Beberapa waktu lalu mendengar curhatan ibu-ibu para hamlud dakwah tentang anak-anak mereka yang beranjak dewasa namun beberapa justru semakin antipati dengan dakwah. Jujur, aku sendiri jadi insecure. Memandangi bayi disampingku yang kini berusia 1 tahun 5 bulan sambil membayang-bayangkan bagaimana ia kelak, 10 hingga 20 tahun yang akan datang. Aku berpikir akankah aku mampu menjalani amanah ini, sebagai ummu dan sebagai madrasatul ula?
Seringkali aku mengingatkan diriku lagi dan lagi, 'aku adalah ummu sebelum yang lainnya', 'aku adalah madrasatul ula bagi anak-anakku sebelum menjadi madrasah bagi orang lain'. Sesuatu yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban kepadaku adalah anak-anakku.
Suatu ketika aku berbincang-bincang dengan sang partner hidup, 'mengapa ini terjadi?' Beliau menjawab, 'Seringkali para keluarga hamlud dakwah fokus meriayah keluar tapi lupa meriayah keluarganya". Aku pikir mungkin ada benarnya. Padahal Allah SWR memerintahkan kita untuk menjaga keluarga kita dari api neraka.
Kita sibuk mempersiapkan diri sebaik mungkin saat akan bertemu mad'u-mad'u, belajar, membuka kitab, menuliskan outline materi dan sebagainya, tapi apakah kita juga mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bertemu dengan anak kita esok hari ketika mereka terbangun? Besok materi apa yang akan aku ajarkan kepada ana? Hal apa yang harus aku tanamkan kepada anak? Kegiatan apa yang akan kami lakukan dst?
para hamlud dakwah memikirkan rencana dakwah kedepannya dengan baik tapi apakah juga memikirkan rencana tarbiyah ankanya dengan baik. kita bicara soa evaluasi dakwah, menyeriusinya dengan rapat tahunan, bulanan, hingga pekanan, tapi apakah kita pernah mengevaluasi pendidikan anak kita di rumah maupun diluar rumah, apakah para orangtua mengadakan rapat membahas ana-anak mereka membuat rencana dan target tahunan, bulanan, mingguan, hingga harian?
Seorang ibu bukanlah seseorang yang sekadar mengurus kebutuhan anaknya, seperti menyusui, menyiapkan makanan, menjaga kebersihan rumah, menjaga kesehatan anggota keluarga, memasukkan anak-anak ke sekolah. Bukan, bukan sekedar itu. Mungkin kita perlu merenungi kembali diri kita para ibu bahwa kita adalah madrasatul ula, sekolah utama dan pertama bagi anak. Seseorang yang memberikan pengajaran sejak anak dalam kandungan, lahir, hingga beranjak dewasa. Seseorang yang membangun pondasi dalam diri anak. Seseorang yang perannya amat vital bagi seorang anak. Maka menyeriusi peran ini adalah suatu kewajiban.
jangan sampai kita sibuk menjalani aktivitas, iya bersama dengan anak sih, tapi hanya raganya. Mereka ikut dalam aktivitas kita (termasuk dakwah) tapi ki lupa berinteraksi dengan mereka. Kita memandikan mereka tapi kita lupa mengenalkan Allah yang menurunkan rahmatnya berupa air, kita memberi mereka makan tapi kita lupa mengenalkan Allah ar-Razaaq sebagai yang Maha Pemberi Rezeki dalam aktivitas makan mereka, kita menghadapi anak yang sakit/terluka tapi kita lupa mengajarkannya untuk hanya memohon kesembuhan kepada-Nya, anak kita sedang menghadapi kesulitan tapi kita lupa mengajarkan bahwa Alah satu-satunya tempat bergantung, anak kita sedih tapi kita lupa mengajarkan bahwa sedih maupun senangnya seorang mukmin itu adalah rahimnya Allah, tanda sayangnya Allah pada hamba-Nya, yang dengannya Allah beri kita peluang beramal sholih dengan sabar dan syukur. Jangan sampai kita lupa bahwa anak kita berrhk atas ibunya sebagai madrasatul ula bagi mereka bukan sekedar pemenuh kebutuhan jasmaninya. ya Allah, bantu kami untuk terus belajar dan terus mengevaluasi. Ini jadi PR besar bagi kami orangtua untuk terus berbenah...
kamis, 11 Agustus 2022 pukul 22:40 WIB
yang sedang bercermin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar