Kita selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Termasuk dalam urusan tempat tinggal. Kita ingin menyediakan tempat tinggal yang aman dan nyaman untuk anak bertumbuh dan berkembang. namun di era saat ini tentu semuanya begitu berbeda.
Mungkin diantara kita mengira uang adalah masalahnya. Jika punya uang bisa membeli rumah di tempat yang bagus atau membangun rumah yang aman dan membuat lingkungan yang nyaman bagi anak. Tapi ternyata tidak.
Mungkin diantara kita mengira tetangga adalah kuncinya. Jika tetanggamu baik, anak-anakmu akan baik juga sebab berada di lingkungan para tetangga yang baik. Tapi ternyata itu tidak cukup.
Mungkin diantara kita mengira hidup di kota yang low crime ratenya akan menjaga keamanan anak-anak kita. Tapi ternyata New Zealand yang terkenal sebagai negara paling aman pun tak luput dari serangan didasarkan islamophobia.
Mungkin diantara kita mengira jika lingkungan luar tak aman maka yang terbaik adalah memasukkannya ke sekolah asrama atau ke pesantren. Hingga kemudian kasus-kasus elgibiti dan bullying disana menyadarkan kita. Anak-anak tak selamanya di sana dan ia pasti akan bersinggungan dengan dunia luar. Tak mungkin mengerangkengnya bukan.
Jika dulu, pembicaraan kita soal memilih lingkungan yang tepat untuk tinggal adalah soal kotanya, soal lingkungannya, soal tetangganya, soal keamanan rumahnya, maka sebenarnya di era borderless hari ini semuanya menjadi berbeda. Kita hidup tidak lagi dibatasi secara fisik. Batas-batas kota hingga negara tiada artinya lagi, apalagi sekadar batas lingkungan dan rumah. Penemuan internet mengubah segalanya.
Hari ini anak-anak kita dididik tidak sekedar di wilayah lingkungan rumah dan tetangga kita tapi telah melewati batas-batas fisik itu.
Aku tau ini mengkhawatirkan. Sebab aku pun sebagai orang tua khawatir akan masa depan anak-anak kelak. Aku bertanya-tanya bagaimana aku akan menjaga anak-anakku dari pengaruh-pengaruh buruk diluaran sana.
Sedangkan hari ini apapun bisa diakses bahkan dari bilik-bilik istirahat kita. Referensi-referensi buruk bersliweran berusaha menghantam kita dan anak-anak kita. Jelas ini meresahkan.
Aku tahu tidak mengenalkan internet juga bukan solusi sebab hari ini internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Apakah kita akan mengirim anak-anak kita ke hutan belantara yang tak ada akses internet? Tentu itu bukan solusi pula.
KITA HARUSNYA SADAR BAHWA DI ERA BORDERLESS GAK ADA LAGI ISTILAHNYA TEMPAT YANG AMAN. Maka mencukupkan diri dengan 'ah yang penting aku tinggalnya di lingkungan yang islami', 'ah yang penting anakku sudah masuk pesantren', 'ah yang penting keluargaku paham islam semua', dan 'yang penting'-'yang penting' lainnya. Lantas dengan dalih itu kita jadi gak mau turut berjuang, turut melakukan perubahan, merasa bahwa urusan kita hanya soal keluarga kita, maka sebenarnya kita telah gagal paham bawa anak-anak kita bukan hanya bagian dari keluarga, tapi bagian dari masyarakat.
Aku tahu ini sulit. Ikut berjuang sepertinya melelahkan. Jalannya panjang dan mungkin penuh resiko. Tapi bukankah tidak melakukan apa-apa akan membuat semuanya lebih buruk. Akan berapa generasi lagi semuanya begini?
Kemaksiatan diorganisir dengan rapi demi menormalisasinya hingga anak-anak kita menerimanya sebagai hal yang lumrah. Lalu apakah kebaikan harus kita lakukan sendiri-sendiri dalam keluarga kita? Kenapa kita tidak memperjuangkan kebaikan secara terorganisir pula alih-alih berjuang sendiri-sendiri?
Maka merapat dalam barisan/jama'ah/kelompok dakwah adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan.
Jika tidak maka seperti kata Sayyidina Ali ra "kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak teroganisir".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar