Rabu, 16 Agustus 2017

Jatuh Bangun Mengejar Beasiswa Luar Negeri : Gagal 9 kali

Belajar itu tak pernah lekang oleh waktu. Manusia haruslah senantiasa belajar hingga akhir hayatnya. Bahkan ayat Al-Quran yang pertama turun justru berbicara tentang menuntut ilmu. “Iqra” artinya bacalah. Membaca adalah proses menginput ilmu dan pengetahuan. Saking belajar itu penting, Allah berfirman dalam banyak ayat al-Quran tentang keutamaan orang yang berakal dan mengetahui.

Belajar memang bisa dimana saja dan kapan saja, bahkan jika perlu sampai ke ujung dunia. Rasulullah bersabda : “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina”. Kala itu Cina lah yang dianggap negeri yang paling jauh dari Makkah.

Melihat dunia luar, belajar di tempat yang jauh, dan bertemu dengan orang-orang baru merupakan bagian yang unik dari sebuah proses pembelajaran. Karena itulah, sejak kecil aku selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh.

Pendidikan Dasar dan Menengahku kujalani di kota kelahiranku, Sungguminasa. Namun, sejak kecil aku selalu ingin belajar selain di kota ini. Menjelang SMA, aku mendaftarkan diri di salah satu SMA unggulan se-provinsi (bayangkan saja, se-provinsi loh). Aku berpikir dengan masuk ke sekolah unggulan tersebut, aku bisa mendapatkan teman yang berasal dari berbagai daerah, tidak hanya Gowa. Namun, sepertinya aku tidak berjodoh dengan sekolah itu. Aku pun akhirnya masuk ke SMA dekat rumahku. Hari-hari di sekolah kujalani dengan semangat walau gagal masuk di sekolah impianku dan berbagai kegiatan ekskul pun kuikuti.

Di tahun pertamaku berada di bangku SMA, aku mengikuti seleksi Program Student Exchange oleh AFS (Baca : Pengalaman Mengikuti Seleksi AFS : Student Exchange Program). Namun, aku gagal di tes terakhir. Walaupun kecewa dengan hasilnya, tapi aku cukup puas dengan prosesnya. Bagaimana pun aku telah mengerahkan kemampuan maksimalku. Bagiku kegagalan bukanlah hal yang tercela. Kau boleh gagal tapi tak boleh menyerah. Kegagalan sesungguhnya yaitu saat kau mulai berkata aku tidak bisa. Saat itulah kau benar-benar gagal.

Setamat SMA, aku mulai menyiapkan diri masuk ke universitas. Saat itu, pandanganku mengarah pada Jepang, mungkin karena saat itu aku lagi senang-senangnya dengan Anime ditambah lagi aku sering main ke konsulat, entah itu untuk membaca buku atau membawa pulang majalah gratis. Hehe maklum sukanya yang gratisan :D. Melalui Konjen Jepang di Makassar, aku pun mendaftar beasiswa Monbukagakusho. Tapi, usahaku ini belum lah membuahkan hasil, alias aku gagal.

Bagiku segala hal diluar kuasa kita mestilah disikapi positif. Kita tidak perlu terlalu bersedih hati apalagi sampai bunuh diri. Pikirku Allah pasti punya rencana yang lebih baik. Kuliah jenjang S1 kujalani selama 3,5 tahun di kota daeng. Aku lulus bebas tes jalur PMDK di salah satu kampus negeri dan belajar di jurusan yang aku minati, Matematika. Selama kuliah, bisa dibilang aku sebenarnya bukan tipe orang yang study oriented banget. Aku mengimbangi kuliah dengan berorganisasi dan bekerja.

Lulus dari kampus orange, aku masih memiliki minat yang besar untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang jauh. Setidaknya bukan di kota ini lagi. Aku menghabiskan hampir 22 tahun hidupku di kota ini saja. Bukankah Imam Syafi’I pun menyuruh kita menuntut ilmu dan pergi ke tempat yang asing. “Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)”, begitu kata Imam Syafi’i. Tapi biaya menjadi kendala utama menggapai mimpi kecilku itu.

Jika dalam usaha meraih tujuan, kau fokus pada hambatannya, kau mungkin takkan pernah meraih tujuanmu. Fokuslah pada tujuannya bukan hambatannya.

Setelah lulus kuliah, aku bekerja sambil mengambil kursus bahasa Inggris di salah satu lembaga di Makassar. Beasiswa menjadi hal yang harus aku dapatkan jika ingin melanjutkan kuliah. Dan tentunya untuk memperoleh beasiswa, aku harus memantaskan diri. Dua kali mengikuti kelas TOEFL di dua lembaga berbeda di Makassar namun hasilnya belum begitu memuaskan. Aku harus bekerja dan menyisakan waktu untuk belajar, dan bagiku itu cukup sulit mencapai target skor yang kuinginkan.

Aku mulai rajin mengikuti pameran pendidikan untuk mencari informasi. Hingga akhirnya aku mengenal IELTS sebagai syarat pendaftaran kampus dan beasiswa. IELTS tidak begitu familiar bagiku, walau beberapa kali mendapatkan info tentang kelas IELTS atau bahkan pelatihan IELTS, tapi biasanya aku hanya mengabaikannya.

Aku pikir untuk mendapat hasil maksimal aku juga harus belajar maksimal, hingga kuputuskan untuk mengambil kelas IELTS di Kampung Inggris. Selama empat bulan aku belajar, 2 bulan mengambil kelas, dan 2 bulan lainnya belajar otodidak, aku pun memberanikan diri mengikuti real tes IELTS pada bulan April 2016. Dengan berbekal skor IELTS, aku pun mulai bersiap pada pertarungan sesungguhnya mendapatkan beasiswa. Di tahun 2016, aku mendaftar beasiswa AAS dan Turkey Burslari. Aku lolos tahap pertama beasiswa AAS namun harus bersabar ketika aku dinyatakan tidak lolos pada tahap kedua (interview). Sedang untuk Turkey Burslari pun bahkan gagal di putaran pertama.

Sedih? iya sih. Sempat down juga ? Iya benar, berkali-kali malah. Tapi aku bersyukur karena mama selalu menyemangatiku untuk mengejar mimpiku, hingga ketika aku down, dan mendengar nasehat mama untuk menjadi Rin yang pantang menyerah, aku bangkit lagi.

Akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017, banyak sekali pendaftaran beasiswa yang terbuka. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Aku membuat daftar beasiswa yang menjadi targetku, mungkin sekitar belasan list, beserta deadline nya pada sticky note dekstopku, membaca buku petunjuknya atau informasinya di website, dan melengkapi dokumen persyaratan. Tiap aplikasi beasiswa memiliki prosedur dan ketentuan yang berbeda-beda, jadi mempelajarinya satu per satu sangat penting. Ketekunan menjadi poin penting disini. Jangan malas atau kau tidak akan tau apa-apa. Informasi tentang beasiswa bisa dengan mudah diakses melalui internet. Biasakan membaca seluruh informasi beasiswa dalam guidebook atau website yang tersedia, ketimbang langsung bertanya kesana kemari padahal pertanyaannya sudah terjawab di dalam guidebook/website.

Di tahun 2017, aku mendaftar beberapa beasiswa, yaitu AAS, Fulbright, Turkey Burslari, SISS, NZD, Chevening, dan Stipendium Hungaricum. Sayangnya aku terlewat beberapa deadline beasiswa, seperti BDGS. Sedang untuk KGSP dan Monbukagasho, aku kesulitan menyiapkan aplikasinya. Beberapa beasiswa lain tidak masuk ke dalam daftarku baik karena aku tidak memenuhi syarat atau aku tidak tertarik dengan beasiswa itu.

Mulai pertengahan tahun, satu demi satu pengumuman beasiswa masuk ke emailku. Enam aplikasiku gagal memasuki tahap berikutnya,kecuali satu yaitu Stipendium Hungaricum. Aku pun harap-harap cemas, karena prosedurnya yang masih panjang sedangkan hanya satu aplikasiku yang masuk tahap kedua. (Baca : Pengalaman mendaftar beasiswa hongaria, Stipendium Hungaricum)

Setelah serangkai tes yang melelahkan dan penantian pengumuman yang membuat diri ini sulit tidur (lebay ah). Akhirnya fix, aku memenangkan beasiswa Stipendium Hungaricum dengan masa studi 2 tahun pada jurusan Matematika di kampus yang boleh dikata kampus no 1 di Hongaria, Eotvos Lorand University. Alhamdulillah, setelah perjuangan cukup lama untuk studi di tempat yang jauh, setelah aplikasi beasiswa terus-terusan ditolak hingga 9 kali, akhirnya, Allah memberikan jawabannya, di tempat mana aku harus berada dan belajar. Terima kasih ya Allah, ya Rahman, ya Rahim. Terima kasih Papa Mama atas semua dukungan dan kasih sayangmu. (AR)

1 komentar:

  1. Mau tanya, apakah beasiswa stipendicum hungaricum ini hanya utk dosen dan pns saja? Apakah swasta bisa? Terima kasih

    BalasHapus