Senin, 22 Januari 2018

Part 7 I want to take photo

“What exists in my heart, I cannot tell you, coz it’s something difficult to describe by words. Sometimes you see how bright and cheerful they are, but you never can imagine surely what they already have experienced in their life.” 

Anak-anak itu tengah bersorak sorai melihat kedatangan tank-tank musuh. Bukan karena bahagia tentu saja, tapi aku juga tak yakin itu karena ketakutan. Suara tembakan dan rudal-rudal yang meledak menghancurkan apa saja yang dihantamnya. Seorang gadis dengan antusiasnya berusaha mengambil gambar terbaik saat tank-tank itu menjalankan misinya dengan berbekal kamera kecil di genggamannya yang hanya bisa digunakan untuk sekali take.  

Tatkala tank-tank Israel mendekat anak-anak itu berlarian berusaha bersembunyi dan mengamankan diri, kecuali satu gadis berusia 12 tahun itu yang tetap berdiri kokoh menunggu momen terbaik untuk menggunakan satu-satunya kesempatan memotret dari kamera sederhana itu. Adik perempuannya meneriakinya, “apa yang kau lakukan? Cepat lari, mereka menuju ke arah kita”. “tidak, aku harus memotretnya”, jawab sang kakak. “kau gila, cepat, tidak ada waktu lagi, ayo pergi dari sini”, paksa sang adik.

Sekian tahun kemudian, sang adik menceritakannya kepadaku dengan tawa yang sulit ditahannya. Aku bahkan bingung apa ini cerita bergenre tragedi atau komedi, dia tertawa seperti hal ini adalah hal yang terlucu dihidupnya. Sulit dibayangkan bagaimana anak-anak disana hidup dan tumbuh tanpa mengalami trauma saat dewasa. Tapi sungguh, itulah yang terjadi, mereka tumbuh menjadi sosok yang kuat, tidak seperti sebuah negeri yang generasinya walau bergelimang kenikmatan dunia malah mudah mengalami depresi hingga bunuh diri. Memperlakukan kehidupan seperti sesuatu yang tiada artinya sama sekali.

“Memangnya kenapa kakakmu ingin sekali memotret momen penyerangan itu?” tanyaku penasaran. “Supaya dia memenangkan kompetisinya dan mendapat hadiah,” jawabnya. “kompetisi?”, dia melanjutkan “ya, gurunya membagi-bagikan kamera untuk semua muridnya dan mengadakan sebuah kompetisi dimana mereka harus memotret dengan kamera itu yang hanya bisa digunakan untuk sekali take, pemotret gambar terbaik akan mendapatkan hadiah. Itulah yang menarik, sebab dia berambisi sekali memenangkan hadiahnya.” Aku hanya tersenyum heran mendengarnya. Kira-kira hadiah seperti apa yang menyebabkan seseorang berambisi sekali mendapatkannya.

Salah satu momen di Intifada 2 pada tahun 2000.


[ashwarin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar