Kamis, 23 Februari 2017

DALAM RANTAU ITU

Jangan khawatir saat jauh dari kampung halaman
Jangan khawatir kesepian saat merantau
Karena keluarga itu ada dimanapun kita berada

Tak terasa lebih setahun Rin tinggal di Pare, menuntut ilmu di kampung Inggris. Ada suka dan duka nya. Kadang homesick dan serasa ingin pulang. Tapi, semua masa dalam hidup harus kita lalui dengan baik bukan?  Termasuk dalam masa-masa rantau. Imam Syafi’I dalam bait-bait syai’ir nya memberikan nasehat mengenai perantauan, dimana seseorang meninggalkan comfort zone menuju new zone dengan suasana baru, orang-orang baru, dan kenalan baru.

Kata Imam Syafi’i,

Merantaulah …
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)

Merantaulah …
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang akan engkau tinggalkan (kerabat dan kawan). Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Merantaulah …
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

Merantaulah …
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran.

Merantaulah …
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

Merantaulah …
Biji emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang). Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

Merantaulah …
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya. Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Merantaulah …

Ya, betul sekali kata Imam Syafi’i, merantau sama seperti sedang mengupgrade diri menjadi pribadi yang lebih baik. Berkenalan dengan orang lain dengan latar belakang yang berbeda-beda membuatmu melihat dunia dari sisi yang berbeda-beda pula. Hidup dengan orang yang berasal dari berbagai macam suku, melatihmu bersabar, ada yang keras, lemah gemulai, adapun yang humoris. Kadang harus menghadapi perbedaan kultural. Misal orang Makassar yang terbiasa ngomong dengan nada tinggi,  atau orang sunda yang lembut banget.  Semuanya terasa begitu penuh warna.

Saat-saat dalam rantau, bersosialisasilah dengan penduduk asli setempat, jangan jadi introvert. Mentang-mentang lingkungan baru, takut salah ngomong, takut salah bersikap, akhirnya hanya mengurung diri di kandang, it’s not good guys. Apalagi bagi para pengemban dakwah. Bersosialisasi atau bahasa kerennya ‘jadi anak gaul’ itu penting untuk menginteraksikan ide-ide yang kita emban, apalagi jika itu adalah pemikiran yang shahih, sudah sepatutnya disebar bukan? [Ashwa Rin]

Reference :
Diwan al-Imam asy-Syafi’i. Cet. Syirkah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Beirut. Hal. 39




Tidak ada komentar:

Posting Komentar