Rumah Penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok |
Menjelang
hari kemerdekaan biasanya situs-situs sejarah kemerdekaan ramai dikunjungi.
Kali ini aku berkesempatan mengunjungi teman ibuku di Cikampek, Jawa Barat,
untuk menginap selama 2 hari. Saat melihat-lihat maps kebetulan aku melihat
nama daerah yang tidak asing diingatanku. Rengasdengklok, nama yang sering
muncul di buku-buku pelajaran sejarah jaman sekolah dulu. Ya inilah nama kota
yang menjadi saksi perjalanan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan diabadikan
dalam catatan sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok. Secara rilnya,
disinilah pertama kali kemerdekaan itu diproklamasikan.
Aku
segera berselancar di internet untuk mencari apa saja yang mungkin bisa aku
temui disana. Esoknya dengan mengendarai sepeda motor aku bersama anak dari
teman ibuku itu menuju ke Rengasdengklok, di daerah Karawang. Tujuanku ada 3
tempat yang ingin ku kunjungi, yaitu pengasingan/rumah penculikan Soekarno
Hatta, Tugu Perjuangan dan Monumen
Kebulatan Tekad.
Di rumah
pengasingan, kami disambut oleh cucu Djiauw Kie Siong, yaitu Djiauw Kim Moy.
Rumah ini adalah milik Djiauw Kie Siong, seorang pasukan pembela tanah air atau
yang dikenal dengan PETA. Kami pun melihat-lihat isi rumah ini, ada dua kamar
yang pada peristiwa Rengasdengklok masing-masing dipakai menginap oleh Soekarno
dan M. Hatta. Ruang tengah menampilkan banyak foto-foto sejarah dan berbagai
penghargaan ditujukan kepada situs sejarah ini. Setelah bertandang ke rumah
pengasingan, kami pun menuju Lokasi Tugu Perjuangan dan Monumen Kebulatan Tekad
yang tidak jauh dari rumah pengasingan. Lokasi Tugu Perjuangan dulunya
merupakan markas PETA. Saat aku baru saja masuk ke lokasi tugu, seseorang
menghampiriku dan berbicara kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti karena cara
bicaranya yang cepat sekali. Hingga temanku menjelaskan apa yang dikatakan orang
itu bahwa kami harus membayar jika ingin mengambil foto di lokasi. Jumlahnya pun
tidak tanggung-tanggung, 50 ribu. Oh well, aku mengurungkan niatku untuk
mengambil foto. Selanjutnya kami menuju monumen yang hanya beberapa meter dari
lokasi tugu.
Tempat tidur yang digunakan Soekarno |
Ruang tengah |
Kamar Moh. Hatta |
Perjalananku
kali ini menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah proklamasi kemerdekaan
bukan hanya sekedar traveling mengisi waktu luang, bukan. Aku ingin tau, ingin
merasakan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Sekelebat bayangan imajinasi
bagaimana semua peristiwa itu terangkai mengisi ruang pikiranku. Kita
mempelajari sejarah kemerdekaan sejak duduk di bangku SD, tapi apakah
kemerdekaan itu sesungguhnya masih belumlah terjawab. Apakah kemerdekaan itu
hanya berupa proklamasi, mengusir penjajah dari negeri kita, dan menempatkan
orang-orang kita sendiri seolah mengatur dan menjalankan pemerintahan ? Jujur saja,
agaknya ada yang ganjil saat membaca kisah-kisah kemerdekaan di berbagai
negara.
Dunia
sungguh berubah dengan cepat. Yang dulunya dikuasai oleh imperium-imperium
besar, lambat laun sejarah berubah, hingga membagi dunia menjadi dua domain
utama, yaitu Kekhilafahan Islam yang membentang sejauh 2/3 bagian dunia dan
sisanya yaitu kekuasaan non-Islam. Setelah melewati 14 abad, Kekhilafahan
runtuh, dunia pun kemudian dikuasai kolonialisme, negeri-negeri yang kuat menjajah
negeri-negeri yang lebih lemah, dunia berjalan bak di hutan rimba. Selanjutnya
dunia berubah lagi, satu demi satu negeri yang tadinya mengalami penjajahan
mulai berondong-bondong memproklamirkan kemerdekaan. Hingga saat ini,
masing-masing negara menggenggam kemerdekaannya sendiri-sendiri dan mengklaim
sebagai negara yang berdaulat. Begitupun Indonesia, 17 Agustus menjadi simbol kemerdekaan,
tetapi pertanyaannya benarkah Indonesia telah merdeka ? Apakah bisa disebut
merdeka jika negeri ini menanggung utang yang banyak ? Apakah bisa disebut
merdeka jika kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk kepentingan asing ? Apakah
bisa disebut merdeka jika hampir 80% kekayaan alam Indonesia dikuasai asing ? Ah,
masih terlalu banyak pertanyaan apakah layak disebut merdeka. Tiap 17 Agustus
semua bersorak sorai gembira, tapi aku sendiri tidak yakin tentang apa yang
harus digembirakan saat semua justru mengindikasikan hal yang sebaliknya. Kita harus membuka mata dan pikiran dalam memaknai penjajahan, bukan hanya soalan penjajahan fisik tapi non-fisik pula. [Ashwa Rin]
Monumen Kebulatan Tekad |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar