Jumat, 07 Juni 2013

Wasiat Ibu

     Sejak dini hari, hujan deras tak henti-hentinya mengguyur kampung tempatku bermukim sembari belajar di sebuah ma’ad tahfidzul Al-Quran “Al-Qamar”. Musim penghujan nampaknya mulai menyapa kami para penduduk daerah tropis, di zamrud khatulistiwa. Menghapus teriknya matahari di musim kemarau. Kulayangkan pandanganku ke arah jendela, nampaknya burung-burung yang biasanya bersenandung ria sembari bertengger di ranting pohon mangga depan jendela kamarku pun enggan untuk keluar. 

     “Tinggal beberapa juz lagi”, lirihku sembari melihat Al-Quranku di atas meja belajarku.
Entah mengapa, aku merasa begitu lelah dengan rutinitas hafalan Al-Quran setiap hari. Apakah ini pertanda ketidak ikhlasanku? Sebuah tanda tanya besar dalam benakku. Lamunanku membawaku ke beberapa hari yang lalu.

     Tok..tok..tok.. tiba-tiba terdengar seseorang sedang mengetuk pintu kamarku. Saat kubuka, ternyata kiyai Rois. Beliau menyampaikan pesan dari adikku, Nahdah, lewat telepon yang memintaku segera pulang. Hatiku berdegup kencang, pikiranku bertanya-tanya, tidak biasanya seperti ini, ada apa sebenarnya..
Dengan jas hujan pemberian ayah 3 tahun lalu, kukayuhkan sepedaku menembus hujan yang terus mengguyur menuju kampungku. Nampaknya hujanpun tak mau mengalah, mereda untuk memberiku jalan yang leluasa. “semakin deras saja”, desahku. Untuk mencapai kampungku, aku harus mengayuh sepeda di jalan raya sejauh 3 km menuju arah hutan. Bersepeda menembus hutan lebat selama ±20 menit dan meneluri jalan yang berkelok-kelok lagi berbukit-bukit sebelum akhirnya aku sampai di sebuah sungai. Sungai yang pada musim kemarau hanya setinggi lutut orang dewasa ini, kini setelah diguyur hujan seharian, telah mampu menenggelamkan 4/5 tinggi pohon mangga atau kira-kira setinggi 2 meter. Aku menengok kesana kemari mencari-cari ojek sampan. “Daeng bado... daeng bado...”, teriakku. Kami para penumpang sampan harus berteriak keras memanggil si pengayuh sampan, Daeng Bado, ketika sampan sedang tidak beroperasi. Suku Makassar punya sebutan lain ketika telah dewasa, yang digelari daeng. Aku sendiri bernama Ghazi Al Fatih daeng Gading. 

      Sesaat kemudian, keluarlah sesosok pria tua berumur 50-an dari sebuah rumah diseberang sungai. “Tidak salah lagi, itu daeng Bado”, seruku dalam hati. Daeng Bado dengan jas hujan berwarna cokelat tuanya mulai menaiki sampan, melepas jeratnya, dan kemudian mulai mengayuhnya dengan kayuh yang terbuat dari kayu jati. Sampan yang sudah berumur ini, selalu setia mengangkut kami para penumpang kelas ekonomi. Bisa saja kami menggunakan angkutan umum dari kampung sebelah, Salaka, menuju kampungku, Kaluarrang. Tapi akan memakan waktu lama, selain karena angkutan umum yang sangat jarang, umumnya sekali dalam sehari, juga karena jarak tempuhnya yang jauh. Menembus hutan dan menyeberang sungai adalah cara tercepatnya. Selain pejalan kaki dan pengendara sepeda, kadang pula, ada pengendara motor yang ikut naik sampan. Umumnya para pengendara motor yang sambil berjualan ikan keliling kampung. “anjariki nai’, nak? jadi naik, nak?” tanyanya dengan bahasa dan logat makassar yang kental membuyarkan lamunanku. “Oh, iye. Oh iya”, sahutku. Kunaikkan sepedaku ke atas sampan dan aku memegangi sepeda sambil berjongkok, khawatir tidak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Satu kayuhan demi satu kayuhan, rasanya sudah tidak sabar sampai di rumah. Satu koin uang 500 aku berikan kepada daeng Bado dan kuucapkan terima kasih padanya setelah sampai di seberang sungai. Aku mengayuh sepeda lagi melewati pohon-pohon dan beberapa kuburan sampai aku tiba di jalan raya, dan terus kukayuh sepedaku sampai tiba di sebuah rumah panggung, rumah adat suku Makassar, yang tak lain adalah rumahku. Kuparkir sepedaku di bawah rumah panggung atau yang biasa disebut paladang.

     Segera aku masuk dan menemui ibuku yang ternyata tengah berbaring tak berdaya. Ayah sedang menemui pak mantri untuk dibawa ke rumah. Dua adikku Nahdah dan Izzah, sedang memijit kaki ibu. Ibuku meminta kami semua mendekat. “Nak, tahukah kalian betapa besar harapan ayah dan ibu dengan memberikan nama untuk kalian?”,matanya nanar melihat kami. “Ghazi yang berarti pejuang, Nahdah yang artinya kebangkitan, dan Izzah adalah kemenangan. Jadilah kalian mujahid/mujahidah yang berjuang demi kebangkitan umat Islam dan menyongsong kemenangan yang dijanjikan Allah dan Rasulullah saw. Jadilah kalian orang-orang beruntung ya..aan..” tiba-tiba suara ibu melemah, matanya berkaca-kaca menatap lekat-lekat ke arah kami satu per satu. “Maafkan Ibu, maafkan belum bisa menjadi ibu yang terbaik, doakan ibu.”katanya lirih. “Bu, ayo ucapkan dzikir, ikuti Ghazi, laa Ilaha illallah muhammad ar rasulullah”, ucapku panik. “Laa.. ilaha illa...llah... mu..hamma..darra..su..lu..llah..” Lirihnya sambil melepaskan napas terakhirnya. Kami bertiga terdiam dalam duka. Ayah yang baru saja membawa pak mantri segera menengok ibu yang ternyata sudah tak bernyawa lagi. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, ucap ayah sambil menutup sempurna kedua mata ibu yang masih setengah terbuka. 

        Dua hari setelah kematian ibu, aku masih duduk termenung di tangga depan. Ayah mendekatiku sembari memberikan sebuah surat tanpa berkata apa-apa. Nampaknya kepergian ibu, membuatku benar-benar tidak berselera. Kuselipkan surat itu ke dalam buku mahfudhot yang kupegang. Sambil terus melamunkan sosok ibu.

       Kami adalah keluarga kecil yang hidup sederhana di sebuah desa di pedalaman Gowa, Sulawesi Selatan. Ayah adalah seorang petani yang  menggarap sebidang tanah warisan kakek. Sedangkan ibu membuka warung kecil di pasar. Ayah dan ibu hanya tamatan SD. Namun, latar pendidikan tidak memengaruhi kecerdasan mereka. Mereka bukan seperti kebanyakan orang yang hidup apatis bahkan tanpa prinsip hidup. Namun, Islam telah melekat dalam diri mereka. Islam telah mencerdaskan mereka. Bukan hanya karena diambil sebagai sebuah status agama dalam KTP, namun karena telah menjadikan islam sebagai pandangan hidup. Melihat perbuatan dari segi halal haram. Idealisme mereka selalu nampak di setiap aktivitas mereka. Idrak sillah billah, kesadaran akan hubungan manusia dengan pencipta selalu mereka ajarkan kepada anak-anaknya. Ghoyatul ghoyah liridallahi ta’ala dikristalkan dalam didikan mereka kapada anak-anaknya. Semangat mereka memperjuangkan Islam begitu besar. Kulayangkan pandanganku ke sebuah lapangan tempatku biasa bermain,

      Seorang ibu menghampiri anaknya yang berusia 5 tahun sedang menangis tersedu-sedu. "Ada apa?" tanya sang ibu. "Pelmenku hilang" jawab sang anak dengan kepolosannya. 

      Dengan tatapan yang begitu lekat, sang ibu berkata, “Nak, bukankah kamu adalah penakluk Roma. Sang penakluk, sang pejuang agama Allah, tidak akan menangis karena kehilangan permen atau kesenangan hidup lainnya.  Bukankah semua kesenangan di dunia tidak apa-apanya dibanding kesenangan di akhirat? Nak, di luar sana ada banyak anak seusiamu, mereka adalah saudara-saudaramu, tiap malam mereka selalu punya iringan pengantar tidur berupa dentuman bom . Melempari batu orang-orang kafir yang menjajah tanah kaum muslimin bahkan dilakukan oleh anak kecil seusiamu. Mereka menghafalkan Al-Quran dan tak pernah gentar melawan musuh-musuh Allah. Memekikkan takbir yang membahana menggentarkan musuh. Hafalan Al-Quran bagi mereka adalah pelipur lara mereka. Bukan lagu-lagu galau dengan lirik maksiat. Nak, menangislah hanya karena takut kepada Allah saja. Ingatlah anakku, dunia dan seisinya tiada berharga, Syurga yang dijanjikan Allah menyimpan berjuta kebahagiaan, namun ianya tidak bisa didapatkan dengan mudah.. Anakku, menangislah untuk agama ini, berjuanglah untuk agama ini..Ingatlah, engkaulah sang penakluk Roma kelak.. Dan ingatlah syurga yang dijanjikan bagi orang-orang yang yakin.” 

