Selasa, 27 Februari 2018

Part 12 Bingung Judulnya Apa, Intinya Skefo aja sih


Hi, jumpa lagi di lapak Rin. Kali ini Rin mau share informasi terkait emm, apa ya? Hayo hayo tebak. Yup, tentang sebuah pernikahan (wow tapi sayangnya ini bukan laman undangan nikah hehe). Nah, ini terkait tradisi pernikahan di Palestina lagi ya, jangan baper oy. Awalnya Rin selalu bingung ketika lagi bahas tentang pernikahan di Palestina dengan temanku ini. Dia bilang begini, “Ketika mereka telah bertunangan, nah mereka bisa keluar bersama dan jalan bareng”. Rin mikir kok ada istilah tunangan ya, dan kenapa pula baru tunangan tapi sudah bisa jalan berdua. Rasanya ada yang janggal. Mau langsung menjudge itu salah, tapi nggak ma’ruf juga kan, toh sebenarnya Rin belum bener-bener paham istilah tunangan yang mereka maksud. Daripada jatuh pada kesimpulan yang salah, mending berhati-hati mengeluarkan statement.

Satu bulan dua bulan berlalu, bukan satu orang palestina saja yang ngomong soal tunangan, ternyata salah satu teman di MME juga bicara soal pertunangannya. Wah, setahu Rin sih di dalam Islam, tidak ada prosesi tunangan dan semisalnya, tapi kok ya mereka semua bicara soal pertunangan, apa budaya barat sudah sebegitu menggerogoti kaum muslimin ya. Ini Palestina loh, pikirku, kalau negeri-negeri muslim lainnya sih, aku sedikit paham bagaimana derasnya arus westernisasi disana. Tapi ini Palestina, sedihnya. Diam-diam aku merasa ill feel sendiri sebenarnya.

Well, suatu ketika, entah kenapa pembicaraan itu mencuat lagi, daripada rasa ill feel itu belum tertuntaskan, nah aku minta deh dia menjelaskan detailnya seperti apa tahapan pernikahan di Palestina. Di Palestina mereka tidak mengenal budaya pacaran ya guys, jadi gak ada istilahnya mereka pacaran sebelum nikah. Semuanya dimulai dari ibu pria yang mendatangi gadis yang akan dinikahi puteranya, lalu ada prosesi pertunangan pertama, setelah itu mereka berkenalan tanpa ada khalwat ya guys, istilah kekiniannya ya ta’aruf. Kalo oke, ya lanjut ke pertunangan kedua. Setelah pertunangan kedua, mereka mau pacaran juga boleh, jalan berdua, pegangan tangan, dan lain-lainnya sudah sah, dan keduanya saling berstatus tunangan satu sama lain. Nah loh, disini nih yang pasti membuat kita bingung, nah loh, kan baru tunangan, kok sah-sah saja sih beraktivitas seperti itu. Eits, nanti Rin jelaskan ya. Setelah tunangan kedua, baru deh ada walimatul ursy, setelah walimah itu mereka sudah disebut sebagai suami istri. Penasaran kan ijab kabulnya dimana. Rin juga bingung awalnya, terus Rin nanya ‘loh terus ijab kabulnya kapan?’, ternyata oh ternyata di pertunangan kedua itu lah ijab kabulnya, makanya mereka sah-sah saja pacaran setelah pertunangan kedua, kan sudah halal. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa kok statusnya tunangan setelah pertunangan kedua, kenapa bukan suami istri, toh kan sudah ijab kabul. Tau tidak apa jawabannya, ‘karena mereka belum menjalani kehidupan suami istri, mereka masih tinggal terpisah sampai diadakannya walimatul ursy’, dan Rin cuma bisa ber oh ria karena akhirnya paham juga setelah sekian lama memendam rasa penasaran. Dari dulu Rin tidak mau menanyakan lebih lanjut karena khawatir harapan tidak sesuai kenyataan. Hehe. Intinya cuma beda istilah saja. Perkara kenapa mereka menggunakan istilah seperti itu juga Rin belum paham, apa karena kami ngobrolnya pake bahasa inggris kali ya, jadi istilahnya ‘engagement’, hihi. Kalo dirunut prosesnya, pertunangan pertama itu adalah khitbah, perkenalan/ta’aruf, pertunangan kedua adalah ijab kabul / nikah, dan walimatul ursy. Lengkap sudah prosesinya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Jumat, 02 Februari 2018

Petani atau Pemburu Rente


Tidaklah begitu mengejutkan sebenarnya saat membaca berita soal rencana pemerintah impor beras. Well, itu konsekuensi sebuah negeri yang semakin dikapitalisasi. Sepertinya mengobral aset-aset negara belumlah cukup, sebisa mungkin mendapat keuntungan lebih dan lebih lagi. Hawa nafsu manusia akan kekayaan dan kekuasaan bukanlah hal kecil. Jika tidak dikendalikan bisa membahayakan, apalagi jika manusia-manusia itu berada dalam posisi mengurusi hajat hidup orang banyak.

