Kamis, 27 Maret 2014

Korupsi dan Kekuasaan

Rasanya melegakan ternyata partainya bukanlah merupakan partai yang terkorup. Itulah yang nampak dari komentar Dewan Pembina Partai Demokrat dan juga peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo, terkait rilis indeks korupsi partai politik 2002-2014 yang dikeluarkan oleh Indonesia Coruption Watch (ICW) “partai demokrat bukanlah partai terkorup”. Menurut indeks korupsi yang dirilis oleh ICW perode 2002-2014 (www.antikorupsi.org) sebagai berikut : 1. PDIP (7.7), 2. PAN (5.5), 3. Golkar (4.9), 4. PKB (3.3), 5. PPP (2.7), 6. PKPI (2.1), 7 Gerindra (1.9), 8. Demokrat (1.7), 9. PBB (1.6), 10. Hanura (1.5), 11. PKS (0.3). Pada kesempatan lain, Ruhut Sitompul mengatakan, meski kader Demorat banyak yang terjerat korupsi namun ternyata bukan partai yang terkorup.
            “Aku ada news, terima kasih ICW menyatakan partai terkorup itu Golkar, kedua PDI-P. Yang lain-lain termasuk kami (Demokrat) memang ada korupnya tapi dikit rupanya. Kami partai yang tak main-main dengan korupsi.” ujar Ruhut di KPK (www.merdeka.com, 12/3).
            Itulah rasa syukur dari partai ini. Sederet nama kader partai ini tersandung kasus korupsi. Bahkan belakangan ini kasus korupsi ketua umum demokrat cukup menghebohkan, slogan ‘anti korupsi’ yang didengungkan pun hanya menjadi sekedar slogan. Khawatir citra partainya akan menurun, tapi merasa terselamatkan dengan survey ICW. Namun survey tersebut tidaklah menunjukkan peluang korupsi partai. Apakah partai yang tingkat korupnya tinggi berpeluang korupsi yang lebih besar ? Partai yang tingkat korupnya rendah pun berpeluang korupsi yang besar. Atau apakah parpol yang tingkat korupnya rendah berpeluang korupsinya bertambah sedikit ? Parpol yang tingkat korupnya tinggi pun berpeluang korupsinya bertambah sedikit. Hal tersebut tidaklah pasti. Yang pasti adalah bahwa setiap parpol berpeluang korupsi.
            Persoalan korupsi tak bisa dipungkiri telah berakar dan menjalar di negara ini. Jika diibaratkan akar, maka akarnya tidaklah berakar serabut, namun berakar tunggang. Kader partai politik yang menguasai hampir semua jabatan publik justru telah membangun organisasi untuk saling mendukung tindak korupsi mereka. Bahkan lebih jauh lagi, penguasa bekerja sama dengan pengusaha pada penentuan proyek yang menggunakan dana APBN/APBD. Inilah politik transaksional.
            Tiga pilar utama yang disebut trias politika yang seharusnya menjadi lembaga yang saling mengawasi berubah menjadi trias corruptica, lembaga yang berkomplot melakukan tindak korupsi. Banyaknya kader-kader partai yang terjerat kasus korupsi berimbas pada ketidakpercayaan rakyat kepada partai. Hal ini ditunjukkan pada semakin besarnya angka golput dari pemilu ke pemilu dan dari pilpres ke pilpres. Bahkan kerap kali golput menjadi pemenang pemilu dan pilpres.
            Saat ini, korupsi tak sekedar virus. Karena jika ia virus, maka masih ada kemungkinan mengobatinya. Namun ini merupakan cacat bawaan lahir dari demookrasi. Demokrasi beranggapan bahwa terpusatnya kekuasaan adalah penyebab korupsi. Oleh karena itu, dirumuskanlah trias politica sebagai konsep pemerintahan. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Pemisahan kekuasaan tersebut kepada 3 lembaga yang berbeda yaitu : legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, eksekutif yang melaksanakan undang-undang, dan yudikatif yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan. Menurut demokrasi, dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintah oleh suatu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi).
Hanya saja pemisahan kekuasaan ini tidak serta merta menghilangkan korupsi. Sebab masalahnya bukan dari terpusatnya kekuasaan, melainkan dari asal muasal kekuasaan. Apakah kekuasaan itu terpusat atau terbagi, kalau kekuasaan masih berasal dari rakyat/ kelompok yang penuh dengan kepentingan, maka penyalahgunaan akan selalu terjadi dan korupsi akan semakin marak. Berbeda halnya jika kekuasaan itu berasal dari amanah sang pencipta maka pengawasan tidak hanya bersifat duniawi tapi juga ukhrawi.
Kekuasaan dewasa ini, lebih terlihat sebagai sebuah tempat untuk menghasilkan pundi-pundi kekayaan. Gaji para penguasa terbilang cukup besar ditambah lagi dengan fasilitas-fasilitas mewah yang diberikan negara. Sehingga wajar, kekuasaan hanyalah sebagai tempat memperkaya diri. Kekuasaan dipandang pekerjaan yang diberikan oleh rakyat kepada penguasa dengan memberikan penguasa tersebut sejumlah gaji yang besar.
Terlihat sekali perbedaannya dengan kekuasaan dalam Islam, yang memandang bahwa kekuasaan adalah amanah Sang Pencipta. Pencipta mengamanahkan kekuasaan kepada penguasa dengan menjadi pelayan umat tanpa mendapat gaji hanya tunjangan sandang, pangan, dan papan saja.  Sebab, kekuasaan adalah amanah pencipta maka yang akan membalas semuanya adalah pencipta pula.
Dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai beri­kut:
Pertama, kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Hanya Allah Swt sajalah Yang menjadi Musyarri‘ (Pembuat Hukum); Yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, mua­malah, uqubat (peradilan), dan sebagainya. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun hanya satu hukum. Firman Allah Swt:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-A‘râf [7]: 54)
Yang dimiliki oleh rakyat adalah kekuasaan atau pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat penguasa. Namun demikian, syariat telah menetapkan bahwa pihak yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengatu­ran urusan rakyat dan pemerintahan adalah Khalifah saja, bukan yang lain. Ijma sahabat Nabi saw menetapkan bahwa hanya Khalifah sajalah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum syariat sebagai undang-undang dasar dan undang-undang lainnya. Dalam hal ini, Khalifah tidak berarti memegang kekuasaan legislatif. Khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.
Kedua, kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat. Kekuasaan adalah milik umat/rakyat yang dijalankan secara real oleh Khalifah—dan para aparatnya—sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah yang berhak memilih para penguasa untuk menjalankan segala perintah dan larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan bahwa kekuasaan adalah milik umat. Artinya, bai’at adalah berasal dari kaum Muslim untuk Khalifah, bukan dari Khalifah untuk kaum Muslim. Nabi saw bersabda: 
«بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ B عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ المَنْشَطِ وَ الْمَكْرِهِ»
Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai. (HR. al-Bukhârî, hadits no. 7199)
Ketiga, kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh khalifah atau orang yang mewa­kilinya untuk menjalankan kekuasaan tersebut. Khalifahlah yang berhak dan berwenang untuk mengangkat para qâdhî (hakim). Tidak ada seorang pun dari rakyat—baik secara individu­al maupun secara kolektif—yang berhak mengangkat para qâdhî. Hak ini hanya dimiliki oleh Khalifah, bukan yang lain. Nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa Rasulullah saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan dan memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Rasulullah saw, misalnya, telah mengangkat ‘Alî bin Abî Thâlib r.a. sebagai hakim (qâdhî) di Yaman dan mengangkat ‘Abdullâh ibn Nawfal r.a. sebagai qâdhî di Madinah. Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan Khalifah dan mereka yang mewakilinya dalam urusan ini.
Keempat, apabila penguasa kaum Muslim berlaku zalim, merampas hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka syariat telah memberikan pemecahannya; yaitu dengan mewajibkan kaum Muslim untuk melakukan koreksi (muhâsabah) dan amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias Politica. Di dalam sebuah riwayat disebutkan demikian:
«سَتَكُوْنُ أُمَرَاءٌ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنَّ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوْا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ، مَا صَلُّوْا»
Akan ada para amir (penguasa), lalu di antara kalian ada yang mengakui perbuatan mereka, dan ada pula yang mengingkari mereka. Siapa saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syariat), maka dia tidak diminta tanggung jawabnya. Siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka (karena bertentangan dengan syariat), maka dia selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syariat) serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para sahabat bertanya, ‘Apakah kita tidak memerangi mereka? Jawab Nabi saw, ‘Tidak, selama mereka mendirikan shalat’. (HR. Muslim, hadits no. 1854)
Rasulullah saw telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan penyimpangan dengan berbagai sarana yang memungkinkan; baik dengan tangan, lisan, maupun hati—bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw menetapkan bahwa, siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu. 
Dengan demikian, Islam tidak mengaitkan masalah pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa telah dipecahkan oleh nash-nash syariat tertentu, sedang masalah kekuasaan telah dijelaskan oleh nash-nash syariat yang lain. 
Kaum Muslim wajib mengambil pemecahan dari syariat apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, kaum Muslim diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syariat, seperti konsep Trias Politica. Sebab, Allah Swt berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian terimalah dia dan apa saja yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nûr [24]: 63)
Demikianlah kekuasaan dalam Islam. Karena Islam berasal dari pencipta tentunya Allah lebih tahu yang manusia butuhkan. Sedangkan kekuasaan dalam demokrasi adalah buatan manusia, sehingga wajar kerap kali menimbulkan masalah lain yang lebih serius seperti korupsi. Karena manusia lemah, terbatas, dan bergantung, sehingga aturan apapun yang dibuatnya akan penuh dengan kelemahan dan keterbatasan. Sehingga, tidak bisa tidak, umat manusia khususnya umat Islam, harus kembali menerapkan kekuasaan Islam yaitu Daulah Khilafah Rasyidah. Tidak saja untuk mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, namun karena kita adalah seorang muslim yang berakidah Islam dan wajib berhukum pada hukum Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.