Kamis, 23 Februari 2017

Jika Maut Menjemput

Kemarin, hujan deras disertai angin kencang melanda hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kota yang disebut Gowa Bersejarah itu pun tak luput sasaran hantaman badai angin kencang. Pohon-pohon banyak yang tumbang menghalangi jalan. Insiden rubuhnya Tribun Lapangan Syekh Yusuf pun tak terelakkan mengakibatkan tewasnya satu orang satpol PP. Sedang, di jembatan kembar, seorang pelajar SMP juga tewas karena tertusuk cabang pohon. Turut berduka cita untuk para korban, semoga amal kebaikannya di terima disisi Allah.

Kematian bukan sesuatu yang bisa diundur barang sedetik. Ia adalah tamu yang pasti datangnya. Kita mungkin tidak tahu kita mati dengan cara apa, terbunuh, kecelakaan, tenggelam, sakit, ataukah serangan jantung. Tapi pikirkanlah dalam keadaan apa kita ingin mati. Husnul khatimah atau Su’ul Khatimah. Dalam keadaan taat ataukah bermaksiat kepada Allah. Jika ingin husnul khatimah, tentu saja kita mesti menjaga seluruh aktivitas kita dalam koridor ketaatan kepada Allah karena datangnya maut tak ada yang tau.

Sungguh sayang jika maut menjemput dikala kita sedang maksiat. Sementara pacaran di bawah pohon, eh tau-tau kesambar petir. Lagi boncengan bareng pacar, eh tau-tau kecelakaan. Belum tobat dari riba, eh tau-tau kena serangan jantung. Masih buka-buka aurat dan tabarruj, eh tau-tau nikmat nafas itu telah tiada. Sedang berantem dengan suami, eh tau-tau malaikat maut sudah menjemput. Mungkin kita berpikir, ah mau husnul khatimah aja kok susah gak boleh ini gak boleh itu. Ya iya bro and sis, cita-cita mati khusnul khatimah itu cita-cita yang besar, jadi usaha untuk mewujudkannya pun harus besar. Dan juga, kita hidup di alam yang mana kemaksiatan itu hal yang lumrah. Pacaran lumrah, tabarruj lumrah, menampakkan aurat lumrah, riba lumrah. Akhirnya ketaatan itu dipandang sulit di habitat saat ini. Sulit gak berarti gak bisa loh ya. Pasti bisa !!!

Buat yang punya ambisi mati khusnul khatimah, setidaknya lakukan hal-hal berikut ini sebagai bukti kesungguhan akan cita-cita kita, bukan omong doang.

     1.  IKUT KAJIAN ISLAM

Ilmu dan amal itu dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Imam al-Ghazali mengatakan “Ilmu tanpa amal adalah gila dan amalan tanpa ilmu adalah sia-sia”.

Gimana bisa taat kalo nggak punya ilmu. Gimana bisa tau yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram kalo gak belajar. Jadinya bingung dengan halal dan haram. Belajar ilmu agama itu wajib ain guys, sama wajibnya dengan sholat, puasa, dan zakat. So #yuukNgaji !!!

    2. IHSANUL AMAL

Setelah ilmu, tentu adalah beramal/berbuat. Pastikan kalo kita melakukan ihsanul amal (amalan baik), yang artinya adalah amalan yang diterima oleh Allah SWT. Kan sayang, kalo beramal tanpa diterima oleh Allah. Standar diterimanya amalan ialah IKHLAS (melakukan atau meninggalkan sesuatu karena Allah), dan CARANYA BENAR (sesuai hukum syara/perintah Allah). Untuk tahu cara yang benar, standarnya bukan manusia tapi Allah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Nah tuh kan butuh ilmu lagi. Makanya #yuukNgaji.

 3. SELALU BERSAMA ORANG-ORANG SHALIH YANG MENGINGATKAN PADA ALLAH

Domba yang terpisah dari kawanannya saja mudah diterkam serigala kelaparan. Seperti pula kita, yang jika sendiri, tidak berjamaah, maka mudah tergoda untuk bermaksiat. Teman-teman yang shalih/ah akan membantu kita menjaga keimanan dan keistiqomahan. So, #yuukNgaji bareng teman-teman yang sevisi mati khusnul khatimah.

    4. BERDOA

Doa itu senjatanya kaum muslimin. Jangan pernah lupakan berdoa mengharap kematian khusnul khatimah di setiap waktu. 
Lakukan yang wajib
Perbanyak yang sunnah
Minimkan yang mubah
Hindari yang makruh

Tinggalkan yang haram


[AR]

Generalisasi


Pernah dengar istilah generalisasi ? Istilah ini tentunya tidak asing lagi terutama bagi para akademisi. Generalisasi adalah proses pengambilan kesimpulan umum dari sejumlah fenomena atau hal (khusus), yang mengikat seluruh fenomena atau hal sejenis. Misalnya, jika botol minum dibakar akan meleleh, jika sedotan dibakar akan meleleh, jika ember dibakar akan meleleh, dan kesimpulan umum yang diambil dari fenomena-fenomena khusus tersebut adalah bahwa semua benda plastik yang dibakar akan meleleh. Kesimpulan umum tersebut akan bernilai salah apabila ada benda plastik yang dibakar tapi tidak meleleh.
Generalisasi ini adalah salah satu metode penalaran untuk merumuskan suatu ilmu atau pengetahuan. Tentunya generalisasi ini akan membantu dalam mempelajari berbagai fenomena. Contoh lainnya, pulpen yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah, buku yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah, tas yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah, kesimpulan yang diambil dari berbagai fenomena itu adalah bahwa semua benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah.  Inilah kesimpulan umumnya yang diperoleh dari proses generalisasi.
Untuk mengeneralisasi, fenomena-fenomena khusus yang diuji atau diselidiki haruslah bisa mewakili fenomena umum yang disimpulkan agar kesimpulan tersebut dapat mengikat seluruh fenomena sejenis. Jika ada fenomena sejenis yang tidak sesuai dengan kesimpulan umum tersebut, maka ada dua hal yang mungin terjadi. Pertama, ada faktor eksternal yang membuat fenomena itu tidak sejalan dengan kesimpulan umum, sehingga fenomena itu termasuk fenomena khusus. Kedua, kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang salah.
Generalisasi fenomena ilmiah tentu tidak sama dengan generalisasi fenomena sosial. Tentu karena sifat keduanya yang berbeda. Hal-hal ilmiah dapat dikelompokkan menjadi kategori-kategori yang sifatnya tetap. Tetapi untuk hal-hal sosial, sifatnya dinamis dan unik. Melakukan generalisasi secara terburu-buru  hanya menunjukkan kemalasan berpikir yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang salah. Generalisasi yang salah hanya akan menjadi hoax. Sebagian kaum muslim cenderung mengeneralisasi berita tentang fenomena atau hal yang tampak sesuai atau baik untuk islam sebagai sebuah kebenaran. Generalisasi semacam itu hanya menunjukkan kemalasan berpikir untuk membuktikan kebenaran. Bangkitnya kaum muslimin tergantung pada pemikirannya. Jika kaum muslim malas berpikir, bukannya kebangkitan yang diperoleh tapi kaum muslim justru akan semakin terperosot dalam kemunduran. Seorang muslim haruslah bersikap kritis dan cerdas agar kebangkitan Islam itu segera terwujud. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Ashwa Rin]

Sungguminasa, 25/12/2015, Jumat, 12:01


JUST WONOSALAM



Awal ceritanya ya gimana ya? hmm, intinya teman saya, bu fath, mengajak Rin ke Wonosalam secara mendadak di hari itu. Jadilah Rin berangkat setelah meng-cancel dua jadwal di hari itu.
Dari Pare, perjalanan menuju Wonosalam memakan waktu sekitar satu jam plus setengah jam lagi ke rumah temannya ibu Fath di desa yang Rin juga gak tau namanya apa. Perjalanannya sedikit berliku dan menanjak menuju ketinggian 500-600 meter di atas permukaan laut.
Wonosalam termasuk kecamatan dalam kabupaten Jombang yang terletak di kaki dan lereng Gunung Anjasmoro dan termasuk kawasan penghasil durian terbesar di jatim. Disini Rin berkunjung ke rumah mbak ati dan mbak Ani dan Rin juga menyempatkan masuk ke kebun kopi dan durian mereka, melihat langsung seperti apa sih pohonnya, I’m curious about it. This is my first experience being in a coffee and durian farm. Sayangnya Rin gak banyak ambil gambar karena hp yang lowbat. Poor…

Kami pulang ke Pare dengan membawa dua kardus durian. How heavy those are, karena Rin harus memangku sedosnya sepanjang perjalanan pulang. [AR]



DALAM RANTAU ITU

Jangan khawatir saat jauh dari kampung halaman
Jangan khawatir kesepian saat merantau
Karena keluarga itu ada dimanapun kita berada

Tak terasa lebih setahun Rin tinggal di Pare, menuntut ilmu di kampung Inggris. Ada suka dan duka nya. Kadang homesick dan serasa ingin pulang. Tapi, semua masa dalam hidup harus kita lalui dengan baik bukan?  Termasuk dalam masa-masa rantau. Imam Syafi’I dalam bait-bait syai’ir nya memberikan nasehat mengenai perantauan, dimana seseorang meninggalkan comfort zone menuju new zone dengan suasana baru, orang-orang baru, dan kenalan baru.

Kata Imam Syafi’i,

Merantaulah …
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)

Merantaulah …
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang akan engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Merantaulah …
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

Merantaulah …
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran.

Merantaulah …
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

Merantaulah …
Biji emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang). Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

Merantaulah …
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya. Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Merantaulah …

Ya, betul sekali kata Imam Syafi’i, merantau sama seperti sedang mengupgrade diri menjadi pribadi yang lebih baik. Berkenalan dengan orang lain dengan latar belakang yang berbeda-beda membuatmu melihat dunia dari sisi yang berbeda-beda pula. Hidup dengan orang yang berasal dari berbagai macam suku, melatihmu bersabar, ada yang keras, lemah gemulai, adapun yang humoris. Kadang harus menghadapi perbedaan kultural. Misal orang Makassar yang terbiasa ngomong dengan nada tinggi,  atau orang sunda yang lembut banget.  Semuanya terasa begitu penuh warna.

Saat-saat dalam rantau, bersosialisasilah dengan penduduk asli setempat, jangan jadi introvert. Mentang-mentang lingkungan baru, takut salah ngomong, takut salah bersikap, akhirnya hanya mengurung diri di kandang, it’s not good guys. Apalagi bagi para pengemban dakwah. Bersosialisasi atau bahasa kerennya ‘jadi anak gaul’ itu penting untuk menginteraksikan ide-ide yang kita emban, apalagi jika itu adalah pemikiran yang shahih, sudah sepatutnya disebar bukan? [Ashwa Rin]

Reference :
Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal. 39