Sabtu, 09 Februari 2019

Part 13 Ada apa dengan Barbar?


Dasar kaum Barbar ! kita mungkin pernah mendengar umpatan ini. Kira-kira apa yang terlintas dibenak kita ? Biadab? Primitif? Kasar? Kejam? Beringas? Ya, kita sering sekali menggunakan kosa kata ini dalam makna negatif dan memang kata ini diserap dalam bahasa-bahasa lainnya semisal bahasa inggris (Barbarian) ataupun bahasa Indonesia (Barbar) dalam makna demikian.

Tapi tahukah bahwa sebenarnya Barbar itu adalah nama etnis asli yang menghuni wilayah Afrika Utara, sebagian besar di wilayah Maroko, Tunisia, Aljazair, Mali Utara, Mauritania, Niger utara, Libya, dan sebagian barat Mesir. Nama lain dari etnis Barbar/Berber adalah Amazighs.

Beberapa etnis barbar yang terkenal, ada Tariq bin Ziyad, penakluk Andalusia, Abbas ibnu Firnas, penemu produktif dan perintis awal dalam penerbangan, dan ada pula Ibnu Batuta, seorang penjelajah abad pertengahan.           

Dulu aku tak pernah tahu bahwa Barbar itu nama etnis hingga pada semester pertama kuliah di Budapest, aku sekamar dengan orang Berber (Selanjutnya aku sebut Berber saja ya, kata Barbar terlalu aneh bagiku), namanya Fatima. Dan saat itulah aku banyak diceritakan olehnya tentang orang-orang Berber. Sudah lama sekali ingin menulis tentang ini, tapi belum sempat juga hingga akhirnya hari ini bisa tertunaikan. Kami lama tak bertemu sejak ia pindah apartemen dan alhamdulillah hari ini memiliki kesempatan untuk ngobrol panjang kali lebar kali tinggi di cafe  (volume kalle, hehe).

Sebagai keluarga Berber tulen, ia bercerita bagaimana keluarganya itu sangat tidak menyukai orang-orang Arab. “Kami Berber, dan mereka Arab” begitu kata ayahnya. Ia menceritakan kisahnya saat masih kecil dulu. Ia berteman dengan seorang Arab dan ketika ayahnya mengetahuinya, ayahnya sangat marah dan memukulinya. “Keluarga kami sangat tidak menyukai arab (etnis), sekedar berteman saja tidak boleh, mereka mungkin akan membunuhku kalo ingin menikah dengan orang Arab, maksudku bukan membunuh dalam arti sebenarnya, tapi membuangku dari keluarga” katanya kala itu. “Walaupun Arab Maroko?” tanyaku. Dia berpikir “hmm, klo itu masih ada kemungkinan, hanya harus memohon ekstra, tapi jika Arab tulen, absolutely not”.  

Aku menanyakan alasannya. Dia bilang sebab orang-orang Berber merasa muslim Arab datang ke negeri mereka dan berusaha mengarabkan mereka. Aku bilang “bukannya mereka datang untuk menyebarkan Islam?” “ya, kami bersyukur bisa mengenal Islam tapi disisi lain tidak menyukai arabisasinya.” Dia pun sebenarnya tidak setuju memilih-milih teman hanya karena etnisnya. Namun, menurutnya islam dan tradisi/kultur arab adalah dua hal yang berbeda. Aku sedikit bisa memahaminya sejak banyak berteman dengan orang-orang Arab. Memang tidak semua tradisi/kultur arab merupakan bagian dari tradisi Islam. Islam sendiri tidak melarang tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat. Arab memang tidak selalu  berarti Islam. Tetapi menjadi anti Arab jelas sangat berlebihan. Bagaimanalah kita bisa memahami Islam, Al-Quran dan hadist tanpa bahasa Arab. Rasulullah dan mayoritas para sahabat adalah orang-orang arab. Masa’ sih jadi anti arab hanya karena kekecewaan terhadap segelintir orang-orang arab. Bukankah artinya kita sudah bersikap tidak adil? Sedih sebenarnya mendengar bagaimana sesama muslim merasa mereka berbeda dengan muslim lainnya hanya karena soalan etnis, padahal sejatinya satu-satunya yang menjadi pengikat hakiki adalah akidah.