Lupakan soal dalih kesejahteraan karena faktanya rencana impor beras tak lebih dari sebuah hubungan bisnis belaka yang menguntungkan para pemburu rente. Pemburu rente (rent-seeker) ini adalah kaum kapitalis yang berusaha menjalin hubungan dengan birokrasi demi mendapat keuntungan bisnis seperti mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang diberikan birokrasi dengan cara menyerahkan sumber dayanya ataupun wewenang tertentu yang diaturnya. Jadi, rente disini maksudnya adalah selisih antara nilai pasar dengan jumlah yang dibayar oleh penerima rente kepada birokrasi/pemerintah dan atau secara pribadi kepada penolongnya di kelompok birokrasi.

Walaupun rencana ini jelas tak masuk akal ditengah kondisi surplusnya produksi beras di berbagai daerah, nafsu mengejar keuntungan pribadi jelas mengabaikan segalanya, menciptakan 1001 macam alasan agar masuk akal, agar bisa diterima. Orang-orang yang berwenang dalam urusan ini, entah apa mereka sedikit saja memiliki rasa manusiawi dan memikirkan nasib kaum tani. Para petani yang hidup dari garapan tanah-tanah mereka, bekerja keras memeras keringat dan berharap mendapatkan hasil panen yang memuaskan agar mereka bisa menghidupi keluarga-keluarga mereka hingga tiba masa panen berikutnya. Mereka mungkin tidak berharap banyak agar orang-orang yang mereka pilih itu memberi mereka cangkul. Ditengah naiknya harga pupuk, mereka terus memutar otak memikirkan cara menghasilkan produksi yang maksimal. Namun momen yang harusnya membahagiakan menyambut panen raya, justru diapresiasi dengan adanya rencana impor beras pemerintah. Tawa itu harusnya tawa bahagia, tapi faktanya yang ada adalah  tawa miris.

Jika ditilik kembali, kebijakan impor beras ini sesungguhnya menguntungkan siapa ? Ah sudahlah, kita semua punya jawabannya. Pemilu semakin dekat, semoga rencana impor beras bukan bagian dari proyek pengumpulan dana menjelang perayaan demokrasi yang mahal. [Ashwarin]



Part 11 Arti Pantang Menyerah Bagi Muslimah

Dinginnya winter membersamai hari-hari para penuntut ilmu di negeri paprika ini yang sedang disibukkan dengan ujian, ujian, dan ujian. Kuliah diluar negeri itu tidak seenak yang terlihat dalam foto-foto yang diupload di sosial media, percayalah itu hanya pencitraan semata. Keliatannya wah keren yah, bisa jalan-jalan melihat tempat yang ada di tv-tv itu, tak tau saja, jika dibalik foto itu bisa jadi ada air mata yang menyertainya. Mereka pusing dan stress dengan matakuliah dan ujian yang jika dapat nilai C saja sudah alhamdulillah, yang penting lulus, tidak mengulang. Teringat zaman s-1 dulu, dapat nilai C saja bikin tidak bisa tidur selama 3 malam, terus berpikir kenapa yah, atau kejahatan apa yang sudah kulakukan hingga mendapat nilai C, aduh lebay, beginilah mahasiswa yang menggilai nilai A, jangan ditiru ya kawan-kawan, karena malaikat mungkar nakir tidak akan menanyai nilai kalkulusmu berapa, nilai analisis real mu berapa, yang terpenting adalah prosesnya apakah didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram, makanya jangan nyontek saat ujian :p.

      Beberapa mahasiswa berpikir untuk menyerah, ‘aku pulang saja deh, gak kuat, susah’, termasuk aku tentunya yang juga mengalami kesulitan luar biasa dalam belajar, itu tidak sesulit yang kubayangkan, karena ternyata aslinya sangat sangat sulit. Saling sharing dengan matematikawan lainnya membuatku sedikit menyadari bahwa bukan cuma aku saja yang kesulitan, orang lain pun begitu, jika mereka bisa bertahan kenapa aku tidak.

        Dan juga langkah ke tempat dimana aku berpijak hari ini, di jalan yang kulalui saat ini, sungguh dibeli dengan kerja keras dan pengorbanan baik itu waktu, pikiran, tenaga, sampai jual tanah warisan segala, hehe yang ini lupakan saja. Lantas bagaimana bisa aku mengucapkan kata menyerah?

           Pantang menyerah bukanlah karena takut ijazah itu tidak didapatkan, bukan pula takut pulang tanpa titel, tidak pula khawatir akan kelangsungan karir, tapi satu hal yang terpikir olehku, jika aku menyerah, maka bagaimana bisa aku mengajarkan arti pantang menyerah pada anak-anakku kelak. Haruskah kukatakan pada mereka, kalau ibunya ini menyerah belajar karena terlalu sulit ? maka mereka akan belajar dari ibunya, jika kesulitan menderamu hingga kau tak kuat maka menyerahlah. Ah, itu terdengar sangat menyedihkan. Bukankah yang harus diajarkan seorang ibu kepada anak-anak nya adalah bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan, lalu dimanakah keyakinan itu kita letakkan ketika kita memilih untuk menyerah?

         Bulan pertama hidup di sini diwarnai dengan banyak kesulitan, baik itu studi yang sulit kumengerti, susahnya berteman dengan classmate, konflik dengan roommate, sampai cuaca yang dingin. Teringat ketika minggu pertama aku memasuki kelas, dalam hati aku bertanya-tanya, apa sih yang dosen ini sedang jelaskan, teman-teman lainnya manggut-manggut, merespon penjelasan dosen, tapi aku, hanya bisa terdiam, bukan karena sudah mengerti tapi karena tidak mengerti sama sekali. Belum lagi teman-teman kelas yang 70-80% adalah anak-anak amerika, aduh susahnya bergaul dengan mereka, hanya satu dua orang yang namanya aku tahu di kelas. Jangan bayangkan kelasnya besar, tidak, ini hanya kelas kecil yang maksimal mahasiswanya 10 orang tiap kelas, jadi cukup aneh sebenarnya ketika tidak mengenal mereka di kelas yang kecil ini.

          Di kelas, penjelasan dosen sulit dicerna, di kamar, belajar juga susah. Bagaimana tidak susah, kebiasaan yang berbeda-beda dan saling bertentangan dengan yang lainnya sungguh bikin sesak. Ada yang terbiasa belajar tengah malam, tapi ada yang terganggu dengan cahaya walau sedikit padahal mau belajar tentu butuh cahaya, ada yang mengetik di malam hari tapi ada yang terganggu dengan suara ketikan keyboard, ada yang suka jendela tertutup karena tidak bisa kedinginan, tapi ada yang suka membukanya karena butuh udara luar, dan banyak lagi yang lainnya, aduh ribet sekali bukan. Yang begini ini kecil tapi bisa memicu konflik besar juga jika tidak berusaha saling memahami.

          Satu bulan pertama rasanya menyiksa sekali hingga rasanya tak bisa ditahan lagi. Dengan menangis ala anak-anak yang mainannya direbut paksa, aku bercerita keluh kesahku dengan teman setanah air yang juga dalam rantauan studi, plus merengek-rengek biar bisa keluar asrama dan sewa flat atau apartemen sendiri (padahal sebenarnya kagak ada duit buat nge-flat wkwk, maklum anak beasiswa yang hidupnya pas-pasan). Hingga kata-katanya sedikit membuatku terhenyak, “Aswa, mereka itu cuma roommate loh, yang palingan tinggal bersamanya paling lama empat semester, anggap saja ini latihan, kau tidak pernah tahu kedepannya jodohmu nanti punya kebiasaan yang seperti apa.” Iya sih, yang penting bukan kebiasaan maksiat, yang lain mah bisa dikompromikan. Jadi ingat dulu sering berantem gara-gara kipas angin dengan si partner duarr, susah bener yak. Sampai terpikir juga, apa pindah kamar saja ya? Tapi setelah dipikir-pikir lagi, persoalannya bukan disitu, bertemu dengan orang yang kebiasaannya persis sama itu bisa dibilang jarang, tapi limitnya gak sampe nol kok. Hanya saja yang paling penting adalah bagaimana bisa saling menghormati kebiasaan masing-masing, masing-masing harus tahu bagaimana menghargai kebiasaan yang lainnya.

         Belum lagi beradaptasi dengan cuaca, aduh ini satu-satunya hal yang membuatku ragu apakah aku ingin melanjutkan kuliah di Eropa atau tidak, dinginnya itu loh yang gak nahan. Belum lagi sebelum datang ke Budapest, setelah berselancar di internet, nemu berita kalo winter di Hungary saat itu mencapai suhu sekitar -27 derajat, aduh kebayang gak sih dinginnya, sampai-sampai danau Balaton, danau terbesar di Eropa Tengah yang sebutannya laut Hungary itu membeku. Katanya sih itu catatan rekor suhu terdingin di Hungary pada hampir sepertiga abad terakhir. Awal-awal datang ke Budapest, hampir tiap hari aku mengeluhkan suhu yang dingin, padahal waktu itu, suhunya masih dikisaran 15-19 derajat. Sampai-sampai kedua teman kamarku bilang, ‘Ashwa, Ashwa, jika suhu sebegini saja kamu sudah mengeluh dingin, bagaimana kamu akan bertahan saat winter nanti?’. Aku bilang aku akan berhibernasi di kamar, makan yang banyak dan tidak kemana-mana (haha good plan).

Image result for FROZEN BALATON LAKE
Danau Balaton yang beku Januari 2017
Seorang pria India, tiap kali melihatku, dia akan senang hati mengejekku, ‘Ashwa, come on, it’s not cold at all, stelanmu itu seperti stelan winter saja, ini kan musim gugur, saya tidak bisa membayangkankan bagaimana kamu berpakaian di musim dingin nanti’ dengan nada sarkasmenya sambil tertawa mengejek pula. Ah, aku tidak bisa menyebutkan semua kalimat sarkasmenya itu, terlalu banyak. Memang apa salahnya berpakaian hingga berlapis-lapis, toh aku ini manusia dari daratan tropis kok, ditambah aku berasal dari kota yang dekat dengan laut, tentu saja aku kurang menyukai dingin. Alasan yang masuk akal kan. Daripada sakit, mending deh terlihat aneh. ‘Hei jika kamu mengejekku lagi, mungkin aku akan melemparmu dari lantai ketujuh, ah aku lupa kalau kamu ini orang India, kamu tidak akan apa-apa pun jika aku melakukannya, seperti yang kunonton dalam film-film Bolywood itu’, ini kalimat sarkasme terbaik yang bisa kuberikan kepada mahasiswa perfilman itu. (warning ! yang ini jangan ditiru, tidak baik). Jika anda tidak memahami kalimat sarkasme tadi, berarti Alhamdulillah anda bukan penggemar film india awal tahun 2000 an dulu. :p

            Aduh, tulisan ini mulai kehilangan arah. Apa lagi ya, tadi kan bicara soal dingin ya. Oh iya, ditambah lagi negara ini benar-benar memiliki tingkat humidity yang tinggi dan cahaya matahari yang kurang. Kadang tuh liat forecast, katanya sih cerah, tapi pas keluar rumah eh ternyata berkabut. Kadang bingung sama definisi cerah disini. Kalo di Indo mah bilang cerah berarti hangat atau panas ya.

            Inti dari tulisan yang ngalor kidul ini, bagaimanapun kamu menemui rintangan dan tantangan dalam hidupmu, tetap struggle, semangat, kamu pasti bisa melalui semuanya, tetap positif thinking dan optimis, dan berbaik sangka pada Allah tentunya. Allah tidak akan memberi beban kepada manusia diluar kapasitas dirinya. Bisa jadi setiap masalah yang kita lalui dalam hidup itu, adalah jawaban Allah atas doa-doa kita. Mungkin kita pernah berdoa pada Allah, ‘ya Allah jadikan aku pribadi yang lebih baik, sholeh(ah), sabar, mandiri, bijaksana, pantang menyerah’, maka Allah berikan pada kita ujian untuk meningkatkan kapasitas diri kita menjadi seperti yang diinginkan. Kita ingin sabar, Allah kirimkan orang-orang yang sering membuat kita marah, tak lain dan tak bukan supaya kita melatih kesabaran itu. Kita ingin jadi pribadi yang pantang menyerah, Allah beri kita kegagalan agar kita tahu bagaimana cara bangkit kembali setelah terjatuh. Selalu ada hikmah dari setiap perjalanan hidup ini, bahkan untuk hal-hal kecil yang mungkin sama sekali tidak kita sangka. Tulisan ini kupersembahkan khususnya untuk diriku sendiri yang kadang suka loyo belajarnya, yang kadang suka lupa dan alpa ini, dan juga untuk teman-teman semua yang juga sedang berjuang menjalani kehidupan yang fana ini. 

 Poin penting lainnya, salah satu alasan penting kenapa muslimah harus pantang menyerah, karena mereka adalah calon ibu yang akan mendidik generasi berikutnya menjadi generasi yang pantang menyerah dalam membangun peradaban dan mengejar fajar kebangkitan itu.

      Semua orang punya ceritanya dan kisahnya masing-masing dalam berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lagi. Ibarat larva yang berusaha bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah. Salam perubahan !!! [Ashwarin]

Budapest