Rasanya
melegakan ternyata partainya bukanlah merupakan partai yang terkorup. Itulah
yang nampak dari komentar Dewan Pembina Partai Demokrat dan juga peserta
konvensi calon presiden Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo, terkait rilis
indeks korupsi partai politik 2002-2014 yang dikeluarkan oleh Indonesia
Coruption Watch (ICW) “partai demokrat bukanlah partai terkorup”. Menurut
indeks korupsi yang dirilis oleh ICW perode 2002-2014 (www.antikorupsi.org)
sebagai berikut : 1. PDIP (7.7), 2. PAN (5.5), 3. Golkar (4.9), 4. PKB (3.3),
5. PPP (2.7), 6. PKPI (2.1), 7 Gerindra (1.9), 8. Demokrat (1.7), 9. PBB (1.6),
10. Hanura (1.5), 11. PKS (0.3). Pada kesempatan lain, Ruhut Sitompul
mengatakan, meski kader Demorat banyak yang terjerat korupsi namun ternyata
bukan partai yang terkorup.
“Aku ada news, terima kasih ICW
menyatakan partai terkorup itu Golkar, kedua PDI-P. Yang lain-lain termasuk
kami (Demokrat) memang ada korupnya tapi dikit rupanya. Kami partai yang tak
main-main dengan korupsi.” ujar Ruhut di KPK (www.merdeka.com,
12/3).
Itulah rasa syukur dari partai ini. Sederet
nama kader partai ini tersandung kasus korupsi. Bahkan belakangan ini kasus
korupsi ketua umum demokrat cukup menghebohkan, slogan ‘anti korupsi’ yang
didengungkan pun hanya menjadi sekedar slogan. Khawatir citra partainya akan
menurun, tapi merasa terselamatkan dengan survey ICW. Namun survey tersebut
tidaklah menunjukkan peluang korupsi partai. Apakah partai yang tingkat
korupnya tinggi berpeluang korupsi yang lebih besar ? Partai yang tingkat
korupnya rendah pun berpeluang korupsi yang besar. Atau apakah parpol yang
tingkat korupnya rendah berpeluang korupsinya bertambah sedikit ? Parpol yang
tingkat korupnya tinggi pun berpeluang korupsinya bertambah sedikit. Hal
tersebut tidaklah pasti. Yang pasti adalah bahwa setiap parpol berpeluang
korupsi.
Persoalan korupsi tak bisa
dipungkiri telah berakar dan menjalar di negara ini. Jika diibaratkan akar,
maka akarnya tidaklah berakar serabut, namun berakar tunggang. Kader partai
politik yang menguasai hampir semua jabatan publik justru telah membangun
organisasi untuk saling mendukung tindak korupsi mereka. Bahkan lebih jauh
lagi, penguasa bekerja sama dengan pengusaha pada penentuan proyek yang
menggunakan dana APBN/APBD. Inilah politik transaksional.
Tiga pilar utama yang disebut trias
politika yang seharusnya menjadi lembaga yang saling mengawasi berubah menjadi
trias corruptica, lembaga yang berkomplot melakukan tindak korupsi. Banyaknya
kader-kader partai yang terjerat kasus korupsi berimbas pada ketidakpercayaan
rakyat kepada partai. Hal ini ditunjukkan pada semakin besarnya angka golput
dari pemilu ke pemilu dan dari pilpres ke pilpres. Bahkan kerap kali golput
menjadi pemenang pemilu dan pilpres.
Saat ini, korupsi tak sekedar virus.
Karena jika ia virus, maka masih ada kemungkinan mengobatinya. Namun ini
merupakan cacat bawaan lahir dari demookrasi. Demokrasi beranggapan bahwa
terpusatnya kekuasaan adalah penyebab korupsi. Oleh karena itu, dirumuskanlah
trias politica sebagai konsep pemerintahan. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di
suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik
melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Pemisahan
kekuasaan tersebut kepada 3 lembaga yang berbeda yaitu : legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang, eksekutif
yang melaksanakan undang-undang, dan yudikatif yang mengawasi jalannya
pemerintahan dan negara secara keseluruhan. Menurut demokrasi, dengan
terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan
jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintah
oleh suatu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling
koreksi, saling mengimbangi).
Hanya
saja pemisahan kekuasaan ini tidak serta merta menghilangkan korupsi. Sebab
masalahnya bukan dari terpusatnya kekuasaan, melainkan dari asal muasal
kekuasaan. Apakah kekuasaan itu terpusat atau terbagi, kalau kekuasaan masih
berasal dari rakyat/ kelompok yang penuh dengan kepentingan, maka
penyalahgunaan akan selalu terjadi dan korupsi akan semakin marak. Berbeda
halnya jika kekuasaan itu berasal dari amanah sang pencipta maka pengawasan
tidak hanya bersifat duniawi tapi juga ukhrawi.
Kekuasaan
dewasa ini, lebih terlihat sebagai sebuah tempat untuk menghasilkan pundi-pundi
kekayaan. Gaji para penguasa terbilang cukup besar ditambah lagi dengan
fasilitas-fasilitas mewah yang diberikan negara. Sehingga wajar, kekuasaan
hanyalah sebagai tempat memperkaya diri. Kekuasaan dipandang pekerjaan yang
diberikan oleh rakyat kepada penguasa dengan memberikan penguasa tersebut
sejumlah gaji yang besar.
Terlihat
sekali perbedaannya dengan kekuasaan dalam Islam, yang memandang bahwa
kekuasaan adalah amanah Sang Pencipta. Pencipta mengamanahkan kekuasaan kepada
penguasa dengan menjadi pelayan umat tanpa mendapat gaji hanya tunjangan
sandang, pangan, dan papan saja. Sebab,
kekuasaan adalah amanah pencipta maka yang akan membalas semuanya adalah
pencipta pula.
Dalam hal kekuasaan, Islam memberikan ketetapan sebagai
berikut:
Pertama, kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Hanya Allah Swt sajalah Yang menjadi Musyarri‘ (Pembuat Hukum); Yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, muamalah, uqubat (peradilan), dan sebagainya. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun hanya satu hukum. Firman Allah Swt:
Pertama, kekuasaan legislatif hanyalah milik Allah semata, bukan milik manusia. Hanya Allah Swt sajalah Yang menjadi Musyarri‘ (Pembuat Hukum); Yang menetapkan hukum-hukum dalam segala sesuatu, baik dalam masalah ibadah, muamalah, uqubat (peradilan), dan sebagainya. Tidak boleh sama sekali seorang pun menetapkan hukum, walaupun hanya satu hukum. Firman Allah Swt:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. (TQS. al-An‘âm [6]: 57)
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-A‘râf [7]: 54)
Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. (TQS. al-A‘râf [7]: 54)
Yang dimiliki oleh rakyat adalah kekuasaan atau
pemerintahan, bukan kedaulatan. Rakyatlah yang berhak memilih serta mengangkat
penguasa. Namun demikian, syariat telah menetapkan bahwa pihak yang berhak
memilih dan menetapkan hukum-hukum yang merupakan keharusan bagi pengaturan
urusan rakyat dan pemerintahan adalah Khalifah saja, bukan yang lain. Ijma
sahabat Nabi saw menetapkan bahwa hanya Khalifah sajalah yang berhak memilih
dan menetapkan hukum-hukum syariat sebagai undang-undang dasar dan
undang-undang lainnya. Dalam hal ini, Khalifah tidak berarti memegang kekuasaan
legislatif. Khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi hanya mengambil
hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah
tidak boleh menetapkan dan memilih hukum kecuali berupa hukum Allah semata.
Kedua, kekuasaan eksekutif adalah bersumber dari rakyat.
Kekuasaan adalah milik umat/rakyat yang dijalankan secara real oleh
Khalifah—dan para aparatnya—sebagai wakil rakyat untuk melaksanakan hukum-hukum
syariat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, umatlah
yang berhak memilih para penguasa untuk menjalankan segala perintah dan
larangan Allah dalam pemerintahannya. Hadits-hadits tentang bai’at menunjukkan
bahwa kekuasaan adalah milik umat. Artinya, bai’at adalah berasal dari kaum
Muslim untuk Khalifah, bukan dari Khalifah untuk kaum Muslim. Nabi saw
bersabda:
«بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ B
عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ المَنْشَطِ وَ الْمَكْرِهِ»
Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai. (HR. al-Bukhârî, hadits no. 7199)
Kami telah membai’at Rasulullah saw untuk didengar dan ditaati, dalam hal yang kami sukai maupun yang tidak kami sukai. (HR. al-Bukhârî, hadits no. 7199)
Ketiga, kekuasaan yudikatif hanyalah dipegang oleh
khalifah atau orang yang mewakilinya untuk menjalankan kekuasaan tersebut.
Khalifahlah yang berhak dan berwenang untuk mengangkat para qâdhî (hakim).
