Rabu, 28 September 2022

Mengasuh Anak Demi Apa?

Ketika ide childfree heboh beberapa waktu lalu, timbul perdebatan di masyarakat, ada yang pro dan ada pula yang kontra dengan alasannya masing-masing. Alasan yang paling banyak dikemukakan oleh netizen yang kontra adalah "nanti kalo tidak punya anak, kalo sudah tua siapa yang ngurus", atau "kalo nggak punya keturunan, nanti tua bakal kesepian". Kurang lebih begitu alasan mengapa orang-orang ingin punya anak. Ingin penghiburan dari anak keturunan dan ingin diurus kala tua.

Tentu ide childfree adalah ide yang batil sebab ianya lahir dari rahim liberalisme sekularisme. Tetapi counter terhadap konsep ini mayoritas masih bernafaskan sekularisme juga, walau mereka yang berkomentar ini mayoritasnya adalah muslim. Namun nyatanya malah menjadikan asas manfaat sebagai tolak ukur perbuatan. Ini menunjukkan betapa racun paham sekularisme begitu mengakar kuat dalam pikiran kaum muslimin.

Imbasnya begitu terasa bahkan dalam kehidupan parenting kita. Kita sebagai anak pun kita sebagai orang tua. Betapa banyak dari kita yang merasakan tekanan sebagai anak. Tuntutan duniawi sedemikian rupa diletakkan di pundak-pundak kita. Ada yang dituntut sukses duniawi demi membahagiakan orang tua yang standar bahagianya adalah materi. Ada anak gadis yang sulit menikah karena permintaan mahar/uang hantaran dari orang tua kepada lelaki yang melamar begitu tinggi, alasannya modal membesarkan anak hingga S2 tidak murah.

Pun sebagai orang tua. Pada akhirnya kita bisa jadi menuntut anak ini itu karena kita merasa telah membesarkannya. Padahal membesarkan anak adalah amal sebagaimana amal-amal lain yang kita berharap Allah menerimanya. Sedang amal diterima jika dan hanya jika memenuhi dua syarat: pertama, ikhlas. Dan kedua, caranya benar sesuai syara.

Perkara ikhlas adalah hal yang dibahas begitu panjang oleh para alim ulama. Bagi seorang muslim yang mendamba surga, ini wajib menjadi perhatian penting. Ikhlas bukan sesuatu yang bisa kita peroleh instan tetapi melalui proses pembelajaran yang terus menerus. Di masyarakat muslim yang sekuler hari ini, makna ikhlas telah jauh mengalami pergeseran. Entah itu dipahami sebagai sekadar 'kerelaan', 'ketulusan' atau semisalnya. Maka wajar yang muncul adalah 'boleh kok riba asalkan sama-sama rela' dan berbagai penghalalan dosa-dosa lainnya.

Allah SWT berfirman dalam ayat QS al-Insan 76:9:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

yang artinya: "Sesungguhnya kami memberi makan (membantu) kalian hanya untuk Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terima kasih."

Allah SWT menjelaskan dalam rentetan ayat ini dan sebelumnya tentang karakter amalan dan perbuatan orang-orang yang kelak berada di surga. Ayat ini singkat tapi maknanya sangat dalam. Allah SWT menggambarkan tentang makna ikhlas yaitu 'hanya mengharapkan balasan dari Allah SWT'.

Membaca ayat ini rasanya menohok. Iya. Bagaimana tidak, kita yang katanya ingin masuk surga tapi selalu ingin mendapat balasan dari selain Allah bahkan untuk hal sesederhana melempar senyum ke orang lain. Apalagi untuk hal-hal yang lebih dari itu termasuk membesarkan anak. Kita beramal baik dengan harapan dibalas kebaikan juga oleh orang lain. Lalu saat harapan itu tak sampai maka kecewa lah kita. Mungkin kita pernah merasakan ini 'kok ya aku sudah capek-capek berbuat baik ke orangtua/ ke mertua/ ke suami/ ke sodara tapi nggak diapresiasi'. Kamu sudah bebersih tau-tau orang tua ngeliatnya pas rebahan lalu dibilangin kamunya malas. Langsung pundung deh.

Tapi tahu gak sih, ini yang aku pikirkan. Bisa jadi segala kekecewaan-kekecewaan kita adalah karena ketidakikhlasan kita. Bukankah kita kecewa karena harapan yang tak sampai? Kita berharap balasan suami, anak, orangtua, mertua, teman kita seperti ini untuk setiap kebaikan yang kita lakukan untuknya, eh ternyata tidak demikian. Lantas kita kecewa.

Mungkin patut kita menengok hati kita, sudah ikhlas kah engkau wahai diriku? Sudahkah segala amal kita persembahkan kepada Allah SWT saja?

Wahai diri ini, ingatlah doa yang kau ulang-ulang minimal 17 kali sehari dalam sholatmu 'ihdinas sirotol mustaqim'. Engkau ingin jalan yang lurus yaitu jalan yang Allah ridhoi maka Allah tunjuki lewat ujian kekecewaan-kekecewaan agar dirimu belajar arti ikhlas, arti mengharap pada Allah SWT saja.

Bukankah ini adalah jawaban Allah SWT atas doa-doa kita? Bukankah Allah sedang menempa kita menjadi orang yang ikhlas lewat kekecewaan-kekecewaan itu agar kita layak menjadi penghuni surga? 

Maka ingatlah wahai diriku, engkau mengasuh, membesarkan, mendidik anak-anakmu tidak lain dan tidak bukan sebagai amal sholeh yang engkau harapkan Allah ridhoi hingga mengantarkanmu menjadi orang-orang yang Allah beri nikmat yang paling besar (surga).

Semangat diriku dan dirimu juga.😊👏💪

Tidak ada komentar:

Posting Komentar