        Sesaat kemudian, wajah anak itu tampak heran. Mungkin merasakan keseriusan dan harapan besar dari sang ibu. Anak itupun berhenti menangis dan tersenyum kepada ibunya. Entah apa yang dipikirkan anak itu.

          Bayangan ibu dan anak itupun perlahan menghilang dari pandanganku. Itu kejadian 10 tahun yang lalu. Aku dan ibu. Ibu selalu mendidikku layaknya aku ini sudah pasti yang akan menaklukkan Roma. Mungkin sebagai prajurit, pemimpin batalion, ataupun sebagai amir. Tak pernah hilang dari ingatanku, setiap kisah mujahid yang dikisahkan ibu kepada kami setiap malam. Biasanya ayah dan ibu berganti bercerita tentang sejarah peradaban islam masa lalu yang hilang dieliminasi zaman. Kemudian menceritakan bisyarah Rasulullah saw tentang penaklukkan Roma yang belum menjadi bagian dari sejarah, ayah dan ibu mengatakan itu adalah hadiah dari Allah untuk kita, mengejar kemuliaan menjadi salah satu penakluknya. Sejak saat itu, aku selalu menggebu-gebu ingin menjadi penakluk Roma. Untuk alasan itu pula, aku berusaha sebaik mungkin menjadi Muhammad Al-Fatih. Jika beliau menghafalkan Al-Quran, maka aku pun harus bisa. Dengan masuk ke sebuah Ma’ad Tahfidzul Quran di sebelah kampungku, aku belajar dari Kyai Rois. Impianku untuk menghafal Al-Quran sisa  sedikit lagi. Namun, ibu takkan bisa melihatku lagi menamatkan hafalan Al-Quranku. Sedih rasanya, namun aku harus tetap ikhlas seperti yang diajarkan ayah dan ibu.
Masih teringat jelas dalam ingatanku, saat ibu membawa kami untuk menghadiri kegiatan-kegiatan dakwah. Membawa kami bertiga berjalan berkilo-kilo meter lantaran tak punya uang untuk berkendara umum. 

      Tiba-tiba aku terbangun dari lamunan panjangku. Aku teringat sebuah surat yang diberikan ayah kala itu. Aku segera mencari buku mahfudhotku. Kutemukan diselipannya sebuah surat. Aku terperanjat melihat penulisnya, “ibu”. Ini mungkin adalah wasiat dan nasihat terakhir ibuku. Kubuka surat itu, dengan mata yang berkaca-kaca, aku membaca kata demi kata surat itu..

      Anakku, bagaimana kabar iman hari ini? Semoga Allah memberikan ketetapan hati untuk terus berjuang dengan penuh kesungguhan. Ingatlah wahai sang penakluk Roma, layakkan dirimu menjadi penakluk. Layaknya Muhammah Al Fatih, penakluk konstantinopel. Layaknya Thariq bin Ziyad, penakluk Andalusia. Dan layaknya Salahuddin Al Ayyubi, penakluk Jerusallem. Walau kadang lelah dan jenuh menghampiri setiap jejak perjuangan.

       Anakku, tanyakan pada hati ini? Pantaskah mengeluh dalam mengarungi jalan dakwah ini? Ingatlah Islam tegak bersama orang-orang seperti para sahabat. Ingatlah konstantinopel takluk bersama pemimpin & pasukan terbaik. Jadilah yang terbaik, layakkan diri wahai pejuang agama Allah. Karena sungguh Allah memberikan kemenangan bagi kaum yang layak lagi dekat dengan-Nya

    Renungkan sejenak potret dimana sebuah perjuangan, dan pengorbanan tidak mengenal lelah. Di Palestina, Irak, Afghanistan, dan negeri-negeri muslim lainnya, perjuangan, pengorbanan, dan takbir membahana, menggetarkan musuh-musuh Allah. Jiwa, nyawa dan air mata, mereka persembahkan lebih dari yang kita persembahkan.

Akankah kita meminimalkan perjuangan? Atau malah tidak berjuang sama sekali? Kita tidak pernah tahu harus sampai kapan jiwa raga ini dipersembahkan. Harus berapa deras darah ini dialirkan. Harus sejauh mana kaki ini terus dilangkahkan. Untuk membangunkan peradaban yang telah tertidur pulas, “Islam” ... Namun ingatlah, Allah kelak menggantinya dengan Ridho dan SyurgaNya... (Ibu)

       Kutangkupkan surat ini ke dadaku. Aku berjanji dalam hati menjadi mujahid yang tangguh. “untuk agama ini, ibu”, lirihku. [Ashwa Rin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar