“Naik-naik
ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali”. Ahad kemarin, sebenarnya ahad kemarin
rencananya bakal ke premier, tapi karena beasiswanya belum cair juga, dan aku
khawatir akan telat cairnya, jadi duit yang ada mending disimpan untuk
kemungkinan terburuknya. Aku memutuskan ikut hiking in the last minute. Setelah
sabtu kemarin lelah menggunakan otak, kali ini mesti lelah otot, hhh. Aku
berangkat sendiri ke meeting point, soalnya teman-teman sekamarku sedang sibuk
belajar, bahkan di weekend seperti ini. Okey, I’ll go even I’m alone. Hikingnya
dimulai pukul 11 mendaki bukit Buda. Sang guide membawa kami ke daerah yang
merupakan perumahan orang-orang penting hongaria, seperti politisi, pejabat,
pada duta besar, bahkan dia menunjukkan kediaman prime ministernya. Pertama
kali ke Budapest, aku pikir kenapa tidak ada rumah ya. Semuanya
bangunan-bangunan tua beberapa lantai, dan yang mereka tinggali disebut
apartemen atau flat disini. Tapi perjalanan menuju pendakian, menunjukkan sisi
lain dari kota ini, aku baru tahu kalau kebanyakan orang-orang penting disini
justru tinggal di pinggiran kota, dengan kediaman yang disebut rumah tentu
saja. Daerah itu sangat sepi dan tenang, seperti daerah tak berpenghuni. Rumah-rumahnya
besar tapi tetap menampakkan kesederhanaan.
Pendakian
menuju ke Normafa Hills, aku pernah kesini sebelumnya dengan menggunakan bus, tidak
mendaki seperti ini. Guide kami mengatakan kita sebenarnya bisa menggunakan bus
jika ingin ke Normafa Hills, tapi guidenya membuat kami harus berjalan jauh.
Tapi tak apa, selama perjalanan setidaknya aku bisa mendapat banyak
cerita-cerita menarik dari orang-orang hungaria yang memandu kami.
Tiba di
Normafa Retes, para peserta hiking ada yang menikmati teh dan kopi panasnya
juga lunch mereka. Salah satu cewek khazakstan mendekatiku dan mengajak sholat dhuhur
bareng. ‘kau yang tentukan tempatnya’, kataku. Aku tidak menyangka kalau dia
akan memilih sholat di depan warung yang sedang ramai-ramainya dipadati para
peserta hiking. Aku diam saja tapi dalam hati protes ‘apa dia tidak bisa
memilih tempat yang lebih sepi dimana setidaknya tidak ada orang-orang yang
memandangi?’, ah tapi aku pikir idenya tidak buruk juga, ini juga bisa jadi
bagian dari dakwah. Aku jadi teringat kisah seorang teman yang bahkan sholat
jamaah dipinggir jalan di negeri seperti ini. Saat di Indonesia, saat ingin
sholat, yang dicari adalah mesjid atau mushola terdekat. Tapi ketika berada di
negeri dimana muslim adalah minoritas, pertanyaannya menjadi dimana tempat yang
memungkinankan untuk sholat.
Datang
dengan membawa diri sendiri, tapi yang menarik, ketika bisa mengenal banyak
orang dan berteman dengan yang lainnya. Tiba puncak Buda sekitar pukul 3 siang,
cuaca yang sangat-sangat dingin menyulitkan anak-anak yang hidupnya digaris
katulistiwa. Salah satu teman dari ekuador mengajakku jogging agar tubuh kami
hangat. Okey, kamipun berlari seperti orang aneh, yang mendaki sambil berlari.
Itu lebih baik daripada merasa seperti akan beku karena suhu yang rendah.
Pemandangan
Budapest begitu memukau dari atas bukit Buda. Lelahnya perjalanan dan pendakian
seperti menguap begitu saja. Aku memanjat bebatuan yang tinggi untuk melihat
pemandangan lebih jelas. Itu sangat indah. Saking indahnya aku sampai tidak memperhatikan
jika orang-orang sudah mulai melanjutkan perjalanan meninggalkanku yang
termenung diatas bebatuan raksasa.
Tiba di paling puncaknya Buda Hills, terdapat bangunan tua yang digunakan untuk sightseeing. Lantai paling bawah ada café yang menyediakan berbagai macam minuman hangat. Akhirnya setelah pendakian yang panjang, beristirahat mengumpulkan tenaga untuk pulang. Aku menggunakan chairlift yang membawaku turun dari puncak Buda. Finally, Mission Completed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar