Dinginnya winter membersamai hari-hari para penuntut ilmu di
negeri paprika ini yang sedang disibukkan dengan ujian, ujian, dan ujian. Kuliah
diluar negeri itu tidak seenak yang terlihat dalam foto-foto yang diupload di
sosial media, percayalah itu hanya pencitraan semata. Keliatannya wah keren
yah, bisa jalan-jalan melihat tempat yang ada di tv-tv itu, tak tau saja, jika
dibalik foto itu bisa jadi ada air mata yang menyertainya. Mereka pusing dan
stress dengan matakuliah dan ujian yang jika dapat nilai C saja sudah
alhamdulillah, yang penting lulus, tidak mengulang. Teringat zaman s-1 dulu,
dapat nilai C saja bikin tidak bisa tidur selama 3 malam, terus berpikir kenapa
yah, atau kejahatan apa yang sudah kulakukan hingga mendapat nilai C, aduh
lebay, beginilah mahasiswa yang menggilai nilai A, jangan ditiru ya
kawan-kawan, karena malaikat mungkar nakir tidak akan menanyai nilai kalkulusmu
berapa, nilai analisis real mu berapa, yang terpenting adalah prosesnya apakah
didapatkan dengan cara yang halal ataukah haram, makanya jangan nyontek saat
ujian :p.
Beberapa mahasiswa berpikir untuk
menyerah, ‘aku pulang saja deh, gak kuat, susah’, termasuk aku tentunya yang
juga mengalami kesulitan luar biasa dalam belajar, itu tidak sesulit yang
kubayangkan, karena ternyata aslinya sangat sangat sulit. Saling sharing dengan
matematikawan lainnya membuatku sedikit menyadari bahwa bukan cuma aku saja
yang kesulitan, orang lain pun begitu, jika mereka bisa bertahan kenapa aku
tidak.
Dan juga langkah ke tempat dimana
aku berpijak hari ini, di jalan yang kulalui saat ini, sungguh dibeli dengan
kerja keras dan pengorbanan baik itu waktu, pikiran, tenaga, sampai jual tanah
warisan segala, hehe yang ini lupakan saja. Lantas bagaimana bisa aku
mengucapkan kata menyerah?
Pantang menyerah bukanlah karena
takut ijazah itu tidak didapatkan, bukan pula takut pulang tanpa titel, tidak
pula khawatir akan kelangsungan karir, tapi satu hal yang terpikir olehku, jika
aku menyerah, maka bagaimana bisa aku mengajarkan arti pantang menyerah pada
anak-anakku kelak. Haruskah kukatakan pada mereka, kalau ibunya ini menyerah
belajar karena terlalu sulit ? maka mereka akan belajar dari ibunya, jika
kesulitan menderamu hingga kau tak kuat maka menyerahlah. Ah, itu terdengar
sangat menyedihkan. Bukankah yang harus diajarkan seorang ibu kepada anak-anak
nya adalah bahwa bersama kesulitan akan ada kemudahan, lalu dimanakah keyakinan
itu kita letakkan ketika kita memilih untuk menyerah?
Bulan pertama hidup di sini diwarnai
dengan banyak kesulitan, baik itu studi yang sulit kumengerti, susahnya
berteman dengan classmate, konflik dengan roommate, sampai cuaca yang dingin.
Teringat ketika minggu pertama aku memasuki kelas, dalam hati aku bertanya-tanya,
apa sih yang dosen ini sedang jelaskan, teman-teman lainnya manggut-manggut,
merespon penjelasan dosen, tapi aku, hanya bisa terdiam, bukan karena sudah
mengerti tapi karena tidak mengerti sama sekali. Belum lagi teman-teman kelas
yang 70-80% adalah anak-anak amerika, aduh susahnya bergaul dengan mereka,
hanya satu dua orang yang namanya aku tahu di kelas. Jangan bayangkan kelasnya
besar, tidak, ini hanya kelas kecil yang maksimal mahasiswanya 10 orang tiap
kelas, jadi cukup aneh sebenarnya ketika tidak mengenal mereka di kelas yang
kecil ini.