Persoalan seperti ini bukan hanya terjadi antara orang Berber dan orang Arab, tapi juga terjadi sesama orang Arab sendiri. Birjesi, begitu aku memanggil namanya, salah satu sahabat dekatku di Budapest. Dia berasal dari Hebron, Palestina. Bersama Fatima dari Maroko dan Birjesi, kami tinggal bersama saat semester pertama di Budapest. Dia juga banyak menceritakan hal-hal yang mengejutkan bagiku. Salah satunya fakta bahwa sulitnya keluarga di Jordan menerima wanita Palestina sebagai menantu di keluarga mereka. "Walau mungkin saja karena faktanya memang ada, tapi tetap saja itu cukup sulit" jawabnya saat aku menanyakan kemungkinannya. 

Percakapan pagi ini di California Cafe seolah tak habisnya, Fatima juga bercerita bagaimana ketidakakuran Maroko dan Aljazair gara-gara perebutan wilayah padang pasir. Aku teringat bahwa Indonesia dan Malaysia pun seringkali mengalami hal serupa, mulai berebut klaim kepemilikan batik sampai pulau. Dan banyak negeri-negeri muslim lainnya yang bernasib serupa, saling klaim kepemilikan dengan negara tetangganya yang sama-sama negeri mayoritas muslim. Negeri-negeri kaum muslimin disibukkan bertengkar dengan saudaranya hanya untuk urusan sepele. Padahal, mereka sebenarnya sedang masuk dalam jebakan politik pecah belah melalui konsep “nation state”. Kita bangga dengan nation kita hingga lupa atau bahkan tidak tahu bahwa Rasulullah sudah mengingatkan untuk menjauh ashabiyah (fanatik golongan), menyeru dengan seruan-seruan kesukuan maupun kebangsaan.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa dalam satu perang, seorang Muhajirin mendorong seorang Anshar, lalu orang Anshar itu berkata, "Tolonglah, hai Anshar." Orang Muhajirin itu berkata, "Tolonglah hai Muhajirin." Nabi Muhammad saw pun mendengar itu dan beliau bersabda :" Ada apa dengan seruan jahiliah itu?" Mereka berkata, "Ya Rasulullah, seorang dari Muhajirin memukul punggung seorang dari Anshar," Beliau bersabda, "Tinggalkan itu, sebab itu muntinah (tercela, menjijikkan, dan berbahaya)".

Kami ngobrol lama siang ini seakan hal-hal yang dibicarakan tak ada habisnya, mulai dari cerita pernikahan adiknya summer tahun lalu, kucing piaraan kesayangannya, karakter dan kebiasaan orang-orang Berber, yaitu bagaimana hubungan diantara keluarga sangat formal, ibu ke ayah, anak-anak ke orangtuanya, sampai curhatan dia soal gagalnya eksperimennya hingga  meledakkan microwave karena mencampurkan larutan-larutan kimia yang berbahaya, “and you know I am a muslim” katanya sambil tertawa. Dia bercerita banyak hal juga terkait case-case affair di Maroko, bagaimana para orang tua membesarkan anak tanpa ilmu dan aku pikir itu bukan hanya terjadi di negaranya saja, tapi hampir di seluruh tempat. 

Sementara kami sedang ngobrol, seorang anak di samping meja kami menjatuhkan kuenya dan ibu-ibu yang bersamanya entah ibu atau tantenya mengambil kembali kue itu berkata sesuatu dalam bahasa Hongaria. Tiba-tiba Fatima menerjemahkannya "ibu itu bilang tidak apa-apa karena bagian yang menyentuh lantai hanyalah plastik alasnya". Masha Allah, dia mengerti bahasa hongaria sekarang, sedangkan aku masih jauh tertinggal, hhe. Kami bercerita banyak tentang kehidupan sosial orang-orang Hongaria. Mulai dari kesukaannya memelihara anjing daripada membesarkan anak,  hingga fakta-fakta tentang eljibiti. Mengetahui fakta-fakta yang mengejutkan darinya soal kehidupan sosial orang Hongaria, membuatku merasa aku tidak tahu apa-apa tentang orang Hongaria ternyata.

Pembicaraan kami siang ini berlanjut sangat panjang hingga tak terasa tiga jam sudah berlalu. Sepertinya kami harus mengakhiri pembicaraan panjang ini karena cangkir kopi kami sudah lama dibereskan sang waiter. [Ashwa Rin]


Budapest, Sabtu 09 Februari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar