi sejumlah bunker peninggalan Jepang yang dulu digunakan sebagai tempat bersembunyi tentara Jepang saat menguasai Makassar. Ada tujuh sebenarnya, tapi semuanya tertimbun tanah kecuali satu yang kami kunjungi ini. Pernah dilakukan penggalian oleh marinir tapi tidak dilanjutkan lagi. Orang-orang juga kerap kali menjadikannya tempat pembuangan sampah.

Kami berkeliling desa menyusuri jalan setapak yang bersih dan pohon bambu disisi jalan, sambil menikmati pemandangan sore hari. Rumah panggung masih menjadi ciri khas lakkang. Desa ini terdiri dari beberapa lapisan, yang terluar adalah empang, lahan pertanian, lalu rumah warga, dan yang paling tengah adalah hutan bambu dan ada juga lapangan bola. Empang di dekat dermaga digunakan sebagai tempat pemancingan umum.

Tiba waktu kami untuk pulang, kami menggunakan perahu kecil menyusuri sungai tallo ditemani pemandangan matahari terbenam menuju dermaga kera-kera, sungguh pemandangan yang sangat indah dan tak terlupakan.

Desa ini masih tetap terisolasi, dulunya sempat dicanangkan akan dibangun jembatan penghubung, tapi karena banyak yang menentang akhirnya perahu masih menjadi andalan transportasi keluar desa. Bukan tidak mungkin, terbukanya akses ke desa ini, bukan membuat keadaan membaik malah bisa jadi warga asli akan terusir dari kampung halamannya sendiri. Hal yang lumrah, terbukanya lahan baru, membuat para investor menjadikannya target investasi dan mengusir penduduk asli. Jika lahan-lahan pertanian mereka dicaplok para kapitalis, maka dengan apa mereka akan hidup. Sedang pemerintah seringkali tak punya power menghadapi para kapitalis. Dengan pertimbangan itu, warga memilih tetap hidup dalam desa terpencil di sebuah kota besar dengan akses transportasi yang terbatas.

Dermaga Lakkang

Selfie bareng dua gadis cantik tour guide kami
Jalan masuk bunker

Plang situs bunker Jepang

Ruang bawah tanah



Jalan setapak desa Lakkang

Sunset di Desa Lakkang

Gazebo di tempat pemancingan

Perahu yang biru ini digunakan anak sekolahan
Suburki Mangrove ta'

Catatan Perjalanan
Senin, 11 Juli 2016








Rabu, 06 Juli 2016

Kota Tua : Museum Bank Mandiri, Museum BI, hingga Taman Fatahillah

Ini tulisan lama, tapi baru posting sekarang. Hehe..

Setelah dua minggu  Rin di Jakarta. Kali ini, Rin nge-trip sendirian jalan-jalan di Kota Tua. Jalan-jalan memang sudah jadi hobi Rin sejak kecil. Sendirian maupun rame-rame, sama aja bagi Rin, sama-sama seru dan menyenangkan. Karena Rin baru di kota Jakarta, tak masalah deh, jalan-jalan sendirian dulu. Kalo sudah dapat teman banyak, baru deh rame-rame nge-tripnya.

Jam 09:00 Rin berangkat dari Kemayoran menggunakan busway dari halte kemayoran landas pacu menuju halte kota. Karena ini pagi hari, penumpang busway cukup banyak, jadi gak kebagian tempat duduk deh. Ada 4 halte yang dilewati sebelum sampe di halte kota. Perjalanan sekitar 15-20 menit, dan Rin pun sampe di Jakarta Kota.

Museum Bank Mandiri, tempat pertama yang Rin datengin disini. Cukup bayar Rp 5000,00, Rin dapat tiket masuk ke museum. Museum ini merupakan gedung pertama yang digunakan oleh bank mandiri dan masih mempertahankan bentuk asli bangunan dan perabotan-perabotannya. Disini, kamu bisa melihat benda-benda yang digunakan bank sejak kolonialisme Belanda.

Museum Bank Mandiri

Museum BI



Setelah mengelilingi Museum Bank Mandiri selama hampir satu jam, Rin keluar museum dan jalan lagi, tepat disamping kiri Museum Bank Mandiri, ada juga Museum Bank Indonesia. Rin bertandang ke Museum BI dengan tiket masuk seharga Rp 5.000,00. Museum ini agak berbeda dari museum-museum yang pernah Rin kunjungi selama hidup Rin. Rin penyuka museum, dan museum ini benar-benar unik. Saya suka saya suka (he.. ala upin ipin). Museumnya sangat modern dan dilengkapi monitor yang menampilkan film-film pendek. Bangunan ini merupakan peninggalan  dari De Javasche Bank di era penjajahan kolonial, lalu diresmikan menjadi sebuah museum di tahun 2005 oleh Gubernur BI. Museum ini mengenalkan kita akan kisah sejarah dari dunia perbankan, mulai dari sejarah mata uang Indonesia sampai perkembangan sistem ekonomi di Indonesia. Salah satu galeri juga menampilkan profil dan kisah penjelajah Eropa dan Asia yang pernah datang ke Indonesia, mulai dari Marco Polo, Laksamana Cheng Ho, Juan Sebastian Del Cano, Alfonso d’Albuquerque hingga Cornelis De Houtmen. Diorama 3 dimensi juga merupakan daya tarik museum ini. Jangan lupa berkunjung ke museum ini saat bertandang ke Jakarta, dan belajar banyak informasi dan pengetahuan yang disajikan museum ini.

Puas berkeliling museum BI, Rin keluar dan hanya berjalan mengikuti arus wisatawan melewati jejeran bangunan tua yang bemetamorfosis menjadi café dan restaurant, dan taraa, sampailah Rin di taman yang errr cukup ramai ini, taman fatahillah. Taman ini dikelilingi bangunan tua yang difungsikan sebagai museum dan tempat makan. Ada Museum Wayang, Museum Sejarah Jakarta, Café Batavia, dan café-café kecil lainnya. Karena lelah, Rin gak bisa datengin semuanya. I hope I can visit this place again to continue my expedition.. See you..

Jejeran bangunan tua 

Taman Fatahillah
(Ada banyak persewaan sepeda, berkeliling kota tua dengan sepeda.. asyik juga)


Perpustakaan Taman Fatahillah
(Mau menikmati weekend dengan membaca, tempat ini cocok)


Catatan Perjalanan
Sabtu, 24 Oktober 2015