Di kelas, penjelasan dosen sulit
dicerna, di kamar, belajar juga susah. Bagaimana tidak susah, kebiasaan yang
berbeda-beda dan saling bertentangan dengan yang lainnya sungguh bikin sesak. Ada
yang terbiasa belajar tengah malam, tapi ada yang terganggu dengan cahaya walau
sedikit padahal mau belajar tentu butuh cahaya, ada yang mengetik di malam hari
tapi ada yang terganggu dengan suara ketikan keyboard, ada yang suka jendela
tertutup karena tidak bisa kedinginan, tapi ada yang suka membukanya karena
butuh udara luar, dan banyak lagi yang lainnya, aduh ribet sekali bukan. Yang
begini ini kecil tapi bisa memicu konflik besar juga jika tidak berusaha saling
memahami.
Satu bulan pertama rasanya menyiksa
sekali hingga rasanya tak bisa ditahan lagi. Dengan menangis ala anak-anak yang
mainannya direbut paksa, aku bercerita keluh kesahku dengan teman setanah air
yang juga dalam rantauan studi, plus merengek-rengek biar bisa keluar asrama
dan sewa flat atau apartemen sendiri (padahal sebenarnya kagak ada duit buat
nge-flat wkwk, maklum anak beasiswa yang hidupnya pas-pasan). Hingga
kata-katanya sedikit membuatku terhenyak, “Aswa, mereka itu cuma roommate loh,
yang palingan tinggal bersamanya paling lama empat semester, anggap saja ini
latihan, kau tidak pernah tahu kedepannya jodohmu nanti punya kebiasaan yang
seperti apa.” Iya sih, yang penting bukan kebiasaan maksiat, yang lain mah bisa
dikompromikan. Jadi ingat dulu sering berantem gara-gara kipas angin dengan si
partner duarr, susah bener yak. Sampai terpikir juga, apa pindah kamar saja ya?
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, persoalannya bukan disitu, bertemu dengan
orang yang kebiasaannya persis sama itu bisa dibilang jarang, tapi limitnya gak
sampe nol kok. Hanya saja yang paling penting adalah bagaimana bisa saling
menghormati kebiasaan masing-masing, masing-masing harus tahu bagaimana
menghargai kebiasaan yang lainnya.
Belum lagi beradaptasi dengan cuaca,
aduh ini satu-satunya hal yang membuatku ragu apakah aku ingin melanjutkan
kuliah di Eropa atau tidak, dinginnya itu loh yang gak nahan. Belum lagi sebelum datang ke Budapest, setelah berselancar di internet, nemu berita kalo winter di
Hungary saat itu mencapai suhu sekitar -27 derajat, aduh kebayang gak sih
dinginnya, sampai-sampai danau Balaton, danau terbesar di Eropa Tengah yang
sebutannya laut Hungary itu membeku. Katanya sih itu catatan rekor suhu
terdingin di Hungary pada hampir sepertiga abad terakhir. Awal-awal datang ke
Budapest, hampir tiap hari aku mengeluhkan suhu yang dingin, padahal waktu itu,
suhunya masih dikisaran 15-19 derajat. Sampai-sampai kedua teman kamarku
bilang, ‘Ashwa, Ashwa, jika suhu sebegini saja kamu sudah mengeluh dingin,
bagaimana kamu akan bertahan saat winter nanti?’. Aku bilang aku akan
berhibernasi di kamar, makan yang banyak dan tidak kemana-mana (haha good plan).
|
Danau Balaton yang beku Januari 2017 |
Seorang pria India, tiap kali melihatku, dia akan senang hati
mengejekku, ‘Ashwa, come on, it’s not cold at all, stelanmu itu seperti stelan
winter saja, ini kan musim gugur, saya tidak bisa membayangkankan bagaimana
kamu berpakaian di musim dingin nanti’ dengan nada sarkasmenya sambil tertawa
mengejek pula. Ah, aku tidak bisa menyebutkan semua kalimat sarkasmenya itu,
terlalu banyak. Memang apa salahnya berpakaian hingga berlapis-lapis, toh aku
ini manusia dari daratan tropis kok, ditambah aku berasal dari kota yang dekat
dengan laut, tentu saja aku kurang menyukai dingin. Alasan yang masuk akal kan.
Daripada sakit, mending deh terlihat aneh. ‘Hei jika kamu mengejekku lagi,
mungkin aku akan melemparmu dari lantai ketujuh, ah aku lupa kalau kamu ini
orang India, kamu tidak akan apa-apa pun jika aku melakukannya, seperti yang
kunonton dalam film-film Bolywood itu’, ini kalimat sarkasme terbaik yang bisa
kuberikan kepada mahasiswa perfilman itu. (warning ! yang ini jangan ditiru,
tidak baik). Jika anda tidak memahami kalimat sarkasme tadi, berarti
Alhamdulillah anda bukan penggemar film india awal tahun 2000 an dulu. :p
Aduh, tulisan ini mulai kehilangan
arah. Apa lagi ya, tadi kan bicara soal dingin ya. Oh iya, ditambah lagi negara
ini benar-benar memiliki tingkat humidity yang tinggi dan cahaya matahari yang
kurang. Kadang tuh liat forecast, katanya sih cerah, tapi pas keluar rumah eh
ternyata berkabut. Kadang bingung sama definisi cerah disini. Kalo di Indo mah
bilang cerah berarti hangat atau panas ya.
Inti dari tulisan yang ngalor kidul
ini, bagaimanapun kamu menemui rintangan dan tantangan dalam hidupmu, tetap
struggle, semangat, kamu pasti bisa melalui semuanya, tetap positif thinking
dan optimis, dan berbaik sangka pada Allah tentunya. Allah tidak akan memberi
beban kepada manusia diluar kapasitas dirinya. Bisa jadi setiap masalah yang
kita lalui dalam hidup itu, adalah jawaban Allah atas doa-doa kita. Mungkin
kita pernah berdoa pada Allah, ‘ya Allah jadikan aku pribadi yang lebih baik, sholeh(ah),
sabar, mandiri, bijaksana, pantang menyerah’, maka Allah berikan pada
kita ujian untuk meningkatkan kapasitas diri kita menjadi seperti yang diinginkan. Kita ingin sabar, Allah kirimkan orang-orang yang sering membuat kita
marah, tak lain dan tak bukan supaya kita melatih kesabaran itu. Kita ingin
jadi pribadi yang pantang menyerah, Allah beri kita kegagalan agar kita tahu
bagaimana cara bangkit kembali setelah terjatuh. Selalu ada hikmah dari setiap
perjalanan hidup ini, bahkan untuk hal-hal kecil yang mungkin sama sekali tidak
kita sangka. Tulisan ini kupersembahkan khususnya untuk diriku sendiri yang
kadang suka loyo belajarnya, yang kadang suka lupa dan alpa ini, dan juga untuk
teman-teman semua yang juga sedang berjuang menjalani kehidupan yang fana ini.
Poin penting lainnya, salah satu alasan penting kenapa
muslimah harus pantang menyerah, karena mereka adalah calon ibu yang akan
mendidik generasi berikutnya menjadi generasi yang pantang menyerah dalam membangun
peradaban dan mengejar fajar kebangkitan itu.
Semua orang
punya ceritanya dan kisahnya masing-masing dalam berusaha menjadi pribadi yang
lebih baik lagi dan lagi. Ibarat larva yang berusaha bermetamorfosis menjadi
kupu-kupu yang indah. Salam perubahan !!! [Ashwarin]
|
Budapest |