Senin, 22 Januari 2018

Part 10 Pesta Pernikahan

Sepasang pengantin itu masuk sambil menari (bisa dibilang berdansa ya). Orang-orang menyambut sepasang pengantin itu memasuki ruangan pesta untuk tamu wanita sambil melakukan ‘zaghrouta’ (aku tidak menemukan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia, tapi ini semacam gerakan lidah menghasilkan suara-suara yang khas). Pengantin wanitanya adalah guru ngaji sekaligus teman karibku di Budapest. Aya begitu nama panggilannya. Dia berasal dari Hebron sedang suaminya berasal dari Gaza. Ini pertama kalinya aku menyaksikan langsung pesta pernikahan dengan kultur Arab, khususnya Palestina.

Teman kamarku yang berasal dari Hebron sering bercerita banyak hal tentang kebiasaan dan budaya orang-orang Palestina, termasuk dalam merayakan pesta pernikahan. Ketika aku mendapatkan undangan pesta Aya, rasanya cerita yang baru beberapa saat lalu diceritakan padaku menjadi nyata, ya, aku ikut menyaksikannya langsung bagaimana orang-orang menari diiringi musik dan lagu khas Palestina. Aku teringat kembali percakapan kami di kamar ‘bagaimana orang-orang merayakan pesta pernikahan di daerahmu?’ tanyaku. ‘kami menari, menyanyi, dan makan tentu saja’. ‘wow, itu pasti menarik –makanannya- ’, seruku.

Saat menghadiri pesta, aku baru tahu jika ternyata yang menjadi penari utamanya adalah pengantinnya. Setelah mereka menari beberapa saat, pengantin prianya menuju ke tempat para tamu pria, meninggalkan pengantian wanitanya yang menari dan para wanita lainnya pun ikut menari bersama, anak-anakpun tidak ketinggalan.

Aku yang sedang duduk memperhatikan sekitar dikejutkan saat tanganku di tarik sang pengantin untuk ikut menari bersama. Dua jam pesta berlangsung, dan selama itu pula tarian berlangsung. Wah, dalam hati aku bertanya-tanya mereka tidak capek apa ya. Aku saja kelelahan tiap lima menit dan beristirahat, hehe. Aku cuma menyaksikan pesta seperti ini dimana orang-orang menari di film Bolywood saja kataku pada temanku itu, aku tidak tahu kalau orang-orang Arab melakukan ini juga. ‘Lalu bagaimana orang-orang di daerahmu merayakan pesta pernikahan?’ tanyanya. ‘Para tamu tidak menari apalagi pengantinnya tentu saja. Pengantin akan duduk manis sambil salam-salaman dengan para tamu, dan para tamu menikmati hidangan dan mungkin saling bercakap-cakap dengan keluarga pengantin atau tamu lainnya, dan ada musik juga yang dimainkan pemusik dan penyanyi yang disewa, itu saja’, jawabku. ‘lalu apa di tempatmu, laki-laki dan perempuan juga dipisah?’ tanyanya lagi. ‘Secara kultur tidak ada kebiasaan seperti itu, tapi saat ini, orang-orang yang sudah memahami syariat islam tentang walmatul ursy mulai menerapkannya, memang mulanya sedikit aneh di tengah-tengah masyarakat tapi lama kelamaan akan biasa juga.’

Aku teringat saat masih kecil dulu, sepupuku mengadakan pesta pernikahannya dengan memisahkan laki-laki dan perempuan dengan sebuah hijab yang membentang. ‘pak itu kenapa pengantin laki-laki dan perempuannya dipisah?’ tanyaku penasaran. Mungkin karena tak tahu jawabannya malah dijawab asal waktu itu ‘oh itu pengantinnya lagi bertengkar makanya dipisah’. Aku ber’oh’ ria saja waktu itu, setelah duduk di bangku sma, barulah aku mengerti alasannya, bukan karena pengantinnya berantem tentu saja, tapi untuk menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dan meraih ridha-Nya.

Aku cukup terkejut saat diceritakan padaku kalau di Palestina mereka tidak mengenakan hijab saat pesta, alasannya tentu saja karena tidak akan ada laki-laki yang bergabung ke tempat pesta wanita, anak laki-laki berusia 7 tahun ke atas pun umumnya berada di tempat pesta para lelaki. Tapi untuk pesta kali ini di Budapest, tentu saja semua wanita baligh mengenakan hijab mereka. 

Zaghrouta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar