Belajar
itu tak pernah lekang oleh waktu. Manusia haruslah senantiasa belajar hingga
akhir hayatnya. Bahkan ayat Al-Quran yang pertama turun justru berbicara
tentang menuntut ilmu. “Iqra” artinya bacalah. Membaca adalah proses menginput
ilmu dan pengetahuan. Saking belajar itu penting, Allah berfirman dalam banyak
ayat al-Quran tentang keutamaan orang yang berakal dan mengetahui.
Belajar
memang bisa dimana saja dan kapan saja, bahkan jika perlu sampai ke ujung
dunia. Rasulullah bersabda : “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina”. Kala itu
Cina lah yang dianggap negeri yang paling jauh dari Makkah.
Melihat
dunia luar, belajar di tempat yang jauh, dan bertemu dengan orang-orang baru
merupakan bagian yang unik dari sebuah proses pembelajaran. Karena itulah,
sejak kecil aku selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh.
Pendidikan
Dasar dan Menengahku kujalani di kota kelahiranku, Sungguminasa. Namun, sejak
kecil aku selalu ingin belajar selain di kota ini. Menjelang SMA, aku
mendaftarkan diri di salah satu SMA unggulan se-provinsi (bayangkan saja,
se-provinsi loh). Aku berpikir dengan masuk ke sekolah unggulan tersebut, aku
bisa mendapatkan teman yang berasal dari berbagai daerah, tidak hanya Gowa.
Namun, sepertinya aku tidak berjodoh dengan sekolah itu. Aku pun akhirnya masuk
ke SMA dekat rumahku. Hari-hari di sekolah kujalani dengan semangat walau gagal
masuk di sekolah impianku dan berbagai kegiatan ekskul pun kuikuti.
Di
tahun pertamaku berada di bangku SMA, aku mengikuti seleksi Program Student
Exchange oleh AFS
(Baca : Pengalaman Mengikuti Seleksi AFS : Student Exchange Program).
Namun, aku gagal di tes terakhir. Walaupun kecewa dengan hasilnya, tapi aku
cukup puas dengan prosesnya. Bagaimana pun aku telah mengerahkan kemampuan
maksimalku. Bagiku kegagalan bukanlah hal yang tercela. Kau boleh gagal tapi
tak boleh menyerah. Kegagalan sesungguhnya yaitu saat kau mulai berkata aku
tidak bisa. Saat itulah kau benar-benar gagal.
Setamat
SMA, aku mulai menyiapkan diri masuk ke universitas. Saat itu, pandanganku
mengarah pada Jepang, mungkin karena saat itu aku lagi senang-senangnya dengan
Anime ditambah lagi aku sering main ke konsulat, entah itu untuk membaca buku
atau membawa pulang majalah gratis. Hehe maklum sukanya yang gratisan :D.
Melalui Konjen Jepang di Makassar, aku pun mendaftar beasiswa Monbukagakusho.
Tapi, usahaku ini belum lah membuahkan hasil, alias aku gagal.
Bagiku
segala hal diluar kuasa kita mestilah disikapi positif. Kita tidak perlu
terlalu bersedih hati apalagi sampai bunuh diri. Pikirku Allah pasti punya
rencana yang lebih baik. Kuliah jenjang S1 kujalani selama 3,5 tahun di kota
daeng. Aku lulus bebas tes jalur PMDK di salah satu kampus negeri dan belajar
di jurusan yang aku minati, Matematika. Selama kuliah, bisa dibilang aku
sebenarnya bukan tipe orang yang study oriented banget. Aku mengimbangi kuliah
dengan berorganisasi dan bekerja.
Lulus
dari kampus orange, aku masih memiliki minat yang besar untuk melanjutkan pendidikan
di tempat yang jauh. Setidaknya bukan di kota ini lagi. Aku menghabiskan hampir
22 tahun hidupku di kota ini saja. Bukankah Imam Syafi’I pun menyuruh kita
menuntut ilmu dan pergi ke tempat yang asing. “Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)”, begitu kata Imam
Syafi’i. Tapi biaya menjadi kendala utama menggapai mimpi kecilku itu.
Jika
dalam usaha meraih tujuan, kau fokus pada hambatannya, kau mungkin takkan
pernah meraih tujuanmu. Fokuslah pada tujuannya bukan hambatannya.
Setelah
lulus kuliah, aku bekerja sambil mengambil kursus bahasa Inggris di salah satu
lembaga di Makassar. Beasiswa menjadi hal yang harus aku dapatkan jika ingin
melanjutkan kuliah. Dan tentunya untuk memperoleh beasiswa, aku harus
memantaskan diri. Dua kali mengikuti kelas TOEFL di dua lembaga berbeda di
Makassar namun hasilnya belum begitu memuaskan. Aku harus bekerja dan
menyisakan waktu untuk belajar, dan bagiku itu cukup sulit mencapai target skor
yang kuinginkan.
Aku
mulai rajin mengikuti pameran pendidikan untuk mencari informasi. Hingga
akhirnya aku mengenal IELTS sebagai syarat pendaftaran kampus dan beasiswa.
IELTS tidak begitu familiar bagiku, walau beberapa kali mendapatkan info
tentang kelas IELTS atau bahkan pelatihan IELTS, tapi biasanya aku hanya
mengabaikannya.
Aku
pikir untuk mendapat hasil maksimal aku juga harus belajar maksimal, hingga
kuputuskan untuk mengambil kelas IELTS di Kampung Inggris. Selama empat bulan
aku belajar, 2 bulan mengambil kelas, dan 2 bulan lainnya belajar otodidak, aku
pun memberanikan diri mengikuti real tes IELTS pada bulan April 2016. Dengan
berbekal skor IELTS, aku pun mulai bersiap pada pertarungan sesungguhnya
mendapatkan beasiswa. Di tahun 2016, aku mendaftar beasiswa AAS dan Turkey
Burslari. Aku lolos tahap pertama beasiswa AAS namun harus bersabar ketika aku
dinyatakan tidak lolos pada tahap kedua (interview). Sedang untuk Turkey
Burslari pun bahkan gagal di putaran pertama.
Sedih?
iya sih. Sempat down juga ? Iya benar, berkali-kali malah. Tapi aku bersyukur
karena mama selalu menyemangatiku untuk mengejar mimpiku, hingga ketika aku
down, dan mendengar nasehat mama untuk menjadi Rin yang pantang menyerah, aku
bangkit lagi.
Akhir
tahun 2016 dan awal tahun 2017, banyak sekali pendaftaran beasiswa yang
terbuka. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Aku membuat daftar beasiswa yang
menjadi targetku, mungkin sekitar belasan list, beserta deadline nya pada
sticky note dekstopku, membaca buku petunjuknya atau informasinya di website,
dan melengkapi dokumen persyaratan. Tiap aplikasi beasiswa memiliki prosedur
dan ketentuan yang berbeda-beda, jadi mempelajarinya satu per satu sangat
penting. Ketekunan menjadi poin penting disini. Jangan malas atau kau tidak akan
tau apa-apa. Informasi tentang beasiswa bisa dengan mudah diakses melalui
internet. Biasakan membaca seluruh informasi beasiswa dalam guidebook atau
website yang tersedia, ketimbang langsung bertanya kesana kemari padahal
pertanyaannya sudah terjawab di dalam guidebook/website.
Di
tahun 2017, aku mendaftar beberapa beasiswa, yaitu AAS, Fulbright, Turkey
Burslari, SISS, NZD, Chevening, dan Stipendium Hungaricum. Sayangnya aku
terlewat beberapa deadline beasiswa, seperti BDGS. Sedang untuk KGSP dan
Monbukagasho, aku kesulitan menyiapkan aplikasinya. Beberapa beasiswa lain
tidak masuk ke dalam daftarku baik karena aku tidak memenuhi syarat atau aku
tidak tertarik dengan beasiswa itu.
Mulai
pertengahan tahun, satu demi satu pengumuman beasiswa masuk ke emailku. Enam
aplikasiku gagal memasuki tahap berikutnya,kecuali satu yaitu Stipendium
Hungaricum. Aku pun harap-harap cemas, karena prosedurnya yang masih panjang
sedangkan hanya satu aplikasiku yang masuk tahap kedua. (Baca : Pengalaman mendaftar beasiswa hongaria, Stipendium
Hungaricum)
Setelah
serangkai tes yang melelahkan dan penantian pengumuman yang membuat diri ini
sulit tidur (lebay ah). Akhirnya fix, aku memenangkan beasiswa Stipendium
Hungaricum dengan masa studi 2 tahun pada jurusan Matematika di kampus yang
boleh dikata kampus no 1 di Hongaria, Eotvos Lorand University. Alhamdulillah,
setelah perjuangan cukup lama untuk studi di tempat yang jauh, setelah aplikasi
beasiswa terus-terusan ditolak hingga 9 kali, akhirnya, Allah memberikan
jawabannya, di tempat mana aku harus berada dan belajar. Terima kasih ya Allah,
ya Rahman, ya Rahim. Terima kasih Papa Mama atas semua dukungan dan kasih
sayangmu. (AR)