Ketika
harus hidup jauh dari kampung halaman, ketika harus hidup bersama dengan orang
yang sebelumnya asing sama sekali, aku tahu itu bukan hal yang mudah, ada-ada
saja konflik yang mungkin mewarnai. Tapi konflik terbaik itu ketika justru
semakin mendekatkan, bukan menjauhkan.
Aku pulang
dari sebuah café yang biasanya kutempati belajar bersama dengan teman
sekelasku, setelah belajar seharian dari pagi hingga menjelang magrib. Ini
weekend dan disinilah aku berkutat dengan sejumlah teorema dan aksioma. Tentu
saja rasanya lelah sekali. Dalam perjalanan pulang, dipikiranku aku sudah
merencanakan akan memasak ini itu untuk makan malam nanti. Tapi ketika tiba,
ternyata roommate ku telah memasakkan sesuatu untuk aku makan. Aku tahu bahwa
dia bukan orang yang terbiasa dengan dapur dan masak dulu. Tapi hidup di negeri
yang makanan jadi yang halal susah plus pun jika ada tentu mahal jika harus
makan diluar tiap hari, membuat kami harus memasak ditengah-tengah kesibukan
kuliah jika ingin hidup. Ini Mulukiyah pertama yang ia buat, ia harus menelpon
ibunya untuk memberikan instruksi bagaimana memasaknya.
Mulukhiyah
adalah sejenis sup yang dibuat dari daun Nalta rami yang banyak tumbuh di
daerah timur tengah. Mulukhiyah yang dibuatnya adalah masakan khas orang-orang
Palestina yang disajikan dengan nasi. Rasanya sangat sangat super duper enak,
hingga membuatku hampir menangis. Temanku yang lainnya berkata ‘ya ampun Aswa,
kau menangis saking bahagianya memakan Mulukhiyah?’ Aku menangguk. Sulit dipercaya
jika ini pertama kalinya dia membuat sup seperti ini. Karena melihatku begitu
lahap memakannya, dia berjanji akan membuatkannya lagi untukku. Ah tidak, aku
lebih memilih diajarkan bagaimana membuatnya.
Sebelumnya
aku juga memakan malban. Palestinian Malban yang dibuat secara tradisional dari
sari anggur dicampur pati dan diberi air
mawar, merupakan permen arab tradisional yang udah ada selama berabad-abad yang
lalu. Rasa manisnya seakan membawa kita ke masa seribu satu malam. Haha.. lebay
deh..
Dia berasal
dari West Bank, Palestina. Aku mengenalnya pertama kali sejak di Indonesia
lewat facebook, dan setelah itu akulah yang memintanya tinggal bersama ketika
tahu dia juga akan melanjutkan kuliah di kampus yang sama. Dan akhirnya
disinilah kami, di Budapest.
Hidup
dengan orang-orang yang berbeda culture dan habits bukan hal mudah, tapi bukan
berarti tidak bisa. Kesulitan apapun itu tidaklah penting selama kita tahu
bahwa kita saudara. Paspor kami memang berbeda, tapi hati kami InsyaAllah sama.
Kami merindukan persatuan dan ukhuwah di seluruh dunia.
Aku ingat
pertama kali berkenalan dalam bahasa Arab, mereka terkesima dan bilang pelafalanku
cukup bagus. Aku bilang aku cuma tahu introduction saja, selebihnya aku NOL
besar. Tak apa katanya, mereka akan mengajariku. Di malam-malam kami, mereka
dengan senang hati menjadi guruku dan mengajarkanku bahasa arab. ‘Aswa kamu
harus mempunyai buku catatan sendiri untuk pelajaran bahasa Arab’. ‘Okey aku
mengerti’ kataku. Di malam-malam lainnya, kami saling bertukar cerita mulai
dari hal-hal pribadi sampai hal yang mendunia. Aku ingin sekali menuliskan
kisah-kisah mereka, tidak sekarang, tapi di cerita-cerita berikutnya. Cerita
bagaimana temanku yang merupakan keturunan Amazea di Maroko yang dimarahi
ayahnya saat ketahuan bermain dengan seorang keturunan Arab (ini tentang
hubungan orang Arab dan Amazea di Maroko), cerita tentang Palestina dan sejarah
panjangnya, invasi Israel serta masih banyak lagi.
Ah, aku
lupa bilang, kalo dua roommate, satunya merupakan Amazea dari Maroko, dan
lainnya dari Palestina. Apa lagi yah yang terlupakan ? hmmm… okey, complete
sudah.
Selamat
menunggu cerita selanjutnya !
Mulukhiyah dan Nasi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar