Sepasang
pengantin itu masuk sambil menari (bisa dibilang berdansa ya). Orang-orang
menyambut sepasang pengantin itu memasuki ruangan pesta untuk tamu wanita sambil
melakukan ‘zaghrouta’ (aku tidak menemukan istilah yang tepat dalam bahasa
Indonesia, tapi ini semacam gerakan lidah menghasilkan suara-suara yang khas). Pengantin
wanitanya adalah guru ngaji sekaligus teman karibku di Budapest. Aya begitu
nama panggilannya. Dia berasal dari Hebron sedang suaminya berasal dari Gaza.
Ini pertama kalinya aku menyaksikan langsung pesta pernikahan dengan kultur
Arab, khususnya Palestina.
Teman
kamarku yang berasal dari Hebron sering bercerita banyak hal tentang kebiasaan
dan budaya orang-orang Palestina, termasuk dalam merayakan pesta pernikahan.
Ketika aku mendapatkan undangan pesta Aya, rasanya cerita yang baru beberapa
saat lalu diceritakan padaku menjadi nyata, ya, aku ikut menyaksikannya
langsung bagaimana orang-orang menari diiringi musik dan lagu khas Palestina.
Aku teringat kembali percakapan kami di kamar ‘bagaimana orang-orang merayakan
pesta pernikahan di daerahmu?’ tanyaku. ‘kami menari, menyanyi, dan makan tentu
saja’. ‘wow, itu pasti menarik –makanannya- ’, seruku.
Saat
menghadiri pesta, aku baru tahu jika ternyata yang menjadi penari utamanya
adalah pengantinnya. Setelah mereka menari beberapa saat, pengantin prianya
menuju ke tempat para tamu pria, meninggalkan pengantian wanitanya yang menari
dan para wanita lainnya pun ikut menari bersama, anak-anakpun tidak
ketinggalan.
Aku yang
sedang duduk memperhatikan sekitar dikejutkan saat tanganku di tarik sang
pengantin untuk ikut menari bersama. Dua jam pesta berlangsung, dan selama itu
pula tarian berlangsung. Wah, dalam hati aku bertanya-tanya mereka tidak capek
apa ya. Aku saja kelelahan tiap lima menit dan beristirahat, hehe. Aku cuma
menyaksikan pesta seperti ini dimana orang-orang menari di film Bolywood saja
kataku pada temanku itu, aku tidak tahu kalau orang-orang Arab melakukan ini
juga. ‘Lalu bagaimana orang-orang di daerahmu merayakan pesta pernikahan?’
tanyanya. ‘Para tamu tidak menari apalagi pengantinnya tentu saja. Pengantin
akan duduk manis sambil salam-salaman dengan para tamu, dan para tamu menikmati
hidangan dan mungkin saling bercakap-cakap dengan keluarga pengantin atau tamu
lainnya, dan ada musik juga yang dimainkan pemusik dan penyanyi yang disewa,
itu saja’, jawabku. ‘lalu apa di tempatmu, laki-laki dan perempuan juga
dipisah?’ tanyanya lagi. ‘Secara kultur tidak ada kebiasaan seperti itu, tapi
saat ini, orang-orang yang sudah memahami syariat islam tentang walmatul ursy
mulai menerapkannya, memang mulanya sedikit aneh di tengah-tengah masyarakat
tapi lama kelamaan akan biasa juga.’
Aku
teringat saat masih kecil dulu, sepupuku mengadakan pesta pernikahannya dengan memisahkan laki-laki dan perempuan dengan sebuah hijab yang membentang. ‘pak
itu kenapa pengantin laki-laki dan perempuannya dipisah?’ tanyaku penasaran.
Mungkin karena tak tahu jawabannya malah dijawab asal waktu itu ‘oh itu
pengantinnya lagi bertengkar makanya dipisah’. Aku ber’oh’ ria saja waktu itu,
setelah duduk di bangku sma, barulah aku mengerti alasannya, bukan karena
pengantinnya berantem tentu saja, tapi untuk menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya dan meraih ridha-Nya.
Aku cukup
terkejut saat diceritakan padaku kalau di Palestina mereka tidak mengenakan
hijab saat pesta, alasannya tentu saja karena tidak akan ada laki-laki yang
bergabung ke tempat pesta wanita, anak laki-laki berusia 7 tahun ke atas pun
umumnya berada di tempat pesta para lelaki. Tapi untuk pesta kali ini di
Budapest, tentu saja semua wanita baligh mengenakan hijab mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar