Udara yang semakin dingin, hujan, dan berangin pula, kadang bikin malas kemana-mana, selain ngampus. Weekend yang paling kunantikan, soalnya bisa nulis kayak gini, yey off dulu lah dari setumpuk pr yang menanti. Sayangnya selain ngampus dan ngurusin administrasi ini itu, aku belum mengeksplore kota ini, so belum banyak yang bisa aku ceritakan tentang sejarah kota.
Aku
masuk ke ruangan 206, duduk manis di meja paling depan, seorang dosen masuk dan
mengatakan ‘I think it’s the first time I see you’ sambil menatap ke arahku,
karena heran kok dosennya berubah ‘ya me too. What class is this?’, ‘it is
Complex Analysis Class’, katanya. Omo, aku salah kelas ternyata. Langsung
ngecek jadwal di hp, and taraa, aku salah, jam kuliahnya pukul 8, dan sekarang
pukul 10. Yah, aku melewatkan kelasnya T_T karena kurang memperhatikan
jadwalnya.
Sebelum
pulang, aku mampir dulu di toko swalayan terdekat untuk mengisi persediaan di
kulkas, itung-itung buat menghibur diri juga karena gagal hadir di perkuliahan.
Pas keluar swalayan, seseorang dengan kamera besar di bahunya mengarahkan
kameranya tanpa henti ke arahku yang sedang menenteng belanjaan. Aku kaget
jadinya, karena aku bukan artis bukan pula narapidana jadi ngapain
disorot-sorot kamera. Seorang pemuda lainnya menghampiriku dan berbicara bahasa
Magyar. Hehe I dunno anything what he’s saying. Setelah kukatakan aku tak bisa
bahasanya, akhirnya ia berbahasa inggris kepadaku. Ia meminta izin untuk
wawancara. Oh, I know sekarang, mereka ini reporter. Dengan polosnya, aku
menyetujui wawancaranya dengan segudang pemikiran positif.
Pertanyaannya
tidak jauh-jauh seputar Hungary dan Budapest, seperti ‘bagaimana menurut Anda
tentang Hungary?’, ‘menurut Anda, kota Budapest itu kota yang seperti apa?’
Lalu pertanyaannya mengarah pada agama. Tadinya kupikir ini untuk siaran
travelling atau pariwisata, tapi pada akhirnya aku tidak tahu ini acara apa
sebenarnya. Untuk menjaga sopan santun, aku jawab semua pertanyaan apa adanya.
Saat reporter itu bertanya apa aku muslim, aku bilang dengan bangganya, iya aku
muslim. ‘Bagaimana Anda menjalankan agama Anda disini? Apa Anda mengalami
kesulitan?.’ Aku bilang ‘tidak kok. Aku tetap bisa menjalankan sholat dan
berhijab (ibadah mahdoh). Walau kadang aku sering mendapat perhatian lebih dari
orang-orang, mungkin karena aku terlihat berbeda dengan hijab ini‘ (pede kali
ya, padahal bisa jadi orang-orang heran, ini cewek pesek amat yah :D ).
Wawancaranya berlangsung singkat, sesingkat menggosok gigi kita. Hehe. Di
tengah antrian registrasi internet, aku menceritakan pengalamanku pada seorang
teman. Teman lainnya nyeletuk, ‘jika itu aku, aku memilih untuk tidak wawancara.
Kau tidak pernah tahu, videomu akan dikemas seperti apa. Apakah hal yang baik
atau justu malah merugikanmu’. Wah, mendengar itu aku jadi gugup. Aku tahu
seringkali media menyajikan dan mengemas berita seenak mereka, sesuai
kepentingannya. Tapi aku hanya berharap kali ini tidak, biarlah seperti acara
TV Jepang yang pernah kutonton yang membahas Muslim dan Islam secara objektif.
Pliz. Aku cuma berharap bisa campaign Islam.
Soal
menjalankan agama, di negeri asalku yang mayoritas islam saja, Islam tidak
dijalankan secara sempurna. Ketika aku mengatakan ‘bisa menjalankan agamaku’,
ini hanya pada syariat yang termasuk hubungan manusia dengan Allah dan hubungan
manusia dengan dirinya sendiri. Perkara ibadah mahdah mungkin bisa dijalankan
masing-masing individu. Tapi menjalankan syariat yang termasuk hubungan manusia
dengan manusia lainnya, butuh peran negara. Sebagaimana halnya yang dikatakan
Imam Al-Ghazali “Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang
saudara kembar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka
yang lain tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah pondasi sementara
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya pondasi akan rusak dan
jika tidak dijaga, ia akan hilang”. Bagaimana mungkin menjalankan syariat Islam
tentang qishas, uqubat, sanksi tanpa adanya peran negara yang menerapkannya?
Bagaimana mungkin menjalankan syariat Islam tentang sistem perekonomian yang
menjauhkan penjajahan ekonomi oleh negara-negara besar atas negeri tercinta
kita ini, menyejahterakan rakyat dengan aturan pengelolaan sumber daya alam
yang benar, jika semua tanpa adanya negara yang menjalankannya? Semua itu tidak
bisa dijalankan dengan kapasitas individu tapi negara.
Hari ini orang
ribut masalah isu PKI bangkit lagi. Mungkin kita lupa atau tak tahu kalau
Kapitalisme sama kejamnya dengan Komunisme. Hanya beda wajah, tapi keduanya
sama-sama menghancurkan manusia. Komunisme tampil dengan wajah kejamnya, yang
membuat trauma mendalam bagi yang pernah merasakannya. Sedang Kapitalisme tampil
dengan wajah ramahnya, mengiming-imingi manusia dengan kesejahteraan yang fana,
bagai melihat oase di padang pasir yang gersang. Bukan hanya memperjuangkan No
Communism, tapi juga No Capitalism. Karena keduanya tidak layak dijadikan
pegangan ideologi, Anda taukan harus memperjuangkan apa ?! [AshwaRin]