Tidak ada seorang pun dari rakyat—baik secara individual maupun secara
kolektif—yang berhak mengangkat para qâdhî. Hak ini hanya dimiliki oleh
Khalifah, bukan yang lain. Nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa Rasulullah
saw sebagai kepala negara telah memegang sendiri urusan peradilan dan
memberikan keputusan di antara orang-orang yang bersengketa. Rasulullah saw,
misalnya, telah mengangkat ‘Alî bin Abî Thâlib r.a. sebagai hakim (qâdhî) di
Yaman dan mengangkat ‘Abdullâh ibn Nawfal r.a. sebagai qâdhî di Madinah. Semua
ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif berada di tangan Khalifah dan mereka
yang mewakilinya dalam urusan ini.
Keempat, apabila penguasa kaum Muslim berlaku zalim,
merampas hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban mereka terhadap rakyat,
melalaikan salah satu urusan rakyat, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka
syariat telah memberikan pemecahannya; yaitu dengan mewajibkan kaum Muslim
untuk melakukan koreksi (muhâsabah) dan amar makruf nahi mungkar terhadap para
penguasa, bukan melakukan pemisahan kekuasaan sebagaimana dalam konsep Trias
Politica. Di dalam sebuah riwayat
disebutkan demikian:
«سَتَكُوْنُ أُمَرَاءٌ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ
فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنَّ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
قَالُوْا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ، مَا صَلُّوْا»
Akan ada para amir (penguasa), lalu di antara kalian ada
yang mengakui perbuatan mereka, dan ada pula yang mengingkari mereka. Siapa
saja yang mengakui tindakan mereka (karena tidak bertentangan dengan syariat),
maka dia tidak diminta tanggung jawabnya. Siapa saja yang mengingkari perbuatan
mereka (karena bertentangan dengan syariat), maka dia selamat. Akan tetapi,
siapa saja yang ridha (dengan tindakan mereka yang bertentangan dengan syariat)
serta mengikuti mereka, maka dia berdosa. Para sahabat bertanya, ‘Apakah kita
tidak memerangi mereka? Jawab Nabi saw, ‘Tidak, selama mereka mendirikan
shalat’. (HR. Muslim, hadits no. 1854)
Rasulullah saw telah mewajibkan kaum Muslim untuk
mengoreksi para penguasa dengan mengingkari mereka tatkala mereka melakukan
penyimpangan dengan berbagai sarana yang memungkinkan; baik dengan tangan,
lisan, maupun hati—bila tidak mampu dengan tangan dan lisan. Rasulullah saw
menetapkan bahwa, siapa saja yang tidak mengingkari penguasa tersebut, berarti
dia telah ikut bersama-sama memikul dosa penguasa itu.
Dengan demikian, Islam tidak mengaitkan masalah
pemyimpangan penguasa dengan masalah pemisahan kekuasaan. Penyimpangan penguasa
telah dipecahkan oleh nash-nash syariat tertentu, sedang masalah kekuasaan
telah dijelaskan oleh nash-nash syariat yang lain.
Kaum Muslim wajib mengambil pemecahan dari syariat apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, kaum Muslim diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syariat, seperti konsep Trias Politica. Sebab, Allah Swt berfirman:
Kaum Muslim wajib mengambil pemecahan dari syariat apabila penguasa berlaku menyimpang, yakni melakukan koreksi dan amar makruf nahi mungkar. Sebaliknya, kaum Muslim diharamkan mengambil pemecahan yang tidak berasal dari syariat, seperti konsep Trias Politica. Sebab, Allah Swt berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian terimalah dia dan apa saja yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian terimalah dia dan apa saja yang dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ
تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nûr [24]: 63)
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nûr [24]: 63)
Demikianlah
kekuasaan dalam Islam. Karena Islam berasal dari pencipta tentunya Allah lebih
tahu yang manusia butuhkan. Sedangkan kekuasaan dalam demokrasi adalah buatan
manusia, sehingga wajar kerap kali menimbulkan masalah lain yang lebih serius
seperti korupsi. Karena manusia lemah, terbatas, dan bergantung, sehingga
aturan apapun yang dibuatnya akan penuh dengan kelemahan dan keterbatasan.
Sehingga, tidak bisa tidak, umat manusia khususnya umat Islam, harus kembali
menerapkan kekuasaan Islam yaitu Daulah Khilafah Rasyidah. Tidak saja untuk
mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, namun karena kita adalah
seorang muslim yang berakidah Islam dan wajib berhukum pada hukum Islam. Wallahu
a’lam bi ash shawab.