“What exists in my heart, I cannot tell
you, coz it’s something difficult to describe by words. Sometimes you see how
bright and cheerful they are, but you never can imagine surely what they
already have experienced in their life.”
Anak-anak itu tengah bersorak sorai
melihat kedatangan tank-tank musuh. Bukan karena bahagia tentu saja, tapi aku
juga tak yakin itu karena ketakutan. Suara tembakan dan rudal-rudal yang
meledak menghancurkan apa saja yang dihantamnya. Seorang gadis dengan
antusiasnya berusaha mengambil gambar terbaik saat tank-tank itu menjalankan
misinya dengan berbekal kamera kecil di genggamannya yang hanya bisa digunakan
untuk sekali take.
Tatkala tank-tank Israel mendekat
anak-anak itu berlarian berusaha bersembunyi dan mengamankan diri, kecuali satu
gadis berusia 12 tahun itu yang tetap berdiri kokoh menunggu momen terbaik
untuk menggunakan satu-satunya kesempatan memotret dari kamera sederhana itu.
Adik perempuannya meneriakinya, “apa yang kau lakukan? Cepat lari, mereka
menuju ke arah kita”. “tidak, aku harus memotretnya”, jawab sang kakak. “kau
gila, cepat, tidak ada waktu lagi, ayo pergi dari sini”, paksa sang adik.
Sekian tahun kemudian, sang adik
menceritakannya kepadaku dengan tawa yang sulit ditahannya. Aku bahkan bingung
apa ini cerita bergenre tragedi atau komedi, dia tertawa seperti hal ini adalah
hal yang terlucu dihidupnya. Sulit dibayangkan bagaimana anak-anak disana hidup
dan tumbuh tanpa mengalami trauma saat dewasa. Tapi sungguh, itulah yang terjadi,
mereka tumbuh menjadi sosok yang kuat, tidak seperti sebuah negeri yang
generasinya walau bergelimang kenikmatan dunia malah mudah mengalami depresi
hingga bunuh diri. Memperlakukan kehidupan seperti sesuatu yang tiada artinya
sama sekali.
“Memangnya kenapa kakakmu ingin sekali
memotret momen penyerangan itu?” tanyaku penasaran. “Supaya dia memenangkan
kompetisinya dan mendapat hadiah,” jawabnya. “kompetisi?”, dia melanjutkan “ya,
gurunya membagi-bagikan kamera untuk semua muridnya dan mengadakan sebuah kompetisi
dimana mereka harus memotret dengan kamera itu yang hanya bisa digunakan untuk
sekali take, pemotret gambar terbaik akan mendapatkan hadiah. Itulah yang
menarik, sebab dia berambisi sekali memenangkan hadiahnya.” Aku hanya tersenyum
heran mendengarnya. Kira-kira hadiah seperti apa yang menyebabkan seseorang
berambisi sekali mendapatkannya.
Salah satu momen di Intifada 2 pada tahun 2000.
[ashwarin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar